Penyertaan (Deelneming) Dalam Hukum Pidana

A. Pengertian Penyertaan

Penyertaan atau dalam bahasa Belanda DEELNEMING di dalam hukum Pidana DEELNEMING di permasalahkan karena berdasarkan kenyataan sering suatu delik dilakukan bersama oeleh bebrapa orang,jika hanya satu orang yang melakukan delik,pelakunya disebut Alleen dader.

Apabila dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari 1 orang, sehingga harus dicari pertaunggungjawaban dan peranan masing-masing peserta dalam persitiwa tersebut. Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan delik tersebut, adalah:

  1. bersama-sama melakukan kejahatan
  2. seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut.
  3. seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan

Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya:

  1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri: mereka yang melakukan dan yang turut serta melakukan tindak pidana. Pertanggung jawaban masing-masing peserta dinilai senidiri-sendiri atas segala perbuatan yang dilakukan.
  2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh untuk melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan pada perbuatan peserta lain. Apabila peserta satu dihukum yang lain juga.

Beberapa pandangan tentang sifat penyertaan:

  1. Sebagai dasar memperluas dapat dipidananya seseorang:
  • Penyertaan dipandang sebagai persoalan pertanggungjawaban pidana;
  • Penyertaan bukan suatu delik sebab bentuknya tidak sempurna.
  • Penganutnya;Simons, van Hattum, Hazewingkel Suringa

2. Sebagai memperluas dapat dipidannya perbuatan:

  • Penyertaan dipandang sebagai bentuk khusus tindak pidana;
  • Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya istimewa;
  • Penganutnya: Pompe, Mulyanto, Roeslan Saleh

Menurut Prof. Mulyanto, sesuai dengan dengan pandangan individual karena yang diprimairkan adalah “hal dapat dipidananya seseorang”; pandangan yang kedua sesuai dengan pandangan bansa Indonesia karena yang diutamakan adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, jadi lebih ditekankan kepada “hal dapat dipidananya perbuatan”. Dan dalam pandangan pertama tidak dikenal dalam hukum adat.

B. Bentuk Penyertaan

Di dalam KUHP terdapat 2 bentuk penyertaan:

1. Para Pembuat (dader) pasal 55 KUHP, yaitu:

a. yang melakukan (pleger)

b. yang menyuruh melakukan (doen pleger)

c. yang turut serta melakukan (mede pleger)

d. yang sengaja menganjurkan (uitlokker)

  1. Pembuat Pembantu (madeplichtigheid) pasal 56 KUHP

a. Pembantu pada saat kejahatan dilakukan

b. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan

Dengan demikian dapat diketahui siapa-siapa yang dapat membuat delik dan siapa-siapa yang terlibat dalam terwujudnya tindak delik :

  1. pembuat tunggal (dader), kriterianya: (a) dalam mewujudkan tindak pidana tidak ada keterlibatan orang lain baik secara fisik maupun psikis; (b) dia melakukan perbuatan yang telah memenuhi seluruh unsur delik dalam uu.
  2. para pembuat, ada 4 bentuk
  3. Pembuat Pembantu.

Perbedaan antara para pembuat dengan pembuat pembantu adalah: para pembuat (dader) secara langsung turut serta dalam pelaksanaan delik , sedangkan pembuat pembantu hanya memberi bantuan yang sedikit atau banyak bermanfaat dalam melaksanakan delik.

Pembuat yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) adalah ia tidak melakukan delik secara pribadi, melainkan secara bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan delik. Apabila dilihat dari perbuatan masing2 peserta berdiri sendiri, tetapi hanya memenuhi sebagian unsur delik. Dengan demikian semua unsur delik terpenuhi tidak oleh perbuatan satu peserta, tetapi oleh rangkaian perbuatan semua peserta.

1. Pleger

Pelaku/mereka yang melakukan (pembuat pelaksana: pleger) adalah orang yang melakukan sendiri suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik. Perbedaan dengan dader adalah pleger dalam melakukan delik masih diperlukan keterlibatan orang lain minimal 1 orang, misalnya pembuat peserta, pembuat pembantu, atau pembuat penganjur.

Dalam tindak pidana formil, plegernya adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam delik ybs. Dalam delik materiil, plegernya adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh uu.

2. Doen Pleger

Doenpleger (orang yang menyuruh lakukan) ialah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantaraan ini hanya diumpamakan sebagai alat.

Unsur-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu:

1. Orang lain itu berbuat:

  1. tanpa kesengajaan (contoh mengedarkan uang palsu)
  2. tanpa kealpaan (contoh menyiramkan air panas kepada pemulung)
  3. tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan:
  • yang tidak diketahuinya
  • karena disesatkan (kekeliruan/kesalahpahaman) (contoh mencuri koper yang bukan miliknya)
  • karena tunduk pada kekerasan (tuan rumah dilempar dan menimpa anak kecil hingga tewas)

2. Orang yang disuruh melakukan itu tidak dapat dipidana, sebab-sebabnya:

a. Orang yang disuruh melakukan delik, tetapi apa perbuatan yang dilakukannya tidak dapat dikualifikasi sebagai delik.

Contoh:

· seorang jururawat yang atas perintah dokter untuk memberikan obat minum yang mengandung racun kepada pasien yang menjadi musuh dokter, si perawat sama sekali tidak tahu bahwa obat minum tsb mengandung racun. (unsur sengaja tidak ada)

· A. menyruh B menukarkan uang palsu, sedangkan B tidak tahu bahwa uang tersebuyt palsu. (unsur dengan maksud Pasal 245 tidak dipenuhi).

  1. Orang itu memang melakukan satu delik tetapi ia tidak dapat dipidana karena ada satu atau beberapa alasan yang menghilangkan kesalahan.

Contoh :

  • tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 44 KUHP. Ex: A berniat membunuh B tetapi tidak berani melakukan sendiri, telah menyruh C (orang gila) untuk melemparkan granat tangan keada B, bila C betul2 telah melemparkan granat itu, sehingga B mati, maka C tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan yang dihukum sebagai pembunuh adalah A
  • telah melakukan perbuatan itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan (overmacht) menurut Pasal 48 KUHP. Ex: A berniat membakar rumah B dan dengan menodong memakai pistol menyuruh C supaya membakar rumah itu. Jika C menurut membakar rumah itu ia tidak dapat dihukum karena dipaksa.
  • Telah melakukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang tidak sah menurut pasal 51 KUHP. Ex. Seorang perwira polisi mau membalas dendam pada seorang musuhnya dengan memasukkan orang itu ke dalam tahanan. Ia menyuruh B seorang bintara di bawah perintahnya supaya menangkap dan memasukkan tahanan orang tsb, dengan dikatakan bahwa orang tsb seoprang tersangka pencurian. Jika B melaksanakan suruhan tsb B tidak dapat dipidana karena ia menyangka bahwa perintah itu sah.
  • Telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali. Ex: A berniat akan mencuri sepeda motor yang sedang diparkir di depan kantor pos. ia tidak berani melakukan sendiri akan tetapi ia menunggu di tempat agak jauh minta tolong kepada B untuk mengambil sepeda motor tsb dengan dikatakan bahwa itu adalah miliknya. Jika B memenuhi permintaan itu ia tidak dapat disalahkan melakukan pencurian, karena unsur sengaka tidak ada.

3. Mede Pleger

Mereka yang turut serta melakukan (pembuat peserta: medepleger), adalah setiap orang yang sengaja berbuat dalam melakukan tindak pidana.

Contoh : A dan B sama-sama bersepakat untuk membakar sebuah kandang kuda milik C orang yang mereka benci. Pada waktu yang telah disepakati mereka berdua masuk kandang. Di dalam kandang kuda ada loteng dan di sana ada rumput kering untuk makanan kuda. Untuk membakar kandang kuda dilakukan dengan cara membakar rumput kering di atas loteng tsb. Untuk pembakaran itu A menaiki sebuah tangga untuk mencapai loteng.B memegang tangganya. ada mulanya A berusaha membakar rumput dengan korek api, tetapi gagal karena rumput belum kering sepenuhnya. B kemudian mengumpulkan daun2 kering yang kemudian diserahkan kepada A dengan maksud supaya A dapat melakukan pembakaran dengan daun tsb. Akhirnya berhasil membakar kandang kuda milik C.

B bersalah melakukan turut serta (pembuat peserta)

A pembuat pelaksana.

Sedikitnya harus ada 2 orang dalam turut mekukan (medeplegen), yaitu: Orang yang melakukan (pleger) dan Orang yang turut melakukan (medepleger).

Kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan unsur dari delik. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya menolong, sebab jika demikian maka orang yang menolong itu tidak masuk orang yang turut melakukan (mede pleger) akan tetapi dihukum sebagai membantu melakukan (medeplichtige) pasal 56 KUHP.

Contoh: A beniat mencuri di rumah B dan mengajak C untuk bersama sama melakukan. Keduanya masuk rumah dan mengambil barang-barang, atau C yang menggali lubang, sedang A yang masuk dan mengambil barang-barangnya. Disini C dihukum sebagai turut melakukan (mede pleger), karena melakukan melakukan perbuatan pelaksanaan pencurian.

Andaikata C hanya beridir di luar untuk menjaga dan memberi isyarat kalau ada orang datang, maka C dihukum sebagai membantu melakukan (medeplichtige) Pasal 56 sebab perbuatannya hanya bersifat menolong saja.

Ada 2 syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana:

  1. Kerjasama yang disadari antara para pelaku, hal mana mrpk suatu kehendak bersama antara mereka.
  2. Mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu (kerjasama secara fisik)

4. Uitlokker

Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur: uitlokker/aktor intelektualis), unsur- unsurnya adalah:

1. Unsur obyektif:

  • Unsur perbuatan, adalah menganjurkan orang lain melakukan perbuatan
  • Caranya ialah: Memberikan sesuatu, Menjanjikan sesuatu, Menyalahgunakan kekuasaan, Menyalahgunakan martabat, Kekerasan, Ancaman, Penyesatan, Memberi kesempatan, Memberi sarana, Memberi keterangan.

2. Unsur subyektif: dengan sengaja

Ada 5 syarat dari seorang pembuat penganjur:

  1. Kesengajaan si pembuat penganjur yang harus ditujukan pada 4 hal:

a. Ditujukan pada digunakannya upaya2 penganjuran;

b. Ditujukan pada mewujudkan perbuatan menganjurkan beserta akibatnya.

(point a dan b kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan menganjurkan dengan upaya2, dan akibat dari perbuatan tersebut, serta terjadi hubungan sebab akibat)

c. ditujukan pada orang lain untuk melakukan perbuatan (apa yang dianjurkan). Kesengajaan itu hrs ditujukan agar orang lain itu melakukan tindak pidana. Contoh: A dengan menjanjikan upah sebesar 20 juta kepada B untuk membunuh C. perbuatan yang dimaksud adalah delik pembunuhan. Di sini kesengajaan A ditujukan pada orang lain (dalam hal ini B) untuk melakukan pembunuhan. Dalam hal ini tidak ditujukan pada orang satu-satunya (B) karena bisa saja yang melaksanakan pembunuhan itu tetapi orang lain (C)

d. ditujukan pada orang lain yang mampu bertanggung jawab atau dapat dipidana. (hal ini penting untuk membedakan dengan pembuat penyuruh ( doen pleger).

  1. Dalam melakukan perbuatan meganjurkan harus menggunakan cara-cara menganjurkan sebagaimana Pasal 55 (1) angka 2.

Tidaklah boleh dengan menggunakan upaya lain, misalnya menghimbau. Hal ini yang membedakan antara pembuat penganjur dengan pembuat penyuruh. Pada pembuat penyuruh dapat menggunakan segala cara, asalkan pembuat materiilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

a. Memberikan sesuatu:

sesuatu di sini harus berharga, sebab kalau tidak tidak berarti apa-apa / tidak dapat mempengaruhi orang yang dianjurkan. Misalnya uang, mobil, pekerjaan dsb. A memberikan uang 10 jt kepada B untuk membunuh C

b. Menjanjikan sesuatu

janji adalah upaya yang dapat menimbulkan kepercayaan bagi orang lain, janji itu belum diwujudkan, tetapi janji itu telah menimbulkan kepercayaan untuk dipenuhi. A berjanji kepada B akan memberikan uang jika berhasil membunuh C.

c. Menyalahgunakan kekuasaan

menggunakan kekuasaan yang dimiliki secara salah. Kekuasaan ini adalah kekuasaan dalam hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan. Oleh karena itu upaya menyalahgunakan kekuasaan di sini diperlukan 2 syarat:

  1. upaya ini digunakan dalam hal yang berhubungan atau dalam ruang lingkup tugas pekerjaan dari pemegang kekuasaan dan orang yang ada di bawah pengaruh kekuasaan (orang yang dianjurkan)
  2. hubungan kekuasaan itu harus ada pada saat dilakukannya upaya penganjuran dan pada saat pelaksanaan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan. Apabila hubungan kekuasaan itu telah putus, maka tidak terdapat penganjuran, karenanya pelaku mempertanggungjawabkan sendiri perbuatannya.

d. Menyalahgunakan martabat:

martabat di sini misalnya orang yang mempunyai kedudukan terhormat, misalnya tokoh politik, pejabat publik, sperti camat, todat, toga, tomas. Kedudukan seperti itu mempunyai kewibawaan yang dapat memberikan pengaruh pada masyarakat atau orang2, pengaruh tsb dapat disalahgunakan. (menyalahgunakan martabat).

e. Menggunakan kekerasan

Menggunakan kekuatan fisik pada orang lain sehingga menimbulkan akibat ketidak berdayaan orang yang menerima kekerasan itu. Tetepi syaratnya adalah berupa ketidakberdayaan yang sifatnya sedemikian rupa sehingga dia masih memiliki kesempatan dan kemungkinan cukup untuk melawan kekerasan itu tanpa resiko yang terlalu besar (menolak segala apa yang dianjurkan)

f. Menggunakan ancaman ;

Ancaman adalah suatu paksaan yang bersifat psikis yang menekan kehendak orang sedemikian rupa sehingga dia memutuskan kehendak untuk menuruti apa yang dikehendaki oleh orang yang mengancam. Ancaman juga menimbulkan ketidakberdayaan, tetapi tidak bersifat fisik, melainkan psikis, misalnya menimbulkan rasa ketakutan, rasa curiga, was-was. Misalnya akan dilaporkan akan dibuka rahasianya. Ancaman di sini juga hrs dapt menimbulkan kepercayaan bhw yang diancamkan itu akan diwujudkan oleh pengancam. Sebab kalau tidak ada kepercayaan, misalnya hanya bercanda saja, maka hanya pembuat materiilnya saja yang dipidana.

g. Menggunakan penyesatan (kebohongan) :

Berupa perbuatan yang sengaja dilakukan untuk mengelabui atau mengkelirukan anggapan atau pendirian orang dengan segala sesuatu yang isinya tidak benar atau bersifat palsu, sehingga orang itu menjadi salah atau keliru dalam pendirian.

Perbedaan penyesatan dalam pembuat penyuruh dan pembuat penganjur adalah :

  1. Penyesatan pada bentuk pembuat pembuat penyuruh adalah penyesatan yang ditujukan pada unsur tindak pidana, misal penjahat yang menyuruh kuli untuk menurunkan sebuah kopor milik orang lain. Tetapi penyesatan pada pembuat pengajur tidaklah ditujukan pada unsur tindak pidana tetapi ditujukan pada unsur motif tindak pidana. Contoh A sakit hati pada C dan karenanya A mengehndaki agar C mengalami penderitaan. Untuk itu A menyampaikan berita bohong yang menyesatkan B bahwa C telah berslingkuh dengan isterinya B dengan membuat alibi (pernyataan) palsu, dan dengan sangat meyakinkan A menganjurkan kepada B agar membunuh atau dianiaya saja C. penyesatan di sini adalah ditujukan pada motif agar B sakit hati dan membenci C, atau memberikan dorongan agar timbul sakit hati, benci dan dendam pada B, sehingga mendorong B untuk melakukan sesuai dengan kehendak A. apabila B tersesat dalam pendirian dan kemudian membunuh atau menganiaya C maka terjadi bentuk pembuat penganjur.
  2. Berbuat karena tersesat dalam hal unsur tindak pidana, pembuatnya tidak dapat dipidana. Di sini terjadi bentuk pembuat penyuruh yang dipidana adalah pembuat penyuruhnya. Pembuat materiilnya tidak dapat dipidana. Tetapi berbuat karena tersesat dalam hal unsur motif, yang terjadi adalah bentuk pembuat penganjur, dimana keduanya sama2 dapat dipidana.

h. Memberikan kesempatan

memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi orang lain untuk melakukan tindak pidana. Ex: A penjaga gudang yang menganjurkan kepada B untuk mencuri di gudang dengan kespakatan pembagian hasilnya, sengaja memberi kesempatan kepada B untuk mencuri dengan berpura-pura sakit sehingga pada malam itu dia absen dari tugasnya.

i. Memberikan sarana

berupa memberikan alat atau bahan untuk digunakan dalam melakukan tindak pidana. Misalnya A penjaga gudang sengaja menganjurkan pada B untuk mencuri di gudang dengan kesepakatan bagi hasil dengan cara memberikan kunci duplikat.

j. Memberikan keterangan

memberikan informasi, berita-berita yang berupa kalimat yang dapat menarik kehendak orang lain sehingga orang yang menerima informasi itu timbul kehendaknya untuk melakukan suatu tindak pidana, yang kemudian tindak pidana itu benar dilaksanakan.

3. Terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan (pembuat peklaksananya) untuk meakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan adalah disebabkan langsung oleh digunakannya upaya2 penganjuran oleh si pembuat penganjur. Di sini terjadi hubungan sebab akibat. Sebab adalah digunakan upaya penganjuran, dan akibat adalah terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan. Jadi jelaslah inisiatif dalam hal penganjuran selalu dan pasti berasal dari pembuat penganjur. Hal ini pula yang membedakan dengan bentuk pembantuan. Pada pembantuan (pasal 56) inisiatif untuk mewujudkan tindak pidana selalu berasal dari pembuat pelaksananya, dan bukan dari pembuat pembantu.

4. Orang yang dianjurkan (pembuat pelaksanaanya) telah melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkan

  1. Orang yang dianjurkan adalah orang yang memiliki kemampuan bertanggung jawab

Pembuat Pembantu (medeplichtige)

a. Sifat Pembantuan

Dilihat dari perbuatannya, pembantuan ini bersifat accesoir artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang melakukan kejahatan (harus ada orang yang dibantu). Tetapi dilihat dari pertanggungjawabannya tidak accesoir, artinya dipidananya pembantu tidak tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut atau dipidana.

b. Jenis Pembantuan

  1. Pada saat kejahatan dilakukan, caranya tidak ditentukan secara limitatif dalam undang-undang.
  2. Sebelum kejahatan dilakukan, caranya ditentukan secara limitatif dalam undang-undang yaitu dengan cara memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.

1. Pembantu pada saat kejahatan dilakukan

Jenis pembantuan ini mrip dengan “turut serta” (medeplegen), perbedaannya :

Pembantuan

Turut Serta

  1. Menurut ajaran penyertaan objektif: perbuatan hanya merupakan perbuatan membantu/menunjang
  2. Menurut ajaran subjektif: kesengajaan hanya untuk memberi bantuan kepada orang lain, tidak harus ada kerja sama yang disadari, tidak mempunyai kepentingan/tujuan sendiri
  3. Terhadap pelanggaran tidak dipidana (Psl. 60 KUHP)
  4. Maksimum pidananya dikurangi sepertiga (Pasal 57(1))
  1. Menurut ajaran objektif, perbuatannya merupakan perbuatan pelaksanaan.
  2. Menurut ajaran subjektif: kesengajaannya diarahakan untuk mewujudkan delik, harus ada kerjasama yang disadari, mempunyai kepentingan/tujuan sendiri.
  3. Terhadap kejahatan maupun pelanggaran dapat dipidana.
  4. Maksimum pidananya sama dengan si pembuat.

2. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan

Jenis pembantuan ini mrip dengan “penganjuran” (uitlokking), perbedaannya :

  • Pada penganjuran : kehendak untuk melakukan kejahatan pada pembuat materiil ditimbulkan oleh si penganjur (ada kausalitas phikis).
  • Pada pembantuan: kehendak jahat pada pembuat materil sudah ada sejak semula (tidak ditimbulkan oleh si pembantu).

Adanya ajaran penyertaan yang objektif dan subjektif ditimbulkan adanya dua konsepsi yang saling bertentangan mengenai batas-batas pertanggungjawaban para peserta, yaitu :

  1. Sistem yang berasal dari hukum Romawi

Menurut sistem ini tiap-tiap peserta sama nilaianya (sama jahatnya) dengan orang yang melakukan delik itu sendiri, sehingga mereka masing-masing juga dipertanggungjawabkan sama dengan pelaku. Karena tiap-tiap peserta dipertanggungjawabkan sama, maka batas antara bentuk bentuk penyertaan tidaklah prinsip, yang dijadikan titik berat untuk menentukan batas antara pelaku dengan para peserta diletakkan pada perbuatannya dan saat bekerjanya masing-masing (jadi bersifat objektif). Pendirian inilah yang dikenal dengan teori penyertaan yang objektif.

Sistem yang pertama ini dianut oleh Code Penal Perancis, dan dianut juga di Inggris.

  1. Sistem yang berasal dari jurist Italia dalam abad pertengahan

Menurut sistem ini tiap-tiap peserta tidak dipandang sama nilaianya (tidak sama jahatnya), tergantung dari perbuatan yang dilakukan. Oleh karena itu pertanggungjawabannya juga berbeda, adakalanya sama berat adakalanya lebih ringan dari pelaku.

Karena pertanggungjawabn juga berbeda, maka batas antara masing-masing bentuk penyertaan itu adalah prinsip sekali, artinya harus ditentukan secara tegas. Adapun yang dijadikan batasan masing-masing bentuk penyertaan dititikberatkan pada sikap batin masing-masing peserta. Pendirian inilah dikenal dengan teori subjektif.

Sistem yang kedua ini dianut oleh KUHP Jerman dan Swis.

Menurut Prof. Moeljatno, KUHP kita dapat digolongkan kedalam Teori Campuran karena :

  • Dalam Pasal 55 “dipidana sebagai pembuat” dan dalam pasal 56 disebutkan “dipidana sebagai pembantu”. Dengan adanya dua bentuk penyerataan ini berarti dianut sistim yang pertama.
  • Akan tetapi apabila dilihat perbedaan pertanggungjawabannya, yaitu pembantu dipidana lebih ringan dari si pembuat maka ini berarti dianut sistim kedua.

Selanjutnya Prof. Moeljatno mengemukakan apabila pada dasarnya KUHP kita menganut sistem Code Penal (sistem pertama) dengan pengecualian untuk pembantuan dianut sistem KUHP Jerman (sistem kedua), maka konsekuensinya ialah :

  1. Perbedaan dalam pasal 55 antara pelaku, orang yang menyuruh melakukan, yang turut serta dan yang menganjurkan adalah tidak prinsipil. Ini berarti batas antara mereka yang tergolong dalam”daders” itu tidak perlu ditentuka secara subjektif menurut niatnya masing-masing peserta, tetapi cukup secara objektif menurut bunyinya peraturan saja.
  2. Perbedaan antara pembuat (dader) dan pembantu (medplicthtige) adalah prinsipil, sehingga batas antara keduanya ditentukan menurut sikap batinnya.

c. Pertanggungjawaban Pembantu

Pada prinsipnya KUHP menganut sistem bahwa pidana pokok untuk pembantu lebih ringan dari pembuat. Prinsip ini terlihat didalam Pasal 57 ayat (1) dan (2), yaitu :

  • Maksismum pidana pokok untuk pembantuan dikurangi sepertiga (ayat 1)
  • Apabila kejahatan diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup maka maksimum pidana untuk pembantu ialah 15 tahun (ayat 2).

Pengeculian dalam prinsip ini terlihat dalam :

  1. Pasal 333 (4) : pembantu dipidana sama berat dengan pembuat (lihat juga pasal 415 dan 417 KUHP)
  2. Pasal 231 (3) : Pembantu dipidana lebih berat dari si pembuat (lihat juga pasal 349)

Pidana tambahan untuk pembantu sama dengan ancaman terhadap kejahatannya itu sendiri, jadi sama dengan si Pembuat (pasal 57(3)).

Dalam mempertanggungjawabkan seorang pembantu, KUHP menganut sistem pertanggunganjawabannya berdiri sendiri (tidak bersifat accesoir) artinya tidak ditergantungkan pada pertanggungjawaban si pembuat. Prinsip yang demikian terlihat dalam pasal-pasal sebagai berikut:

  1. Pasal 57 (4); Dalam menentukan pidana bagi pembantu yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
  2. Pasal 58; Dalam menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan-keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana hanya diperhitungkan terhadap pembuat atau pembantu yang bersangkuta itu sendiri.

Misalnya : A membantu B untuk membunuh C, apabila si B (pelaku materiil) tidak memiliki kemampuan bertanggungjawab (Pasal 44), A sebagai pembantu tetap dapat dipidana.

Tetapi apabila A memberikan bantuan kepada B dalam rangka pembelaan terpaksa (Pasal 49 (1))maka A tidak dapat dipidana karena pembelaan

Tetapi apabila A memberikan bantuan kepada B dalam rangka pembelaan terpaksa (Pasal 49 (1))maka A tidak dapat dipidana karena pembelaan terpaksa itu dapat juga diperuntukkan untuk kepentingan membela orang lain.

* sebagai bahan kuliah

S. MARONIE

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Kontrol (Kriminologi)

Peradaban Islam Masa Daulah Utsmani

Teori Subculture (Kriminologi)