Hukum Lingkungan Kepidanaan
1. Pengertian Hukum Lingkungan Kepidanaan
Di kalangan pakar hukum masih sering terjadi perbedaan pendapat mengenai penggunaan istilah “hukum pidana lingkungan” dan “hukum lingkungan kepidanaan”. Bagi Andi Hamzah, hal ini sesungguhnya tidaklah keliru. Menurut beliau apabila kita menulis “hukum lingkungakn” maka didalamnya ada segi-segi kepidanaan, administrative, dan keperdataan hukum lingkungan, tetapi ketika kita menulis bagian kepidanaan saja, maka tidaklah keliru jika kita menggunakan istilah “hukum pidana lingkungan”. Jadi tergantung dari perspektif mana istilah itu digunakan.
Dalam hal ini akan digunakan istilah “hukum lingkungan kepidanaan” karena yang dimaksud tidak lain adalah hukum lingkungan yang memuat aspek-aspek pidana (strafrechtelijk milieurecht), bukan berbicara pada konteks ilmu hukum pidana pada umumnya. Hal ini mengingat karena hukum lingkungan sudah merupakan cabang ilmu hukum baru yang berdisi sendiri dan memiliki banyak segi, salah satuny adalah kepidanaan.
2. Delik Lingkungan dan Unsur-Unsurnya
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 hanya ada enam pasal yang menguraikan masalah sanksi pidana dalam kaitannya dengan tindak pidana lingkungan (Pasal 41 sampai dengan Pasal 46). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 ada 19 Pasal (Pasal 97 sampai dengan Pasal 120). Jika diamati dan dibadingkan pengaturan Pasal tentang sanksi pidana terhadap tindak pidana lingkungan dalam UUPPLH lebih terperinci jenis tindak pidana lingkungan, misalnya ada ketentuan baku mutu lingkungan hidup, diatur dalam pasal tersendiri tentang pemasukan limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (selanjutnya disingkat B3), masalah pembakaran lahan, dan penyusunan AMDAL tanpa sertifikat akan dikenakan sanksi pidana. Atau dengan kata lain pengaturan sanksi pidana secara terperinci dalam beberapa pasal.
Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan. Ketentuan Pasal 97 UUPPLH, menyatakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH, merupakan kejahatan. Kejahatan disebut sebagai “rechtsdelicten” yaitu tindakan-tindakan yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas dihukum, walaupun tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang di dalam undang-undang.
Tindak pidana yang diperkenalkan dalam UUPPLH juga dibagi dalam delik formil dan delik materil. Menurut Sukanda Husin (2009: 122) delik materil dan delik formil dapat didefensikan sebagai berikut:
- Dellik materil (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang tidak perlu memerlukan pembuktian pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi seperti izin. Dalam hal ini yang diancam pidana adalah “akibat dari perbuatan”, yang termasuk dalam delik materil dalam UU PPLH yaitu Pasal 98, 99, dan 112.
- Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum terhadap aturan-aturan hukum administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya delik formil tidak diperlukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil, tetapi cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi. Dalam hal ini menunjuk pada “perbuatan yang dilarang dan diancam pidana”, yang termasuk dalam delik formil dalam UU PPLH yaitu Pasal 100-111 dan 113-115.
Berikut ini dikutip beberapa delik materil yang ditegaskan dalam UUPPLH yang disesuaikan dengan beberapa kejahatan yenga berkaitan dengan standar baku kebiasaan terjadinya pencemaran lingkungan yaitu pada Pasal 98 dan Pasal 99 UU PPLH 2009 merumuskan delik lingkungan “perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau karena kelalainnya yang mengakibatkan baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku mutu air laut, atau criteria baku mutu lingkungan hidup” selain itu, perbuatan itu juga dapat mengakibatkan orang luka atau luka berat dan/atau bahaya kesehatan manusia atau matinya orang. Sementara itu Pasal 112 merumuskan delik lingkungan sebagai “kesengajaan pejabat berwenang tidak melakukan pengawasan yang berakibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia”.
Kualifikasi delik formal sebagimana diatur dalam Pasal 100-111 dan 113-115, yaitu :
- melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan (Pasal 100)
- melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan (Pasal 101)
- melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin (Pasal 102)
- menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan (Pasal 103)
- melakukan dumping limbah dan/atau bahan media lingkungan hidup tanpa izin (Pasal 104)
- memasukkan limbah atau limbah B3 ke dalam wilayah Indonesia (Pasal 105 dan Pasal 106)
- memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Indonesia (Pasal 107)
- melakukan pembakaran lahan (Pasal 108)
- melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan (Pasal 109)
- menyusun Amdal tanpa memiliki sertipikat kompetensi penyusunan Amdal (Pasal 110)
- pemberian izin lingkungan oleh pejabat tanpa dilengkapi dengan AMdal atau UKL-UPL atau izin usaha tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan (Pasal 111)
- memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan penrlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 113)
- penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah (Pasal 114);
- mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil (Pasal 115)
3. Sanksi Pidana Lingkungan
Penerapan delik lingkungan selalu dikaitkan dengan sanksi pidana, karena secata teoritik sanksi pidana bertujuan untuk menegakkan norma-norma hukum lingkungan. Sanksi pidana ini muncul sebagai reaksi atas ketidaktaatan atas norma-norma hukum (lingkungan).
Ketentuan hukum lingkungan dalam UU PPLH 2009 dikemukakan beberapa hal:
Pertama, kualifikasi tindak pidana yang diatur dalam UU PPLH 2009 adalah kejahatan, sehingga tidak ada lagi sanksi pidana kurungan.
Kedua, karena termasuk kejahatan maka sanksi pidana dala UU PPLH 2009 meliputi pidana penjara, denda dan tindakan tata tertib.
Ketiga, Sanksi pidana penjara denda sangat bervariasi tergantung pada sifat perbuatan dan akibat yang ditimbulkan. Pidana penjara bervariasi antara 1-15 tahun, sedangkan sanksi denda dimulai dari Rp. 500.000.000,- sampai Rp. 15.000.000.000,-. Rumusan sanksi penjara dalam UUPPLH 2009 dapat dikatakan tidak konsisten karena dalam beberapa pasal diatur sanksi pidana paling lama satu tahun. Ini berarti snaksi yang dijatuhkan bisa kurang dari satu tahun, sebagaimana karakteristik pidana kurungan, bukan pidana penjara.
Keempat, dalam UUPPLH 2009 diatur sanksi pidana diatur bagi pejabat yang memberikan izin tanpa memenuhi syarat, dan juga diatur bagi pejabat yang tidak melakukan pengawasaan terhadapa ketaatan usaha atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan.
Kelima, pelaku juga dikenakan sanksi pidana tata tertib sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 119 UU PPLH 2009, yaitu :
- perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
- penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha/atau kegiatan;
- perbaikan akibat tindak pidana;
- pewajiban mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak;
- penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Penerapan sanksi pidana penjara dan pidana denda dalam UU PPLH bersifat kumulasi bukan alternative, bahkan pidana denda diperberat dengan sepertiga.
4. Tanggungjawab Korporasi
Aktris Julia Roberts meraih Academy Awards pada tahun 2001 melalui filmnya Erin Brokovich yang menceritakan tentang seorang paralegal bernama sama dengan judul film tersebut, yang mengangkat kasus nyata yang terjadi di Amerika Serikat, dimana perusahaan Pacific Gas and Electric (PG&E Corporation) yang mengetahui bahwa salah satu unit stasiun kompressornya di Hinckley telah mencemarkan air di daerah tersebut. Perusahaan itu tidak mengumumkannya tetapi justru meyakinkan para penduduk setempat dengan memberikan laporan pemeriksaan air di Hinckley yang hasilnya menunjukkan bahwa air di daerah mereka aman untuk dikonsumsi. Akibatnya, para pengguna air yang telah terkontaminasi menderita berbagai macam penyakit dan bahkan sampai meninggal dunia (industrial poisoning). Kasus ini menjadi salah satu kasus corporate crime terbesar dengan penjatuhan sanksi pidana berupa pembayaran ganti rugi dengan jumlah yang terbesar dalam sejarah Amerika Serikat.
Kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan salah satu wacana yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekenomian dan teknologi. Corporate crime bukanlah barang baru, melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan berserta kompleksitasnya. Di sisi lain, ketentuan Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya. Salah satu contohnya adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) yang baru dikriminalisasi secara resmi pada tahun 2002. Contoh lain adalah kejahatan dunia maya atau cyber crime yang sampai dengan saat ini pengaturannya masih mengundang tanda tanya. Akibatnya, banyak bermunculan tindakan-tindakan atau kasus-kasus illegal, namun tidak dapat dikategorikan sebagai crime. [1]
Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability. Yang pada gilirannya mengundang perdebatan adalah bagaimana pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability mengingat bahwa di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Jika seandainya kegiatan atau aktivitas yang dilakukan untuk dan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian dan harus diberikan sanksi , siapa yang akan bertanggungjawab ? Apakah pribadi korporasi itu sendiri atau para pengurusnya ?
Black’s Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”.
Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah “conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law“. Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons“) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Kejahatan korporasi mungkin tidak terlalu sering kita sering dalam pemberitaan-pemberitaan kriminil di media. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian juga pada umumnya lebih sering menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara nyata dan faktual terdapat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat.
Dalam sejarah UU Lingkungan hidup, UU LH 1982 belum mengenal pidana korporasi, dalam UU LH 1997 barulah mengenal tindak pidana korporasi, sedangkan UUPPLH 2009 tanggungjawab korporasi diatur dalam Pasal 116, 117 dan 118.
Dalam Pasal 116 UU PPLH 2009, tanggung jawab pidana korporasi dapat diberikan kepada badan usaha; dan/atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Dari ketentuan Pasal 116 jelas sekali bahwa tanggungjawab korporasi dapat diberikan kepada badan hukum itu sendiri maupun pada pengurus badan hukum (corporate excutiffe officers). Bahkan dalam Pasal 118 sanksi pidana terhadap badan hukum dapat diberikan kepada pengurus yang berwenang mewakili badan usaha baik didalam maupun diluar pengadilan. Khusus orang yang memberi perintah atau pemimpin tindak pidana sanksi pidana ini menurut pasal 117 ditambah sepertiga.
Ketentuan tanggungjawab korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, memberikan beberapa implikasi yaitu :
- Badan usaha tidak bisa lepas dari tanggungjawab pidana. Persoalannya adalah apa bentuk tanggungjawab pidana yang utama terhadap korporasi, bukankah sanksi pidana dalam Pasal 119 UU PPLH 2009 adalah pidana tambahan bukan pidana pokok;
- Sanksi pidana terhadap pengurus, terutama yang member perintah atau pemimpin dikenakan sanksi yang diperberat dengan sepertiga. Ketentuan ini berimplikasi bahwa para pengurus harus bertindak hati-hati agar perusahaan tidak melakukan tindak pidana lingkungan hidup;
S. Maronie
sebagai bahan kuliah Hukum Lingkungan
Mau tanya, kalau di ruang lingkup internasional, bagaimana sih hukum lingkungan kepidanaannya dari sejarah hingga saat ini?
BalasHapus