Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Undang-Undang Perikanan

Melihat berita Dirpolair Polda Sulsel yang pada 25 April lalu mengamankan nelayan asal Sumbawa di tengah perairan Sulawesi, tepatnya kurang lebih 30 mil laut sebelah selatan Pulau Setanger, Kecamatan Likang Tangaa Kabupaten Pangkep karena melakukan aktivitas mencari ikan dengan menggunakan bahan-bahan peledak. Ditengarai bahwa para nelayan yang terbiasa melakukan bahan peledak itu dimanfaatkan oleh orang-orang atau korporasi tertentu untuk menjalankan aksi-aksi pengeboman dengan melibatkan nelayan-nelayan kecil.
Pengaturan terhadap korporasi atau badan hukum dalam undang-undang perikanan masih tergolong lemah, meskipun di dalam undang-undang perikanan telah diatur tentang prinsip pertanggungjawaban pidana bagi korporasi, serta pihak yang dapat dibebankan tanggung jawab ketika korporasi melakukan delik, namun menurut hemat penulis, pengaturan tentang prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi dalam undang-undang perikanan masih menimbulkan penafsiran yang bersifat multi-interpretatif dan memiliki kelemahan. Hemat penulis, kelemahan dimaksud menyangkut persoalan yang substansial, khususnya jika dikaitkan dengan pertanggungjawaban korporasi.
Kelemahan-kelemahan itu antara lain, undang-undang perikanan tidak mengatur kriteria atau rumusan tentang korporasi dikatakan melakukan suatu delik, dimana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang kemudian diubah dalam Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009, pertanggungjawaban pidana korporasi hanya terdapat dalam Pasal 101 yang pada prinsipnya pertanggungjawaban pidana korporasi dibebankan terhadap pengurusnya.
Menyangkut tidak adanya pengaturan tentang bilamana korporasi dianggap melakukan delik, secara logis sangat menyulitkan untuk dijeratnya korporasi sebagai pelaku delik. Asumsinya, ialah dengan tidak adanya pengaturan demikian maka unsur perbuatan (actus reus) dari korporasi tidak dapat ditentukan dan konsekuensi lebih lanjut adalah unsur pertanggungjawaban (mens rea) tidak akan terpenuhi yang disebabkan parameter yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengukur kapan korporasi dianggap melakukan delik sama sekali tidak dijelaskan secara detil dalam Undang-Undang Perikanan. Meskipun hakim menggunakan konsep dualistik yang memisahkan antara actus reus di satu sisi dengan unsur mens rea di sisi yang lain, ataupun konsep monolistik yang tidak memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, tetap saja korporasi tidak dapat dijerat sebagai pelaku delik, oleh karena kerangka acuan normatif untuk mengukur dan menilai apakah korporasi telah melakukan delik tidak dijelaskan dalam undang-undang perikanan.
Dapat dipahami bahwa pelaku delik perikanan yang mampu dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan umumnya adalah pelaku di lapangan seperti anak buah kapal dan nakhoda kapal. Sedangkan pihak korporasi yang berada di belakang mereka dan justru memperoleh keuntungan lebih besar dari kegiatan perikanan yang menyimpang sama sekali tidak tersentuh.
Idealnya bagi penulis, dalam undang-undang perikanan diatur tentang batasan atau pengertian yang menjadi ukuran korporasi manakala melakukan delik, begitu juga tentang ruang lingkup kegiatan dimana delik dilakukan oleh korporasi, sehingga pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepadanya.
Sebagai bahan perbandingan dengan ketentuan lainnya, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 20 undang-undang ini memberikan batasan jelas tentang bilamana suatu korporasi melakukan delik dengan menyebutkan sebagai berikut: “Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oieh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”.
Selain kelemahan yang telah dianalisis pada pengkajian sebelumnya, kelemahan lain undang-undang perikanan hubungannya dengan prinsip pertanggungjawaban korporasi yang dicermati oleh penulis, ialah makna pengurus korporasi tidak memiliki ruang lingkup yang jelas dan tegas pengaturannya. Pasal 101 undang-undang perikanan menyebutkan sebagai berikut: “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, dan Pasal 96 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan”.
Mengacu kepada ketentuan pasal sebagaimana dikutip di atas, pengurus korporasi merupakan pihak yang dapat dituntut dan dibebankan pertanggungjawaban pidana, tetapi yang menjadi persoalan menurut penulis, ialah kata ”pengurus” tidak memiliki definisi atau pengertian yang jelas. Undang-undang perikanan sama sekali tidak menjelaskan hal-hal mengenai pengertian dari kata ”pengurus”, pihak-pihak mana saja dalam struktur kepengurusan suatu korporasi yang dapat dimintai pertanggungjawaban, ataupun sampai di mana kewenangan yang dimiliki oleh pihak dalam struktur kepengurusan korporasi yang dapat dibebankan tanggung jawab pidana.
Persoalan ini menjadi penting menurut hemat penulis atas pemikiran sederhana, bahwa pada struktur kepengurusan korporasi tidak hanya satu pihak yang berada di dalamnya. Demikian juga dengan satuan-satuan kerja di dalam perusahaan tidak terdiri dari satu unit saja. Unit-unit kerja tersebut pastinya dikendalikan oleh beberapa orang disertai kewenangan masingmasing. Begitupun persoalan, pertanggungjawaban pidana tersebut apakah dibebankan kepada pengurus yang bekerja di lapangan, atau diberikan kepada atasannya. Jika hal-hal tersebut tidak ditentukan, secara logis akan sangat sulit menentukan pihak dalam kepengurusan dalam suatu korporasi untuk bertanggungjawab.
Pilihan yang lebih mapan mengenai pihak yang bertanggungjawab atas delik yang dilakukan korporasi dapat diketemukan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penjelasan pasal 20 ayat (1) undang-undang tersebut menyebutkan: “Yang dimaksud dengan "pengurus" adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi. Sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi”.
Uraian di atas dapat dijadikan dasar oleh penulis, bahwa meskipun korporasi diakui sebagai pelaku suatu delik dalam undang-undang perikanan, akan tetapi korporasi itu sendiri tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Gejala bahwa untuk kasus-kasus tertentu di mana keuntungan yang diperoleh perusahaan sedemikian besar dan/atau kerugian yang ditanggung masyarakat sedemikian besar, maka pengenaan pidana penjara atau denda “hanya” kepada pihak pengurus korporasi akan menjadi tidak sebanding. Selain itu, pengenaan pidana kepada pengurus korporasi juga tidak cukup memberikan jaminan bahwa korporasi tersebut tidak melakukan tindakan serupa di kemudian hari. Dalam kenyataannya, pihak korporasi juga tidak sedikit yang berlindung di balik korposari-korporasi boneka (dummy company) yang sengaja mereka bangun untuk melindungi korporasi induknya.
Menurut pendapat penulis, ketika pengaturan prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam undang-undang perikanan masih lemah, maka diperlukan perbaikan terhadap substansi ketentuan yang berkenaan dengan korporasi. Selain itu, peningkatan kualitas dan kemampuan dari penegak hukum yang menerjemahkan serta menerapkan aturan hukum tersebut. Tidak kalah pentingnya ialah keberanian dan mentalitas dari penegak hukum sangat memegang peranan penting, mereka harus senantiasa kreatif dalam melakukan terobosan-terobosan hukum dalam menghadapi persoalan delik perikanan, oleh karena yang mereka hadapi tidak hanya pelaku yang dikategorikan pelaku di lapangan, namun juga pelaku yang dikategorikan memiliki kemampuan finansial dan pengaruh yang jauh lebih baik.


S.Maronie
02 Mei 2011

11.58 pm

@excelcoMP & myroom

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Percobaan (Poging) Dalam Hukum Pidana

Tipe-Tipe Masyarakat

Perbarengan (Concursus) Dalam Hukum Pidana