Pengawasan Rumpon Ilegal
Rumpon atau istilah lainnya dikenal dengan fish
aggregating devices (FADs) adalah alat bantu pengumpul ikan yang
menggunakan berbagai bentuk dan jenis pengikat/atraktor dari benda padat,
berfungsi untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas operasi penangkapan
ikan. Rumpon yang
digunakan terdiri dari 4 komponen yaitu : pertama pelampung, kedua atraktor
rumpon yang digunakan bahan alami yang mudah terurai secara biologi seperti
daun pinang dan daun kelapa, ketiga tali tambat untuk rumpon menggunakan tali
yang tidak mudah rusak dan kuat terhadap arus dan keempat pemberat untuk rumpon
supaya menetap dan tidak terbawa oleh arus.
Dilansir dari berbagai literatur fungsi utama rumpon adalah sebagai tempat
berkumpulnya ikan yang diakibatkan terurainya daun kelapa atau pun daun pinang
secara biologi akan menarik ikan-ikan kecil serta memikat ikan-ikan yang besar
sebagai predator. Alasan inilah alat bantu rumpon menjadikan lokasi penangkapan
yang berpotensi dalam operasi penangkapan dengan biaya operasional dikeluarkan
akan menjadi minim. Penempatan rumpon tersebut
bertujuan mempermudah nelayan dan kapal ikan untuk melakukan pemancingan
ataupun penjaringan kawanan ikan yang sudah berkumpul dan berada di
sekitar rumpon.
Hal ini akan menghadapi masalah ketika kawanan ikan yang berkumpul bukan
hanya ikan-ikan yang akan ditangkap seperti kelompok tuna, cakalang dan
tongkol, tetapi juga jenis-jenis yang bukan target diantaranya hiu, penyu dan
lumba-lumba. Oleh karena itu penangkapan ikan di sekitar rumpon memperbesar
peluang tertangkapnya jenis bukan target atau sering disebut juga sebagai
tangkapan sampingan (by-catch) atau
tangkapan yang tidak diinginkan (unwanted-catch).
Tidak hanya itu,
ikan-ikan target yang berkumpul tersebut sebagian besar tidak dalam ukuran
layak tangkap, sehingga penangkapan ikan mengandalkan rumpon memperbesar
peluang tertangkapnya ikan-ikan yang belum dewasa (juvenile)[1].
Meskipun penggunaan rumpon menguntungkan bagi nelayan,
namun pemasangan rumpon cenderung melupakan perizinan dan peraturan dalam
pemasangan rumpon, sehingga pemasangan rumpon tersebut dinyatakan illegal. Dalam 15 tahun terakhir di Indonesia,
penempatan rumpon secara sembarangan tanpa izin semakin marak. Keberadaan
rumpon-rumpon ilegal itu disebabkan penegakan dan kepatuhan
terhadap aturan yang lemah. Pemanfaatan rumpon yang tidak terkendali juga
menimbulkan berbagai masalah termasuk konflik antar nelayan.[2]
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2014 lalu, kapal
penangkap ikan dengan alat tangkap purse seines di atas 30 GT mencapai 1602
kapal. Diperkirakan setiap kapal ikan memiliki dan menempatkan hingga
15 rumpon di perairan laut, baik legal maupun ilegal sehingga jumlah rumpon
yang ditebar mencapai 24.030 unit. Angka estimasi tersebut hanya rumpon yang
ditempatkan oleh kapal purse seines izin pusat, belum termasuk izin kapal purse
seines di bawah 30GT yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, oleh kapal dengan
alat tangkap lainnya, dan belum termasuk rumpon yang ditempatkan oleh
perseorangan atau perusahaan yang sebenarnya tidak memiliki kapal ikan. [3]
Dasar Hukum Rumpon
Dalam melindungi kelestarian sumberdaya ikan dan
lingkungannya dikeluarkan kebijakan mengenai rumpon dalam Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan PER 26 / MEN / 2014 tentang Rumpon. Dalam permen ini diatur diantaranya mengenai :
- pemasangan rumpon wajib memiliki Surat Izin Pemasangan Rumpon (SIPR) yang disesuaikan dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) pada setiap kapal;
- masa berlaku pemanfaatan rumpon disesuaikan dengan SIPI;
- adanya batasan pemilikan rumpon sebanyak 3 unit perkapal;
- pemanfaatan rumpon secara khusus hanya oleh kapal ikan terkait;
- mewajbkan setiap kapal ikan melaporkan frekuensi dan hasil penangkapan dari pemanfataan rumpon;
- pemasangan rumpon tidak mengganggu alur pelayaran serta jarak antar rumpon yang satu dengan rumpon lainnya tidak kurang dari 10 mil laut; dan
- struktur rumpon dilarang tertutup menggunakan lembaran jaring untuk menghindari hasil tangkapan sampingan yang tidak diinginkan.
SIPR diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk rumpon yang
dipasang di Jalur Penangkapan Ikan III (ilayah Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia), gubernur untuk rumpon yang
dipasang di jalur penangkapan ikan II (wilayah 4-12 Mill Laut), bupati/walikota
untuk rompon yang dipasang di jalur penangkapan ikan I (wilayah 2-4 Mill Laut).
Pengawasan Rumpon Ilegal
Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan berwenang mengawasi pemanfaatan
rumpon sesuai dengan Permen Nomor 26 Tahun 2014 tentang Rumpon, termasuk
melakukan operasi penertiban rumpon oleh Kapal Pengawas Perikanan. Selama tahun
2017 Ditjen PSDKP telah melaksanakan 3 (tiga) kali operasi pengawasan rumpon
ilegal, yaitu :
1.
Pada tanggal 7-11 Februari 2017 telah menertibkan 11 (sebelas) rumpon
ilegal di Perairan Maluku;
2.
Juni 2017, menertibkan 7 (tujuh) rumpon ilegal di Perairan Maluku; dan
3.
November 2017, menertibkan 12 (dua belas) rumpon ilegal di utara Laut
Sulawesi dan 3 (tiga) di Laut Seram.
Sampai saat ini hasil operasi penertiban rumpon ilegal belum ada satupun
yang ditindak lanjuti ke tahapan penyidikan dikarenakan sulitnya
mengidentifikasi pelaku yang memasang rumpon ilegal. Untuk itu rumpon yang
telah ditertibkan telah dimusnahkan.
![]() |
Kapal Pengawas Orca 03 menertibkan 12 rumpon ilegal di utara Laut Sulawesi, Sumber : Twitter @HumasPSDKP |
Pelarangan rumpon tidak lain karena jumlahnya yang melimpah dan hambatan
bagi ikan-ikan untuk migrasi. Untuk itu diperlukan pengendalian bagi instansi yang menerbitkan SIPR agar meningkatkan fungsi
pengendalian, serta penegakan
hukum yang kuat dan sistem pengawasan yang diperketat, karena telah jelas pelanggaran akan aturan rumpon tertuang dalam UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan, yang memiliki sanksi cukup berat yaitu denda
250 juta rupiah dan untuk nelayan kecil sebesar 100 juta rupiah (pasal 100 dan
pasal 100C).
Pemantauan rumpon menjadi konsen bagi Ditjen PSDKP sehingga perlu memikirkan alat pemantauan
lainnya (selain radar reflector) agar
rumpon mudah dipantau karena rumpon dapat dipindahkan secara cepat. Selain itu diperlukan
operasi rumpon ilegal secara berkala dengan didukung prasarana dan pembiayaan
operasi.
15 November 2017
Sherief Maronie, SH. MH.
Analis Hukum pada Direktorat Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP, KKP
Komentar
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda?