Penenggelaman Kapal Dalam Undang-Undang Perikanan
Pendahuluan
Perairan yang berada di kedaulatan
dan yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia serta laut lepas berdasarkan ketentuan internasional, mengandung
sumber daya ikan dan lahan pembudidayaan ikan yang sangat potensial. Wilayah
perairan yang sangat luas selain memberikan harapan dan manfaat yang besar,
tapi juga membawa konsekuensi dan beberapa permasalahan, seperti Illegal, Unreported and Unregulated
Fishing (IUU
Fishing) yang selain mengakibatkan kerusakan ekosistem laut dan kerugian negara juga mengancam kedaulatan negara.
Pada tahap inilah peran hukum sangat
dibutuhkan untuk menjadi media kontrol dan pencegahan terhadap
tindakan-tindakan yang dapat mengganggu stabilitas pengelolaan serta
kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Fungsionalisasi hukum sebagai bagian dari pengelolaan sumber daya perikanan, disamping bagian-bagian lainnya memiliki kelebihan yakni sifat mengikat dan/atau
memaksa dari hukum itu sendiri. Perumusan kaidah-kaidah kebijakan
pengelolaan sumber daya perikanan dalam suatu perundang-undangan tidak serta
merta menyelesaikan permasalahan yang ada, karena efektivitas hukum tersebut
akan sangat tergantung pada aspek operasionalnya. Disinilah peran aparat
penegak hukum dalam memberikan sanksi yang dinilai penting dan sangat
menentukan untuk tercapainya kepatuhan, terlebih lagi sanksi hukum pidana.
Berbagai permasalahan penegakan hukum dibidang
kelautan dan perikanan yang sering dihadapi diwarnai dengan keragaman
modus operandi seperti penangkapan ikan secara ilegal, pemalsuan dokumen
perizinan, transhipment, pendaratan
ikan di luar pelabuhan dan lain sebagainya. Modus-modus operandi tersebut terus
berkembang seiring dengan perkembangan teknologi dan sarana prasarana
pendukungnya, demikian pula penanganan perkaranya di lapangan, untuk itulah
diperlukan upaya tindakan khusus dalam penanggulangannya.
Pemberian sanksi dengan cara
penenggelaman merupakan upaya negara dalam memberantas kegiatan perikanan yang
dilakukan secara ilegal dan disamping itu untuk memberikan efek jera serta meningkatkan efek detterence atau daya tangkal terhadap pelanggaran wilayah yang dapat merugikan dan mengancam
kedaulatan
negara.
Kementerian Kelautan dan Perikanan
mengejawantahkan tindakan khusus ini dengan cara menenggelamkan kapal ikan yang
terbukti melakukan tindakan IUU Fishing.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Ditjen PSDKP KKP sampai bulan Februari 2016
telah 153 Kapal Ikan yang telah ditenggelamkan, terdiri dari 20 Kapal Ikan
berbendera Malaysia, 43 dari Filipina, 1 dari RRT, 21 dari Thailand, 50 dari
Vietnam, 2 dari Papua Nugini, 1 dari Belize, 1 Nigeria dan 14 Kapal asal
Indonesia.[1]
Penenggelaman Kapal FV Viking |
Berdasarkan kebijakan ini pada
tanggal 14 Maret 2016 kapal terakhir yang ditenggelamkan yaitu Kapal FV Viking
dengan besar lebih dari 2000 GT, kapal
ini berdasarkan
Purple Notice Interpol Norwegia sudah
13 kali ganti nama dan 12 kali ganti bendera serta 8 kali ganti Call sign. Untuk modusnya kapal tersebut
diduga melanggar hukum nasional karena tidak menggunakan alat navigasi, tidak
mempunyai izin pelayaran (SIPI) serta menggunakan alat tangkap yang berbahaya.
Disamping itu kapal ini juga melanggar peraturan serta konvensi internasional
dan terlibat dalam penipuan yang berhubungan dengan kejahatan perikanan, serta
kapal ini termasuk double flagging (berbendera
ganda) dan statelees veesel (kapal
tanpa kebangsaan). Dalam momen penenggelaman ini, Menteri Kelautan dan
Perikanan memberikan pesan bahwa penenggelaman ini merupakan konstribusi
pemerintah Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia dalam memberantas IUU Fishing.
Kebijakan
penenggelaman kapal tentunya menimbulkan respon apakah tindakan ini melanggar
hukum atau tidak. Menurut Guru Besar Hukum
Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, terdapat lima alasan
kenapa kebijakan tersebut justru layak didukung.[2]
Pertama, kapal asing yang ditenggelamkan merupakan kapal yang tidak memiliki
izin untuk menangkap ikan di wilayah Indonesia. Hal itu dianggap tindakan
kriminal. Artinya kapal yang ditenggelamkan sebelumnya telah melalui proses
pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap bahwa yang bersangkutan bersalah. Kedua, tindakan penenggelaman dilakukan
di wilayah kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia (zona ekonomi eksklusif). Ketiga tindakan penenggelaman dilakukan
atas dasar payung hukum yang sah yaitu Pasal 69 ayat (4) UU Perikanan 2009. Keempat negara lain harus memahami bahwa
Indonesia dirugikan dengan tindakan kriminal tersebut. Jika terus dibiarkan
maka kerugian yang dialami akan semakin besar. Alasan terakhir yaitu tentu
proses penenggelaman juga memperhatikan keselamatan dari para awak kapal.
Dasar Hukum dan
Mekanisme Penenggelaman Kapal Dalam UU Perikanan
Tindakan penenggelaman kapal berdasarkan
ketentuan Pasal 69 ayat (1) dan
ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
Pasal 69 ayat (1) UU Perikanan
menentukan bahwa kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum dibidang perikanan
dalam wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia. Sedangkan Pasal
69 ayat (4) berbunyi, dalam melaksanakan fungsi sebagaimana ayat (1) penyidik
dan atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran
dan atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Hal penting yang perlu diperhatikan
terkait penenggelaman kapal asing ini adalah penenggelaman itu tidak boleh
dilakukan sewenang-wenang dan harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Yang dimaksud dengan “bukti permulaan
yang cukup” adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana di
bidang perikanan oleh kapal perikanan berbendera asing, misalnya kapal
perikanan berbendera asing tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)
dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), serta nyata-nyata menangkap dan/atau
mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia. Ketentuan ini menunjukkan bahwa tindakan khusus tersebut tidak dapat
dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi hanya dilakukan apabila penyidik
dan/atau pengawas perikanan yakin bahwa kapal perikanan berbendera asing
tersebut betul-betul melakukan tindak pidana di bidang perikanan. Demikian yang
dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 69
ayat (4) UU Perikanan.
Penggunaan Pasal 69 ayat (4) ini
Ketua Pengadilan Negeri tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan persetujuan
sebagaimana ditegaskan dalam Surat Ederan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2015
tentang Barang Bukti Kapal Dalam Perkara Pidana Perikanan.
Ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi ketika akan dilakukan tindakan khusus tersebut. Syarat itu
meliputi syarat subjektif yaitu kapal melakukan manuver yang membahayakan nakhoda beserta para ABK melakukan perlawanan tindak kekerasan. Serta syarat objektif yang terdiri
dari syarat kumulatif yaitu kapal berbendera asing dengan semua ABK asing, tempat kejadian di wilayah
pengelolaan perikanan Indonesia, tidak mempunyai dokumen apapun dari pemerintah
Indonesia, dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian dan atas perintah pimpinan.
Sedangkan syarat alternatif yaitu kapal tua didukung dengan fakta surat
dan/atautidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi, kapal tidak memungkinkan
untuk dibawa ke pangkalan karena kapal mudah rusak atau membahayakan, biaya
penarikan kapal tersebut terlalu tinggi, kapal perikanan mengangkut barang yang
mengandung wabah penyakit menular atau bahan
beracun dan berbahaya. Sebelum dilakukan tindakan
khusus, petugas harus terlebih dahulu melakukan evakuasi ABK, menginventarisasi
semua perlengkapan dan peralatan
kapal, mengambil dokumentasi, menyisihkan ikan sebagai barang bukti, serta
membuat berita acara. Hal ini diatur dalam Standar Operasional Prosedur (SOP)
Penanganan Tindak Pidana Perikanan yang merupakan lampiran tidak terpisahkan dari
Piagam Kesepakatan Bersama Antara Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dengan
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Laut.
Selain itu teknis hukum peneggelaman
kapal diatur pula dalam Pasal 66C ayat (1) huruf K menentukan bahwa dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 66, pengawas perikanan berwenang melakukan
tindakan khusus terhadap kapal perikanan yang berusaha melarikan diri dan/atau
melawan dan/atau membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan dan/atau
awak kapal perikanan. Menurut penulis pada ketentuan ini tidak diperlukan juga
persetujuan Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal ini mengintrodusir dari
ketentuan Article 111 UNCLOS (United
Nations Convention on the Law of the Sea) tentang hak pengejaran seketika (rights of hot pursuit) mengenai
pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang
berwenang dari negara pantai mempunyai alasan cukup untuk mengira bahwa kapal
tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya teknis hukum
penenggelaman kapal lainnya yaitu tindakan pemusnahan merujuk Pasal 76A UU
Perikanan yang menegaskan bahwa benda dan/atau alat yang digunakan atau
dihasilkan dari pidana perikanan dapat dirampas atau dimusnahkan setelah
mendapat persetujuan pengadilan. Dalam hal ini Kapal Perikanan yang terlibat tindak
pidana perikanan yang telah disita oleh penyidik secara sah menurut hukum dan
dijadikan barang bukti maka apabila hendak dimusnahkan atau dilelang, penyidik
harus meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri setempat. Apabila perkara
telah dilimpahkan ke Pengadilan Tingkat Pertama, Banding dan Kasasi maka
persetujuan pemusnahan diterbitkan oleh Ketua yang bersangkutan, namun apabila perkara
telah dilimpahkan kepada majelis, maka persetujuan pemusnahan diterbitkan oleh
Majelis Hakim yang bersangkutan.
Dalam hal perkara telah dilimpahkan
kepada Jaksa Penuntut Umum atau perkara telah berkekuatan hukum atau tetap maka
yang berwenang melaksanakan pemusnahan adalah pihak Kejaksaan, namun dalam prakteknya
di lapangan pihak lain misalnya Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat
mengajukan usulan untuk melaksanakan peneggelaman dengan menyertakan beberapa
alasan, misalnya kapal perikanan lekas rusak atau membahayakan.
Perspektf penulis permasalahan peneggelaman
atau pemusnahan kapal perikanan saat ini sebenarnya bukanlah aspek legalitasnya
tetapi dalam hal standar atau pedoman prosedur pelaksannnya yang sampai saat
ini belum diatur padahal pemerintah Indonesia telah menenggelamkan 152 kapal
perikanan pelaku tindak pidana perikanan.
Penutup
Berdasarkan UU Perikanan maka dapat
disimpulkan bahwa ada 3 (tiga) mekanisme dalam hal penenggelaman kapal, yaitu
penenggelaman di laut atas dasar tindakan khusus yang ada pada Pasal 66C ayat
(1) dan Pasal 69 ayat (4), kapal yang telah dijadikan barang bukti yang
sementara perkara dalam proses penyidikan berdasarkan pada Pasal 76A, serta
kapal yang telah diperintahkan untuk dimusnahkan berdasarkan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap.
Untuk lebih mengoptimalkan pelaksanaan
penenggelaman kapal maka sebaiknya diatur mengenai standar operasional atau
pedoman pelaksanaan pemusnahan kapal perikanan yang didalamnya mengatur
mengenai penyelenggaraan, mekanisme, dan tata cara pemusnahan kapal.
Jakarta, 16 Maret 2016
Sherief Maronie
Analis Hukum pada Direktorat Penanganan Pelanggaran, Ditjen PSDKP, KKP
Analis Hukum pada Direktorat Penanganan Pelanggaran, Ditjen PSDKP, KKP
Kapal anda ditenggelamkan? kami siap membantu anda dengan semua peralatan, aksesoris kapal baru. yuk kunjungi kita di www.velascoindonesia.com
BalasHapusSalam damai