Subjek Hukum Pidana
Menurut sistem
KUHP Indonesia yang sudah ketinggalan zaman ini, yang dapat menjadi subjek
hukum pidana ialah natuurlijke person atau
manusia. Hal itu dapat dilihat dalam tiap-tiasp pasal dalam KUHP Buku II dan
Buku III. Sebagian besar kaidah-kaidah hukum pidana diawali dengan kata barangsiapa sebagai kata terjemahan dari
kata Belanda hij.
Di dalam
beberapa pasal KUHP kata barangsiapa itu harus diatafsirkan sempit berdasarkan
logika, misalnya Pasal 285-288 dan 322 KUHP. Hanya laki-laki yang dapat
bersetubuh dengan perempuan, yang menjadi korban dalam pasal 285-288 KUHP.
Tidaklah
mungkin dipidana seorang perempuan yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasa
memaksa seorang laki-laki bersetubuh dengannya. Karena jelas korban menurut
Pasal 285 KUHP haruslah seorang perempuan. Selaian itu, menurut yurisprudensi
Belanda (dan mungkin juga Indonesia?) persetubuhan ialah terjadi jikalau kemaluan
(penis) laki-laki sudah dimasukkan ke dalam vagina perempuan, sehingga
mengeluarkan air mani.
Subjek
delik menurut pasal 322 (1) 1e dan 2e KUHP jelaslah harus laki-laki karena
didalam pasal tersebut disebut bahwa dibawa pergi ialah perempuan yang belum
cukup umur (belum mencapai umur 21 tahun) dengan maksud untuk memastikan
penguasannya terhadap perempuan itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan.
Sedangkan dalam 2e disebut dibawa pergi ialah seorang perempuan dengan upaya
tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan dengan maksud yang sama dalam
1e.
Seiring
berjalannya waktu dan penggalian terhadap ilmu hukum pidana, manusia
bukanlah satu-satunya subjek hukum. Diperlukan suatu hal lain yang menjadi
subjek hukum pidana. Disamping orang dikenal subjek hukum selain manusia yang
disebut Badan Hukum.
Badan Hukum adalah organisasi atau kelompok
manusia yang mempunyai tujuan
tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Negara dan
perseroan terbatas
misalnya adalah organisasi atau kelompok manusia yang merupakan badan hukum.
Badan
hukum dibedakan menjadi dua bentuk yaitu:
- Badan hukum dalam lingkungan hukum publik, yaitu badan-badan yang pendiriannya dan tatanannya ditetukan oleh hukum publi. Badan hukum ini merupakan hasil pembentukan dari penguasa berdasarkan perundang-undanganyang dijalankan eksekutif, pemerintah atau badan pengurus yang diberi tugas untuk itu. Misalnya negara, propinsi, kabupaten, bank Indonesia, desa, dll.
- Badan hukum dalam lingkungan hukumprivat, yaitu badan-badan yang pendirian dantatanannya ditentukan oleh hukum privat. Badanhukum ini merupakan badan hukum swasta yangdidirikan oleh pribadi orang untuk tujuan tertentu, yaitu mencari keuntungan, social pendidikan, ilmu pengetahuan, politik, kebudayaan, kesehatan,olah raga, dll. Yang termasuk dalam hukum privat misalnya koperasi, NV, dan wakaf
Berbicara
tentang sejarah korporasi sebagai subjek hukum pidana, menurut KUHP Indonesia
yang dibentuk berdasarkan ajaran kesalahan individual. System hukum pidana di
Indonesia tidak memungkinkan penjatuhan denda kepada korporasi, oleh karena
pihak yang dijatuhi pidana denda diberikan pilihan untuk menggantinya dengan
pidana denda kurungan pengganti denda (Pasal 30 (1-4) KUHP).
Disamping
itu tidak berlakunya pidana bagi korporasi di dalam, karena KUHP Indonesia menganut system hukum Eropa
Kontinental (civil law) agak tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara
”common law” seperti Inggris, Amerika Serikat dan Kanada. Di
negara-negara “Common Law” tersebut perkembangan pertanggungjawaban
pidana korporasi sudah dimulai sejak Revolusi Industri. Pengadilan Inggris
mengawalinya pada tahun 1842, dimana korporasi telah dijatuhi pidana denda karena
kegagalannya untuk memenuhi suatu kewajiban hukum.
Perkembangan
Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukumpidana Indonesia terjadi melalui
3 (tiga) tahap yaitu :
1.
Tahap Pertama
Pada
tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah manusia alamiah (natuurlijke
persoon). Pandangan ini dianut oleh KUHP yang sekarang berlaku di
Indonesia. Pandangan
ini dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non potest” yaitu badan
hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Apabila dalam suatu perkumpulan
terjadi tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh
pengurus korporasi tersebut.
Pandangan
ini merupakan dasar bagi pembentukan Pasal 59 KUHP (Pasal 51 W.v.S. Nederland)
yang menyatakan : ”Dalam hal-hal di mana karena ditentukan pidana terhadap
pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka
pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur
melakukan pelanggaran tidak dipidana”.
Dari
ketentuan di atas maka terlihat bahwa para penyusun KUHP dahulu dipengaruhi
oleh asas “societas delinquere non potest” atau “universitas
delinquere non potest”. Asas ini merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis dari abad
ke-19, di mana kesalahan menurut hukum
pidana
selalu disyaratkan sebagai kesalahan dari manusia.
2. Tahap Kedua
Pada
tahap ini korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana, akan tetapi yang
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, adalah para pengurusnya yang secara
nyata memimpin korporasi tersebut, dan hal ini dinyatakan secara tegas dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal tersebut.
3. Tahap Ketiga
Dalam
tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta
pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan menuntut pertanggungjawaban
pidana terhadap korporasi ini antara lain karena misalnya dalam delik-delik
ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang
diderita masyarakat, dapat demikian besarnya, sehingga tak akan mungkin
seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja.
Juga
diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada
jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulang delik tersebut. Dengan memidana
korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu,
diharapkan dapat dipaksa korporasi untuk mentaati peraturan yang bersangkutan.
Pertanggungjawaban Korporasi
Korporasi hanya
dapat melakukan perbuatan dengan perantaraan pengurus-pengurusnya. Dengan
demikian, syarat kesalahan yang eksternal (actus reus) pada korporasi
tergantung pada hubungan antara korporasi dengan pelaku materilnya. Tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi selalu merupakan penyertaan yang dapat
dipidana. Dalam hal ini, kedudukan korporasi selalu menjadi bagian dari
penyertaan tindak pidana tersebut. Menurut Chairul Huda, ”tidak mungkin
korporasi sebagai pelaku tunggal tindak pidana. Korporasi dapat menjadi pembuat
(dader) tetapi tidak dapat menjadi pelaku (pleger) tindak
pidana”.
Korporasi
dikatakan sebagai pembuat tindak pidana, pertama dapat terjadi dalam hubungan
penyertaan umum dan kedua dalam hal vicarious libility crime. Hal yang
pertama dapat terjadi ketika pembuat materiilnya adalah pimpinan korporasi.
Sebaliknya, hal yang kedua dapat terjadi jika pembuat materiilnya adalah
bawahan atau tenaga-tenaga pelaksana, atau pegawai yang bertindak dalam
kerangka kewenangannya dan atas nama korporasi.
Pada subjek hukum
manusia syarat (internal/mens rea) kesalahan ditentukan dari keadaan psikologis
pembuat, yaitu keadaan batin yang normal. Berbeda halnya dengan syarat
kesalahan (internal) pada korporasi. Pada korporasi syarat kesalahan dilihat
dari apakah korporasi tersebut telah menjadikan dapat dihindarinya tindak
pidana sebagai bagian kebijakannya dalam menjalankan usaha. Jika kewajiban ini
tidak dipenuhi, maka korporasi dapat dicela jika karenanya terjadi suatu tindak
pidana. Hal ini berkaitan dengan syarat kesalahan pada korporasi dalam
kepustakaan disebut dengan syarat kekuasaan.
Pandangan Muladi
mengenai syarat kekuasaan pada korporasi meliputi wewenang mengatur/menguasai
dan/atau memerintah pihak yang dalam kenyatannya melakukan tindakan terlarang;
mampu melaksanakan kewenangannya dan pada dasarnya mampu mengambil
keputusan-keputusan tentang hal yang bersangkutan dan mampu mengupayakan
kebijakan atau tindakan pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindakan
terlarang.
Dalam hal
pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, Sutan Remy Sjahdeini
mengemukakan empat sistem yang dapat diberlakukan:
- Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenannya penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
- Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
- Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
- Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
Saat ini KUHP menganut sistem yang pertama, KUHP berpendirian bahwa oleh
karena korporasi tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan yang merupakan
delik dan tidak tidak dapat memliki mens rea yang salah tetapi yang
melakukan perbuatan tersebut adalah pengurus korporasi yang di dalam melakukan
perbuatan itu mempunyai mens rea.
Ada dua ajaran pokok yang menjadi alasan bagi pembenaran dibebankannya
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah doctrine of strict liability dan doctrine
of vicarious liability.
Doctrine of strict liability,
merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku delik
yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan
atau kelalaian) pada pelakunya. Hal ini dalam istilah hukum di Indonesia
dikenal dengan pertanggungjawaban mutlak.
Dalam kaitannya dengan korporasi,
korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana untuk delik-delik yang tidak
dipersyaratkan adanya mens rea bagi pertanggungajwaban delik itu
berdasarkan doctrine of strict liability.
Doctrine of vicarious liability, dalam
istilah hukum Indonesia dikenal dengan istilah pertanggungjwaban vikarius, yang
merupakan pembebanan yang pertanggungjwaban pidana dari delik yang dilakukan,
misalnya oleh A kepada B.
Menurut doktrin ini, bila seorang agen
atau pekerja korporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud
untuk menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab
pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak menjadi masalah apakah
perusahaan secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak, atau apakah aktivitas
tersebut telah dilarang oleh perusahaan atau tidak.
Sangat sulit untuk dipastikan apakah vicarious
liability dapat diterapkan dalam setiap kasus, pertanyaannya adalah apakah vicarious
liability memiliki dasar yang kuat untuk meminta pertanggungjawaban
korporasi. Alasan-alasan yang mendukung vicarious liability sebagian
besar bersifat pragmatis. Dengan melintasi semua masalah yang ada hubungannya
dengan doktrin lain, seperti menemukan orang yang cukup penting di dalam
korporasi yang telah melakukan kejahatan.
Dengan doktrin ini, maka sepanjang seseorang itu bertindak dalam bidang
pekerjaannya dan telah melakukan suatu kejahatan maka perusahaan dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana. Hal ini akan mencegah perusahaan melindungi dirinya
dari tanggung jawab kriminal dengan melimpahkan kegiatan illegal hanya
kepada pekerjanya saja.
Disamping kedua doktrin ini menganai bentuk
pertanggungjwaban pidana, masih ada bentuk-bentuk pertanggungjawaban pidana
yang lain, misalnya doctrine of delegation, doctrine of identification,
doctrine of aggregation, the corporate culture model, dan reactive
corporate fault.
Doctrine of delegation merupakan
salah satu dasar pembenar untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana
yang dilakukan oleh pegawai kepada korporasi. Alasan untuk dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah adanya pendelegasian wewenang
dari seorang kepada orang lain untuk melaksanakan kewenangan yang dimilikinya.
Doctrine of identification, doktrin
ini memberikan pembenaran bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada
korporasi meskipun pada kenyatannya korporasi bukanlah sesuatu yang dapat
berbuat sendiri dan tidak mungkin memiliki mens rea. Doktrin ini
mengajarkan bahwa untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada
suatu korporasi, siapa yang melakukan tindak pidana tersebut harus mampu
diidentifikasikan oleh penuntut umum. Apabila delik itu dilakukan oleh direct
mind dari korporasi tersebut, maka pertaggungjawaban delik itu baru
dibebankan kepada korporasi.
Doctrine of aggregation, ajaran
ini memungkinkan agregasi atau kombinasi kesalahan dari sejumlah orang, untuk
diatributkan kepada korporasi sehingga korporasi dapat dibebani
pertanggungjawaban. Menurut ajaran ini, semua
perbuatan dan unsur mental dari berbagai orang yang terkait secara relevan
dalam lingkungan perusahaan dianggap seakan-akan dilakukan oleh satu orang
saja.
The corporate
culture model. Pendekatan ini
memfokuskan pada kebijakan korporasi yang tersurat dan tersirat yang
mempengaruhi cara korporasi melakukan kegiatan usahanya. Dalam kaitan ini,
pertanggungjawaban dapat dibebankan kepada korporasi apabila berhasil ditemukan
bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan melanggar hukum memiliki dasar
yang rasional untuk meyakini bahwa anggota korporasi yang memiliki kewenangan
telah memberikan wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana.
Reactive
corporate fault, memandang bahwa apabila
actus reus dari suatu tindak pidana terbukti dilakukan oleh atau atas
nama korporasi, maka pengadilan, sepanjang telah dilengkapi dengan kewenangan
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk dapat mengeluarkan perintah yang
bersangkutan, dapat meminta perusahaan untuk:
- Melakukan penyelidikan sendiri mengenai siapa yang bertanggungjawab di dalam organisasi perusahaan.
- Untuk mengambil tindakan-tindakan disiplin terhadap mereka yang bertanggungjawab.
- Mengirimkan laporan yang merinci apa saja tindakan yag telah diambil perusahaan.
*sebagai bahan kuliah Hukum Pidana
S.Maronie / 7 Desember 2012 / @PhoenamRatulangi
Komentar
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda?