Pengadilan Perikanan Elemen Pendukung Pemberantasan Tindak Pidana Perikanan
Latar Belakang
Terbentuknya Pengadilan Perikanan
Semangat
pembentukan pengadilan khusus perikanan ini dilandasi dengan semangat untuk
mengatasi krisis “ketidakberdayaan” lembaga-lembaga peradilan yang ada dalam
menjawab berbagai persoalan hukum khususnya yang terkait penegakan hukum tindak
pidana perikanan. Hal ini dikarenakan
wilayah Indonesia yang berbatasan dengan negara lain, memiliki sumber daya
perikanan yang potensial dan merupakan sentra perikanan nasional sering menjadi
target bagi kapal perikanan asing maupun lokal dalam melakukan penangkapan ikan
secara illegal.
Proses hukum yang ada
dinilai jauh dari asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Selain itu yang tak
kalah pentingnya adalah semakin pesatnya kemajuan teknologi dan semakin
kompleksnya persoalan-persoalan hukum di bidang perikanan, maka dibutuhkan
suatu lembaga peradilan yang profesional dan didukung oleh sumber daya manusia
yang menguasai persoalan tersebut. Kehadiran pengadilan perikanan diharapkan dapat memberikan kejelasan dan kepastian hukum
terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di perikanan.
Dasar Hukum
Pembentukan Pengadilan Perikanan
Landasan hukum
pembentukan pengadilan perikanan diamanatkan dalam Pasal 71 UU Perikanan diatur
mengenai pembentukan pengadilan
perikanan yang merupakan pengadilan khusus
yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang
perikanan yang berada pada lingkungan peradilan
umum. Untuk pertama kali pengadilan perikanan
dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.
Untuk
persiapan pelaksanaan pembentukan pengadilan perikanan, diterbitkan Keputusan
Bersama Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI
BIdang Yudisial Nomor: SKB.04/MEN/2005 dan WKMA/Yud/01/SKB/XII/2005 tanggal 5
Desember 2005 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Persiapan Pembentukan
Pengadilan Perikanan.
Peningkatan kasus tindak pidana
perikanan khususnya di kawasan Laut China Selatan dipandang perlu membentuk
pengadilan perikaan untuk mengadili perkara tindak pidana perikanan di kawasan
tersebut. Begitu juga di wilayah
timur Indonesia khususnya yang berbatasan dengan negara lain, Indonesia memiliki sumber daya
ikan dan wilayah tersebut merupakan sentra
perikanan nasional yang rawan
terhadap tindak pidana perikanan baik yang dilakukan oleh kapal perikanan asing
maupun kapal perikanan lokal.
Menindaklanjut hal tersebut, maka diterbitkan Keputusan
Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tanggal 17 Juni 2010 tentang Pembentukan Pengadilan
Perikanan pada Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai, serta diterbitkan pula Keppres
Nomor 6 Tahun 2014 tanggal 6 Februari 2014 tentang Pembentukan Pengadilan
Perikanan Pada Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong dan Pengadilan
Negeri Merauke.
Pemenuhan SDM dan
Penyebaran Hakim Ad Hoc Perikanan
Hakim pengadilan
perikanan terdiri atas hakim karir dan hakim ad hoc, dengan susunan
majelis hakim terdiri atas 2 hakim ad hoc dan 1 hakim karir. Hakim karir
ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung, sedangkan Hakim ad
hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah
Agung.
Untuk
memenuhi kebutuhan SDM di 5 lokasi awal pembentukaan Pengadilan Perikanan, dilaksanakan
rekrutmen dan Diklat Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan pada tahun 2006 dan
dilanjutkan dengan pengangkatan 28 orang hakim ad hoc perikanan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22/P Tahun
2007 tanggal 3 Maret 2007 tentang pengangkatan dalam jabatan hakim ad
hoc pada Pengadilan Perikanan. Penempatan 28 orang hakim ad
hoc pada 5 lokasi pengadilan perikanan pada tahun 2007 berdasarkan
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 141/KMA/SK/VIII/2007 tanggal 21
Agustus 2007 tentang Penempatan/Penugasan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Perikanan;
Sebagai pemenuhan kebutuhan SDM hakim ad hoc pada 2 lokasi pengadilan
perikanan yang dibentuk pada tahun 2010 di
Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai,
dilakukan pembentukan Pokja seleksi
dan Diklat Hakim Ad Hoc Perikanan berdasarkan Keputusan
Bersama Ketua Muda Tindak Pidana Khusus Mahkamah Agung RI dengan Direktur
Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor
010/KM/Pidsus/IX/2009 dan KEP.161/DJ-PSDKP/2009 tanggal 15 September 2009
tentang Pembentukan Kelompok Kerja Seleksi dan Pendidikan Calon Hakim Ad Hoc Perikanan Tahun 2009. Berdasarkan hasil seleksi
hakim ad hoc pengadilan perikanan
tersebut, telah diangkat 19 orang hakim
ad hoc
perikanan dan ditempatkan di
7 lokasi pengadilan perikanan.
Selanjutnya untuk
memenuhi kebutuhan hakim
ad hoc
pada 7 lokasi Pengadilan Perikanan pada tahun 2012 dilaksanakan kembali seleksi dan pendidikan hakim ad hoc
Perikanan berdasarkan Surat Keputusan Bersama antara Ketua Muda Pidana Khusus
Mahkamah Agung RI dengan Direktur Jenderal PSDKP Nomor
03/KM/PIDSUS/KH.04/I/2012 dan 06/PSDKP/KKP/PKS/I/2012 tanggal 19 Januari 2012
tentang Pembentukan Pokja Seleksi
dan Pendidikan Calon Hakim Ad Hoc
Pengadilan Perikanan Tahun 2012, berdasarkan
hasil seleksi telah diangkat 20 orang hakim
ad hoc
Perikanan dan telah ditempatkan di 7 lokasi
pengadilan perikanan. Adapun data
sebaran hakim ad hoc
perikanan Sampai dengan Tahun
2017, sebagai berikut :
No
|
Pengadilan Perikanan
|
Jumlah Hakim Ad Hoc Perikanan (Orang)
|
1
|
PN Jakarta
Utara
|
11
|
2
|
PN Medan
|
9
|
3
|
PN Pontianak
|
7
|
4
|
PN Bitung
|
3
|
5
|
PN Tual
|
3
|
6
|
PN Tanjung
Pinang
|
10
|
7
|
PN Ranai
|
4
|
8
|
PN Ambon
|
2
|
9
|
PN Sorong
|
2
|
10
|
PN Merauke
|
3
|
Jumlah
|
Data Diolah Penulis
Tahun 2017 ada 20 orang hakim ad hoc
perikanan akan berakhir masa tugasnya, dan tidak dapat
diperpanjang lagi karena telah
diperpanjang satu kali. Hal ini berdasarkan Pasal 8 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun
2006 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan. Sehingga
dengan ketersediaan hakim ad
hoc
perikanan yang tersisa, perlu dilakukan perekrutan hakim ad hoc perikanan atau melakukan redistribusi hakim ad hoc perikanan di 10 pengadilan
perikanan. Hal ini perlu segera diputuskan untuk mendukung semangat Kementerian
Kelautan dan Perikanan yang gencar mengkampanyekan pemberantasan illegal fishing yang tentunya harus
didukung oleh ketersediaan sumber daya hakim perikanan yang berkompeten.
Hukum
Acara Pada Pengadilan Perikanan
Hukum acara pada
pengadilan perikanan diatur dalam pada Bab XIII – XIV UU Perikanan, ada
beberapa hal yang membedakan hukum acara perikanan dengan hukum acara yang pada
KUHAP, yaitu mengenai jangka waktu pemeriksaan.
Jangka waktu
penanganan perkara perikanan diatur cukup singkat,
yaitu 20 hari ditingkat penuntutan
sedangkan ditingkat pengadilan perikanan, Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah
Agung (MA) masing-masing 30 hari terhitung penerimaan berkas perkara.
Membandingkannya dengan KUHAP, penyelesaian perkara tidak ditentukan jangka
waktunya, yang ditentukan adalah jangka waktu penahanan.
Perbandingan Masa Penahanan Antara UU
Perikanan dengan KUHAP
Ketentuan pembatasan
waktu tersebut sterkadang tidak sesuai dengan kondisi riil dilapangan. Pemeriksaan di pengadilan ada beberapa tahapan beracara
yang harus dilalui, tenggang waktu
yang ada dalam UU Perikanan selama 30
hari sering tidak cukup karena digunakannya hak terdakwa mengajukan eksepsi,
adanya tanggapan penuntut umum terhadap eksepsi, tuntutan pidana penuntut umum,
pembelaan, replik, maupun duplik. Kesulitan memanggil saksi maupun pemanggilan
saksi atau terdakwa agar sah dan patut menurut KUHAP juga membutuhkan waktu
yang tidak sedikit. Terlebih lagi harus memberikan kesempatan kepada penuntut
umum mengajukan tuntutan pidananya. Penuntut umum biasanya harus menunggu
rencana tuntutan (rentut) hingga Kejaksaan Agung. Pada tingkat pemeriksaan di
PT atau MA, waktu 30 hari tersebut juga sering menyulitkan karena perkara yang
ditangani kedua lembaga peradilan ini terkadang
overload.
Menurut penulis, hal ini
menjadi dilematis karena lahirnya Pengadilan Perikanan untuk mempercepat proses
hukum tindak pidana perikanan, tetapi dengan adanya batasan waktu yang singkat
maka akan sangat sulit juga pada saat pemeriksaan yang terkait dengan korporasi,
di satu sisi ada juga tindak pidana perikanan yang dapat dikatakan
pembuktiannya mudah dan tidak ada ancaman sanksi pidana penjaranya seperti pada
Pasal 100 UU Perikanan. Untuk itu sebaiknya UU Perikanan mengkategorikan adanya
tindak pidana ringan agar dapat diberlakukan hukum acara pemeriksaan singkat
atau hukum acara pemeriksaan cepat dengan argumen kasusnya sederhana dan
pembuktian serta penerapan hukumnya mudah.
Selain permasalahan
waktu pemeriksaan di tingkat pengadilan, persidangan
pengadilan perikanan dengan unsur hakim ad
hoc perikanan hanya ada pada pengadilan tingkat pertama, yang dalam persidangan
dilaksanakan dengan komposisi
majelis 1 (satu) hakim karir sebagai ketua majelis
dan 2 (dua) orang anggota yang berasal dari hakim ad hoc (Vide Pasal 78 UU Perikanan). Idealnya keberadaan
hakim ad hoc tidak hanya ada pada pengadilan tingkat pertama, tetapi terdapat juga pada pengadilan tingkat banding maupun kasasi.
Sebelum UU Perikanan direvisi pada tahun 2009 ada hal menarik terkait
kompetensi relatif pengadilan perikanan, pada Pasal 71 ayat (4)
ditegaskan bahwa daerah hukum pengadilan perikanan sesuai dengan daerah hukum
pengadilan negeri yang bersangkutan. Setelah UU Perikanan mengalami revisi melalui UU Nomor 45 Tahun 2009, pasal
tersebut dihapus kemudian digantikan dengan Pasal 71 A yang menegaskan bahwa
pengadilan perikanan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara
tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan
perikanan. Dengan adanya pasal ini menegaskan perluasan kompetensi relatif
pengadilan perikanan yang artinya suatu pengadilan perikanan yang berkedudukan
di pengadilan negeri dapat mengadili tindak pidana perikanan yang tidak termasuk wilayah pengadilan negeri dimana pengadilan
perikanan itu berkedudukan, tapi kondisi riil di
lapangan tidak semua perkara tindak pidana perikanan diadili di pengadilan
perikanan, ada juga pengadilan negeri yang masih memeriksa perkara tindak
pidana perikanan. Hal ini terjadi karena berbagai pertimbangan dari jaksa
penuntut umum, kemungkinan salah satunya yaitu mengenai anggaran, bilamana
suatu tindak pidana perikanan terjadi di daerah yang tidak ada pengadilan
perikanan dan perkaranya akan dimasukkan ke pengadilan perikanan hal ini
membutuhkan biaya yang cukup besar.
Pada Pasal 106 UU Perikanan ditegaskan selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual, maka perkara tindak pidana perikanan yang terjadi di luar wiayah hukum pengadilan perikanan tersebut tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang. Ketentuan demikian menjadikan adanya dualisme rezim hukum, yaitu rezim pengadilan negeri dan rezim hukum pengadilan perikanan.
Permasalahan juga timbul dalam kompetensi absolut pengadilan perikanan yang pada Pasal 71 ayat (1) hanya berwenang memeriksa, memgadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan. perkembangan saat ini tindak pidana perikanan sering dijadikan modus atau saling berkaitan dengan tindak pidana lainnya seperti kepabaenan, keimigrasian, dan ketenagakerjaan, hal ini mengakibatkan timbul permasalahan yaitu yurisdiksi pengadilan perikanan yang hanya dapat memeriksa dan memutus tindak pidana perikanan. pengadilan perikanan tidak mampu mengatasi perkembangan modus kejahatan perikanan terkini, jika ada tindak pidana lain, maka akan dilimpahkan ke pengadilan negeri. Hal ini menjadi tidak efektif, mengingat locus delicti sama atau bahkan bukti-buktinya dapat saling berkaitan.
Pada Pasal 106 UU Perikanan ditegaskan selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual, maka perkara tindak pidana perikanan yang terjadi di luar wiayah hukum pengadilan perikanan tersebut tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang. Ketentuan demikian menjadikan adanya dualisme rezim hukum, yaitu rezim pengadilan negeri dan rezim hukum pengadilan perikanan.
Permasalahan juga timbul dalam kompetensi absolut pengadilan perikanan yang pada Pasal 71 ayat (1) hanya berwenang memeriksa, memgadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan. perkembangan saat ini tindak pidana perikanan sering dijadikan modus atau saling berkaitan dengan tindak pidana lainnya seperti kepabaenan, keimigrasian, dan ketenagakerjaan, hal ini mengakibatkan timbul permasalahan yaitu yurisdiksi pengadilan perikanan yang hanya dapat memeriksa dan memutus tindak pidana perikanan. pengadilan perikanan tidak mampu mengatasi perkembangan modus kejahatan perikanan terkini, jika ada tindak pidana lain, maka akan dilimpahkan ke pengadilan negeri. Hal ini menjadi tidak efektif, mengingat locus delicti sama atau bahkan bukti-buktinya dapat saling berkaitan.
Keadaan Perkara Pada Pengadilan Perikanan
Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2013 – 2016, perkara yang diterima pengadilan perikanan
pada tahun 2016 sebanyak 241 perkara, sisa perkara tahun 2015 sebanyak 50 perkara sehingga jumlah beban perkara
sebanyak 291
perkara. Perkara yang
telah diputus sebanyak 184 perkara, sehingga sisa perkara pada akhir tahun 2016
sebanyak 107 perkara. Jumlah perkara yang diterima tahun
2016 meningkat dari tahun 2015 yang menerima sebanyak 175 perkara. Jumlah
perkara yang diputus juga meningkat dari tahun 2015 yang berjumlah 155 perkara.
Rasio jumlah perkara yang diputus dibandingkan dengan jumlah perkara adalah 63,23%.
Data Diolah Penulis |
Dari tabel di atas, dapat
dilihat bahwa perkara yang masuk dan diperiksa oleh pengadilan perikanan mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Tapi data ini belum ada
sinkronisasi dengan rekapitulasi data yang diolah oleh Direktorat Penanganan
Pelanggaran Ditjen PSDKP. Adapun Rekapitulasi Data Penanganan Tindak Pidana
Perikanan yang ditangani oleh PPNS Perikanan sebagai berikut :
Rekapitulasi Data Penanganan Tindak Pidana Kelautan dan
Perikanan yang ditangani oleh PPNS Perikanan
Sumber : Direktorat Penanganan Pelanggaran, 6 Oktober 2017 |
Tabel di atas menunjukkan tren yang sama dari tabel
sebelumnya atas penanagan perkara tindak pidana perikanan yang mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Untuk itu diperlukan adanya komunikasi intens
dalam wadah Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan
antara KKP khususnya Direktorat Penanganan Pelanggaran dengan MA khususnya
Badan Peradilan Umum terkait data penanganan perkara tindak pidana perikanan di
10 pengadilan perikanan, hal ini untuk
mmengoptimalkan kinerja
pengadilan perikanan.
Penutup
Eksistensi Pengadilan Perikanan yang telah ada selama satu dekade telah
memberikan hal yang positif dalam pemberantasan tindak pidana perikanan, hal
ini berdasarkan jumlah putusan dalam perkara tindak pidana perikanan. Tetapi
perangkat pengadilan perikanan masih perlu mendapat dukungan dalam hal proses
beracara pada saat pemeriksaan di tingkat pengadilan, diperlukan adanya pengadilan
perikanan tingkat banding maupun kasasi, pembatasan waktu yang lebih lama
daripada yang ada saat ini, serta perluasan kompetensi absolut pengadilan perikanan
karena banyaknya tindak pidana lain yang terkait. Selain itu diperlukan
perekrutan hakim ad hoc perikanan karena tahun 2017 ada 20 orang hakim ad hoc perikanan akan berakhir masa
tugasnya.
Referensi :
KUHAP
UU Perikanan
Jakarta,
12 Oktober 2017
Sherief Maronie, SH. MH.
Analis Hukum pada Direktorat Penanganan Pelanggaran
Ditjen PSDKP, KKP
Komentar
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda?