Sekelumit Tentang I La Galigo

I La Galigo, inilah kata yang mengemuka dalam seminggu terakhir di duniamaya Makassar. Pemberitaan akan kepulangannya ke Makassar dengan pementasan teater setelah melanglang dunia lima tahun terakhir, pentas teater kelas dunia I La Galigo akhirnya berlabuh di kota kelahirannya, Makassar. Pementasan ini akan berlangsung di Fort Rotterdam, 23-24 April 2011. Pementasan I La Galigo terinspirasi dari Sureq Galigo, hikayat kepahlawanan di Sulawesi Selatan. Lakon ini dipentaskan pertama kali di Singapura pada tahun 2003, lalu menyusul di antaranya di Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, New York, dan di Jakarta pada tahun 2005 engan sutraaranya Robert Wilson. Di Makassar, pentas akan digelar dalam format opera di ruang terbuka dengan durasi dua sampai 2,5 jam. Setidaknya seratus pendukung acara, termasuk seniman Sulawesi Selatan, akan dilibatkan. 

Epos yang ditulis antara abad ke-13 dan ke-15 ini merupakan karya terpanjang di dunia, mengalahkan Mahabarata atau Ramayana. I La Galigo bersumber dari naskah Sureq Galigo yang ditulis dalam huruf lontara. Naskah asli berada di Leiden, Belanda, dengan tebal 6.000 halaman. Penerjemahan sudah dilakukan oleh Muhammad Salim, dosen fakultas seni dan desain Universitas Negeri Makassar. Beliau membutuhkan waktu lima tahun dua bulan untuk menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia, tapi terjemahan beliau belumlah lengkap dan pada bulan maret lalu beliau tak sempat menikmati hasil karyanya karena telah meninggal dunia.

Isi dari legenda masrakat bugis ini sebagian besar berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading (seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau) dan hubungannya dengan keluarganya. Serta merupakan cerita rakyat yang menarik baik sebagai bacaan hiburan dan buku bacaan upacara seperti halnya barazanji. 

Ada satu dialog dalam epik ini yang sangat menarik (dalam buku “Tiga dari Galigo”), yaitu ketika Sawerigading terkesima melihat kecantikan Daeng Risompa. Banyak sekali pertanyaan yang diajuakan oleh Daeng Risompa, diantara pertanyaan itu adalah “Niga Assemmu ?” yang dijawab oleh I La Galigo : “I La Galaligo namaku tuanku, To Tessiwoja gelarku, To Tessamagga panggilanku. Sebabnya aku dipanggil namaI La Galigo, rumit sekali jodoh pertunangan yang melahirkanku…..”. Selain itu ada juga episode cinta terlarang dimana Sawerigading mencintai saudara kembarnya yakni Tenriabeng yang terhalang oleh Adat Istiadat Bugis dan perjalanan Sawerigading ke Cina.


I La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarawan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14. Jadi jangan sampai anda lewatkan pementasan I La Galigo.....


S.Maronie
22 April 2011
12.13 am
@myroom



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Kontrol (Kriminologi)

Peradaban Islam Masa Daulah Utsmani

Teori Subculture (Kriminologi)