Dasar Pemberatan Pidana

Menurut Jonkers, bahwa dasar umum pemberatan atau penambahan pidana adalah:

  1. Kedudukan sebagai pegawai negeri
  2. Recidive (pengulangan delik)
  3. Samenloop atau Concursus (gabungan atau perbarengan dua atau lebih delik)

1. Kedudukan sebagai pegawai negeri

Hal ini diatur dalam Pasal 52 KUHP yang berbunyi :

Jikalau seorang pegawai negeri (abtenaar) melanggar kewajiban yang istimewa dalam jabatannya karena melakukan perbuatan yang dapat dipidana, atau pada waktu melakukan perbuatan yang dapat dipidana, atau pada waktu melakukan perbuatan yang dapat dipidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau daya upaya yang diperoleh karena jabatannya, maka pidananya boleh diotambah sepertiganya.

Ketentuan ini jarang sekali digunakan oleh Penuntut Umum dan Pengadilan, seolah-oleh tidak dikenal mungkin juga karena kesulitan untuk membuktikan unaur pegawai negeri menurut Pasal 52 KUHP, yaitu:

  1. Melanggar kewajibannya yang istimewa dalam jabatnnya; atau
  2. Memakai kekuasaan atau daya upaya yang diperoleh karena jabatannya.

Misalnya seorang dosen yang memukul mahasiswanya tidak memenuhi syarat butir a, sekalipun ia seorang pegawai negeri. Seorang polisi yang bertugas menjaga ketertiban dan ketentraman umum yang mencuri tidak juga memenuhi syarat butir a. barulah anggota Polisi itu melanggar kewajibannya yang istimewa karena jabatannya kalau ia memang ditugaskan khusus untuk menjaga uang suatu Bank Negara, lalu ia sendiri yang mencuri.

Begitupula dengan butir b, misalnya seorang pegawai negeri yang bekerja di Kantor Kepolisian sebagai juru tik tidak dapat dikenakan pasal 52 KUHP kalau ia menahan seseorang didalam tahanan. Sebaliknya kalau ia seorang penyidik perkara pidana yang merampas kemerdekaan seseorang memenuhi syarat butir b. seorang anggota kepolisian yang merampas nyawa orang lain dengan menggunakan senjata dinsana memenuhi pula syarat itu.

Pasal 52 KUHP tidak dapat diberlakukan terhadap delik jabatan (ambtsdelicten) yang memang khusus diatur didalam Pasal 413-437, yang yang sebaginnya telah dimasukkan ke dalam Undang-undang tindak pidana pemberantasan korupsi.

Unsur-unsur pegawai negeri sebagai berikut :

  1. Pengangkatan oleh pejabat yang berwenang;
  2. Memegang suatu jabatan tertentu;
  3. Melaksanakan sebagian tugas Negara dan badan-badannya;
  4. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah; yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah; yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat.

Sebelum berlakunya Undang-undang Tipikor No. 31/1999, dalam hukum pidana tidak ada unsure menerima gaji dalam hal pegawai negeri.

2. Recidive (Pengulangan Delik)

Recidive atau pengulangan kejhatan tertentu terjadi bilamana orang yang sama mewujudkan lagi suatu delik, yang diantarai oleh putusan pengadilan negeri yang telah memidana pembuat delik.

Adapun yang menjadi alasan untuk menjatuhkan pidana yang lebih berat bagi residivis adalah "Apabila orang yang telah dijatuhi pidana itu kemudian ia melakukan perbuatan itu lagi, maka orang itu telah membuktikan tabiatnya yang kurang baik. Meskipun ia telah dipidana tetapi karena sifatnya yang kurang baik itu, ia kembali melakukan perbuatan pidana. Oleh karena sifatnya yang demikian itu, maka reeidivis perlu dijatuhi pidana yang lebih berat lagi meskipun ia telah dididik dalam Lembaga Pemasyarakatan agar mereka kemudian setelah kembali ke dalam masyarakat dapat hidup normal sebagai warga masyarakat lainnya. Tetapi meskipun demikian teh juga ia melakukan perbuatan pidana lagi".

Residive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Dalam ilmu hukum pidana dikenal ada dua sistem residive ini, yaitu :

  1. Sistim Residive Umum, menurut sistem ini setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivenya.
  2. Sistem Residive Khusus, menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.

Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak diatur secara umum dalam “Aturan Umum” Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III.

Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tenggang waktu pengulangan yang tertentu. Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam sistem Residive Khusus, artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan-pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.

3. Concursus atau Samenloop (gabungan atau perbarengan delik)

Pada dasarnya yang dimaksud dengan perbarengan adalah terjadi nya dua atau lebih delik oleh satu orang dimana delik yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara delik yang awal dengan delik berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim.

Pada pengulangan juga terdapat lebih dari suatu delik yang dilakukan oleh satu orang. Perbedaan pokoknya ialah bahwa pada pengulangan delik yang dilakukan pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan memidana si pembuat, bahkan telah dijalaninya baik sebagian atau seluruhnya. Sedangkan pada perbarengan syarat seperti pada pengulangan tidaklah diperlukan.

Sehubungan dengan lebih dari satu delik yang dilakukan oleh satu orang, maka ada 3 kemungkinan yang terjadi yaitu :

  1. Terjadi perbarengan, dalam hal apabila dalam waktu antara dilakukannya dua delik tidaklah telah ditetapkan satu pidana karena delik yang paling awal di antara kedua delik itu. Dalam hal ini, dua atau lebih delik itu akan diberkas dan diperiksa dalam satu perkara dan kepada si pembuat akan dijatuhkan satu pidana, dan oleh karenanya praktis di sini tidak ada pemberatan pidana, yang terjadi justru peringanan pidana, karena dari beberapa delik itu tidak dipidana sendiri-sendiri dan menjadi suatu total yang besar, tetapi cukup dengan satu pidana saja tanpa memperhitungkan pidana sepenuhnya sesuai dengan yang diancamkan pada masing-masing delik. Misalnya dua kali pembunuhan (Pasal 338) tidaklah dipidana dengan dua kali yang masing-masing dengan pidana penjara maksimum 15 tahun, tetapi cukup dengan satu pidana penjara dengan maksimum 20 tahun (15 tahun ditambah sepertiga, Pasal 56).
  2. Apabila delik yang lebih awal telah diputus dengan mempidana pada si pembuat oleh hakim dengan putusan yang telah menjadi tetap, maka disini terdapat pengulangan. Pada pemidanaan si pembuat karena delik yang kedua ini terjadi pengulangan, dan disini terdapat pemberian pidana dengan sepertiganya.
  3. Dalam hal delik yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan pidana si pembuatnya, namun putusan itu belum mempunyai kekuatan hokum pasti, maka disini tidak terjadi perbarengan maupun pengulangan, melainkan tiap delik itu dijatuhkan tersendiri sesuai dengan pidana maksimum yang diancamkan pada beberapa delik tersebut.

Dalam hal kemungkinan yang pertama dimana terjadi pembarengan dan disana tidak terjadi pemberatan tetapi justru peringanan. Pendapat itu tidaklah berlaku umum karena ada beberapa macam bentuk perbarengan dengan system penjatuhan pidananya tersendiri, dan demikian juga tergantung dari jenis dan maksimum pidana yang diancamkan pada masing-masing delik dalam perbarengan itu.

Misalnya : yang satu pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian korban (365 (4))diancam penjara 15 tahun, dan yang lain melakukan pemerkosaan (285) diancam penjara 12 tahun. Maka menurut Pasal 66 hanya dijatuhkan satu pidana saja yakni terhadap delik Pasal 365 ayat 4 dengan ditambah sepertiganya menjadi maksimum 20 tahun, apabila dipidananya tersendiri maka berjumlah 27 tahun.

Benar dalam perbarengan seperti ini terdapat peringanan bukan pemberatan, tetapi tidak tepat pendapat Utrecht itu apabila 2 delik yang berat ancaman pidana maksimumnya berbeda cukup jauh, misalnya terjadi pembunuhan (338) 15 tahun penjara dan pencemaran (310 (1)) 9 bulan penjara, yang dapat dijatuhkan satu pidana penjara pada si pembuat dua delik itu dengan maksimum 20 tahun (15 tahun ditambah spertiganya)., yang apabnila dipidana tersendiri secara maksimum adalah 15 tahun 9 bulan. Dalam kasus ini jelas perbarengan adalah memperbat pidana.

Demikan juga pendapat itu tidak tepat jika yang terjadi adalah perbarengan dengan kejahtan dan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran sebagaimana ditentukan dalam Pasal 70 yang menggunakan system penjatuhan pidana dengan kumulasi murni, artinya untuk si pembuat beberapa delik itu dijatuhi pidana sendiri-sendiri sesuai dengan yang diancamkan pada masing-masing delik. Dalam hal ini tidak ada factor pemeberatan pidana dan peringanan pidana.

Jadi apakah perbarengan ini merupakan dasar memperberat pidana atau peringanan pidana, bergantung pada hal yang menjadi dasar pandangannya terhadap peristiwa konkrit tertentu, tidaklah bersifat general untuk segela kejadian. Bila semata-mata dilihat dari pandangan bahwa hanya dijatuhkan satu pidana kemudian dapat diperberat dengan sepertiga dari ancaman pidana yang terberat, tanpa melihat disana ada beberapa delik, maka disini perbarengan dapat dianggap sebagai alasan pemeberatan.akan tetapi apabila dilihat semata-mata ada beberapa delik, tetapi hanya dijatuhkan satu pidana saja yakni terhadap aturan yang terberat (seperti pasal 65) maka tampaknya ada perbarengan tidaka ada pemberatan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Kontrol (Kriminologi)

Teori Subculture (Kriminologi)

Peradaban Islam Masa Daulah Utsmani