Pengelolaan & Perlindungan Sumber Daya Alam

Hingga saat ini belum ada undang-undang yang secara komperhensif integral mengetur pengelolaan dan perlindungan Sumber Daya Alam (SDA). Berbagai aspek SDA masih diatur dalam beragam peraturan perundang-undangan. Berikut ini diuraikan beberapa pengaturan SDA dimaksud :

1. Pengelolaan dan Perlindungan Hutan dan Tanah

Perlindungan hutan merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama serta penyakit dan mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Dengan demikian perlindungan hutan bertujuan untuk :

  1. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama serta penyakit dan gulma.
  2. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Ruang Lingkup Perlindungan Hutan :

1. Perlindungan terhadap kawasan hutan

Penggunaan kawasan hutan produksi harus sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Penggunaan kawasan hutan yang menyimpang harus mendapat persetujuan Menteri. Dalam rangka memperoleh kepastian hukum di lapangan maka setiap areal yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan dilakukan penataan batas. Dengan telah dilakukannya penataan batas hutan, maka tanpa adanya kewenangan yang sah setiap orang dilarang memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan hutan.

2. Perlindungan terhadap tanah hutan

Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang bertujuan untuk mengambil bahan-bahan galian yang dilakukan di dalam kawasan hutan atau hutan cadangan, diberikan oleh instansi yang berwenang setelah mendapat persetujuan Menteri. Dalam hal penetapan areal yang bersangkutan sebagai kawasan hutan dilakukan setelah pemberian izin eksplorasi dan eksploitasi, maka pelaksanaan lebih lanjut kegiatan eksplorasi dan ekspolitasi tersebut harus sesuai dengan petunjuk Menteri. Di dalam kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang melakukan pemungutan hasil hutan dengan menggunakan alat-alat yang tidak sesuai dengan kondisi tanah dan lapangan atau melakukan perbuatan lain yang dapat menimbulkan karusakan tanah dan tegakan. Siapapun dilarang melakukan penebangan pohon dalam radius/jarak tertentu dari mata air, tepi jurang, waduk, sungai dan anak sungai yang terletak di dalam kawasan hutan, hutan cadangan dan hutan lainnya.

3. Perlindungan terhadap kerusakan hutan

Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang dan selain dari petugas-petugas kehutanan atau orang-orang yang karena tugasnya atau kepentingannya dibenarkan berada di dalam kawasan hutan, siapapun dilarang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk memotong, menebang, dan membelah pohon di dalam kawasan hutan.
Setiap orang dilarang membakar hutan kecuali dengan kewenangan yang sah. Masyarakat di sekitar hutan mempunyai kewajiban ikut serta dalam usaha pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan. Ketentuan-ketentuan tentang usaha pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan diatur dengan Peraturan Daerah Tingkat I dengan memperhatikan petunjuk Menteri. Penggembalaan ternak dalam hutan, pengambilan rumput, dan mekanan ternak lainnya serta serasah dari dari dalam hutan hanya dapat dilakukan di tempat-tempat yang ditunjuk khusus untuk keperluan tersebut oleh pejabat yang berwenang.

4. Perlindungan terhadap hasil hutan

Untuk melindungi hak-hak Negara yang berkenaan dengan hasil hutan, maka terhadap semua hasil hutan harus diadakan pengukuran dan pengujian. Hasil pengukuran dan pengujian terhadap hasil hutan adalah merupakan dasar perhitungan penetapan besarnya pungutan Negara yang dikenakan terhadapnya. Untuk membuktikan sahnya hutan dan telah dipenuhinya kewajiban-kewajiban pungutan Negara yang dikenakan terhadapnya hingga dapat digunakan atau diangkut, maka hasil hutan tersebut harus mempunyai surat keterangan sahnya hasil hutan.

Perlindungan Hutan Berbasis Ekologi

Prinsip dasar Perlindungan Hutan yang paling penting bagi seluruh penyebab kerusakan ialah pencegahan awal terjadinya kerusakan hutan. Selain itu pencegahan perkembangan penyebab kerusakan akan lebih efektif dibanding dengan pengendalian setelah kerusakan terjadi. Istilah pencegahan diartikan sebagai pengambilan langkah yang jelas untuk menghambat perkembangan penyebab kerusakan hutan agar tidak melampaui tingkat yang menimbulkan kerugian yang besar.  Upaya pencegahan perkembangan penyebab kerusakan tersebut dilakukan melalui tindakan pengelolaan hutan dan silvikultur yang tepat dan hati-hati sehingga hutan dapat berkembang membentuk suatu keseimbangan ekologis. Pada tingkat keseimbangan ekologis tersebut seluruh faktor-faktor pembentuk sistem komunitas hutan saling berinteraksi sehingga perkembangan satu atau beberapa faktor dibatasi oleh faktor pembentuk sistem komunitas yang lain.

Prinsip dasar pencegahan diatas tercemen dalam program pengelolaan kesehatan hutan oleh Nyland (1996). Pengembangan program kesehatan hutan itu sendiri sekaligus merupakan suatu perubahan besar dalam konsep Perlindungan Hutan. Ketika pengelolaan hutan masih mengutamakan produksi kayu dan hasil hutan lain, program Perlindungan Hutan menggunakan suatu asumsi bahwa permasalahan Perlindungan Hutan timbul setelah kerusakan terjadi dalam skala luas. Program Perlindungan Hutan yang baru ini memerlukan pemahaman yang mendalam tentang interaksi antara penyebab kerusakan dengan pertumbuhan pohon hutan, agar dapat menentukan pilihan-pilihan tindakan pengendalian. Program pengendalian yang dimaksud diarahkan untuk menekan agar kerusakan berada pada tingkat yang secara ekonomis tidak merugikan. Menghilangkan sama sekali penyebab kerusakan dari dalam hutan tidak direkomendasikan oleh karena dapat mengganggu keseimbangan ekologis dan menimbulkan dampak kerusakan lain. Program Perlindungan Hutan yang mengupayakan keseimbangan faktor-faktor pembentuk ekosistem hutan tersebut juga disebut program pengelolaan kesehatan hutan.

Penyebab Kerusakan Hutan

Kerusakan hutan di Indonesia berdasarkan pelaku atau sumber penyebab dapat digolongkan menjadi:

  1. Kerusakan antropogenik: kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia secara langsung maupun tidak langsung, serta kerusakan hutan yang disebabkan oleh ternak.
  2. Kerusakan biotik: kerusakan hutan yang disebabkan oleh hama, penyakit dan gulma.
  3. Kerusakan abiotilk: kerusakan hutan yang disebabkan oleh petir, banjir, tanah longsor dan lain-lain.

Pembalakan Liar

Pembalakan liar adalah salah satu penyebab kerusakan hutan terbesar di Indonesia yang dilakukan oleh manusia secara langsung. Bahkan dalam tiga dasa warsa ini Pemerintah Indonesia belum mampu untuk memberantas pembalakan liar. Oleh karena itu Pemerintah RI telah menyatakan bahwa pembalakan liar telah mengancam keutuhan bangsa. Untuk mengatasi pembalakan liar tersebut Presiden Republik Indonesia menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 yang memerintahkan kepada segenap komponen bangsa untuk memberantas aksi pembalakan liar.

Dalam perkembangannya Instruksi Presiden tersebut dirasakan masih juga belum mampu mengatasi dan membuat jera para pelaku pembalakan liar. Saat ini Pemerintah Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia telah menyiapkan dan membahas Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Pembalakan Liar yang merupakan wujud dan komitmen setiap Warga Negara Indonesia untuk melindungi dan menyelamatkan hutan serta memberantas segala bentuk kegiatan pembalakan liar.

Pembalakan liar yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Faktor-faktor utama penyebab terjadinya pembalakan liar di Indonesia, diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Terjadinya kesenjangan yang tinggi antara jumlah hasil hutan yang dapat dihasilkan oleh Kawasan Hutan Produksi dengan hasil hutan yang dibutuhkan oleh Industri Hasil Hutan maupun kebutuhan pasar.
  2. Belum efektifnya pengelolaan kawasan hutan di Indonesia khususnya Kawasan Hutan Produksi.
  3. Lemahnya penegakan hukum dalam pencegahan dan penanganannya telah menyebabkan pembalakan liar tumbuh dan berkembang dengan baik.

Kegiatan yang dilarang

Dalam rangka melindungi hutan dan hasil hutan dari gangguan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dinyatakan bahwa:

  1. Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan;
  2. Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan;
  3. Setiap orang dilarang:
    • mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
    • merambah kawasan hutan;
    • melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:
    • membakar hutan;
    • menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan
    • menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
    • melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
    • mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
    • menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
    • membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
    • membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang
    • membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
    • mengeluarkan, membawa dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang,

2. Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Air

Pengaturan sumber daya air diatur dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Ada beberapa ketentuan tentang penting tentang pengelolaan dan perlindungan sumber daya air ini.

Pertama, Sumber daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas; (Pasal 2)

Kedua, Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (Pasal 3)

Ketiga, Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras; (Pasal 4)

Keempat, sumber daya air dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakruan rakyat.

Kelima, sumber daya air dikuasai oleh negara dan pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan (Pasal 6 ayat 1 dan 2);

Keenam, Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat (Pasal 6 ayat 3);

Ketujuh, untuk pemanfaatan air dilakukan melalui hak guna air, yang meliputi hak guna pakai air dan hak guna usaha (Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 7-10);

Kedelapan, untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya air yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat dalam segala bidang kehidupan disusun pola pengelolaan sumber daya air. Pola pengelolaan sumber daya air disusun berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah. Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya. Pola pengelolaan sumber daya air didasarkan pada prinsip keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan sumber daya air. Ketentuan mengenai penyusunan pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah; (Pasal 11)

Mengenai perlindungan dan pelesterian sumber air ditujukan untuk melindungi dan melastarikan sumber air beserta lingkungan keberadaaanya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia. Perlindungan dan pelestarian sumber air dilakukan :

  • pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air;
  • pengendalian pemanfaatan sumber air;
  • pengisian air pada sumber air;
  • pengaturan prasarana dan sarana sanitasi;
  • perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air;
  • pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu;
  • pengaturan daerah sempadan sumber air;
  • rehabilitasi hutan dan lahan; dan/atau
  • pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam.

Pengawetan air ditujukan untuk memelihara keberadaan dan ketersediaan air atau kuantitas air, sesuai dengan fungsi dan manfaatnya. Pengawetan air dilakukan dengan cara:

  1. menyimpan air yang berlebihan di saat hujan untuk dapat dimanfaatkan pada waktu diperlukan;
  2. menghemat air dengan pemakaian yang efisien dan efektif; dan/atau
  3. mengendalikan penggunaan air tanah

3. Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Perikanan

Sumberdaya laut ada bersifat hayati dan non hayati. Kesemuanya menjadi asset bangsa. Oleh karena semua orang membutuhkan maka perlu upaya perlindungan dan pelestarian secara sungguh-sungguh. Untuk mewujudkan perlindungan/pelestarian sumberdaya tersebut menurut Surya Jaya dibutuhkan persyaratan sebagai berikut:

  1. keberadaan suatu ketentuan hukum pidana yang bersifat responsif dalam memberi penilaian di tengah masyarakat atas perilaku destruktif.
  2. Nilai-nilai budaya dan sikap masyarakat yang positif dalam menunjang pelaksanaan hukum.
  3. Kesadaran hukum masyarakat yang cukup tinggi.
  4. Profesionalisme dan sistem pengawasan yang bersifat koordinatif antar instansi terkait.
  5. tanggungjawab dan partisipasi masyarakat yang solid.

Dari lima persyaratan utama menjadi dasar terwujudnya perlindungan dan pelestarian sumberdaya perikanan, baru dapat dikatakan efektif dan berhasil manakala ditunjang dengan penegakan hukum peran serta masyarakat walaupun faktor diatas dianggap dominan namun bila setiap pelanggar tak ada tindakan hukum atau penegakannya bersifat diskriminatif maka keberadaan hukum pidana ditengah masyarakat tidak akan membawa hasil baik. Pelaksanaan hukum memang membutuhkan adanya kemauan dan kemampuan penyelenggara untuk menegakkan, kemauan politik hukum seperti itu sangat dibutuhkan, hukum diibaratkan bahasa mutiara yang indah didengar, pada hal hukum itu sendiri tidak mempunyai kemampuan atau potensi untuk mengimplementasikan hukum itu bukan hanya pada faktor internal melainkan juga faktor eksternalnya.

Dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (selanjutnya disebut CCRF) 1995. Secara umum, prinsip pengolahan perikanan meliputi empat hal, yaitu:

1. Prinsip Kehati-hatian (Precautionary Principle)

Prinsip kehati-hatian dalam konteks pengelolaan perikanan termasuk dalam Pasal 7.5 CCRF 1995. Pasal itu menyebutkan, negara harus memberlakukan pendekatan yang bersifat kehati-hatian secara luas demi konservasi, pengelolaan, dan pengusahaan sumberdaya hayati akuatik guna melindunginya dan mengawetkan lingkungan akuatiknya. Lebih lanjut CCRF 1995 menekankan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pendekatan yang bersifat kehati-hatian, di antaranya ketidakpastian yang bertalian dengan ukuran dan produktivitas stok ikan, titik rujukan, kondisi stok yang berhubungan dengan titik rujukan tersebut, tingkat dan persebaran mortalitas penangkapan dari dampak kegiatan penangkapan, termasuk ikan buangan terhadap spesies bukan target dan spesies terkait (dependent species) serta keadaan lingkungan dan sosial ekonomi.

Sementara itu, dalam menghadapi ketidakpastian sistem perikanan dan mengambil tindakan dengan sifat kehati-hatian mengharuskan beberapa hal, antara lain (FAO, 1997):

  1. Pertimbangan kebutuhan generasi mendatang dan upaya menghindari perubahan yang potensial tidak dapat dipulihkan.
  2. Identifikasi awal dan hasil terhadap langkah untuk menghindari atau memperbaikinya dengan segera.
  3. Tiap langkah perbaikan yang diperlukan harus segera diawali tanpa penundaan dan langkah itu harus mencapai tujuannya dengan segera pada skala waktu tidak lebih dari dua atau tiga dasawarsa.
  4. Jika dampak yang paling mungkin dari penggunaan sumberdaya adalah ketidakpastian, harus ada prioritas untuk melestarikan kapasitas produktif dari sumberdaya tersebut.
  5. Kapasitas memanen dan mengolah harus sepadan dengan tingkat pelestarian sumberdaya yang diperkirakan, peningkatan dalam kapasitas selanjutnya harus ditahan jika produktivitas sumberdaya sudah sangat tidak pasti.
  6. Semua kegiatan penangkapan harus memiliki hak pengelolahan terlebih dahulu dan tunduk pada tinjauan ulang secara berkala.
  7. Kerangka kerja kelembagaan dan hukum untuk pengelolaan perikanan yang di dalamnya dilembagakan rencana pengelolaan yang melaksanakan butir-butir di atas untuk setiap perikanan.
  8. Penempatan secara tepat tanggung jawab pembuktian yang memuaskan dengan cara melekatkan pada persyaratan di atas.

2. Prinsip Tanggung Jawab (Responsible Principle)

Pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab tidak memperbolehkan hasil tangkapan melebihi jumlah potensi lestari yang boleh ditangkap. Hal itu karena pengelolaan perikanan dipengaruhi tingkat fluktuasi dalam kegiatan penangkapan tiap tahun secara signifikan. Namun, tidak berarti tangkapan tahunan tidak pernah melampaui produksi bersih tahunan. Dalam lingkup kebanyakan strategi permanen, variabilitas alami dan ketidakpastian menjadi sedemikian rupa sehingga hasil tangkapan ikan mungkin melampaui produksi dalam beberapa tahun.

3. Prinsip Keterpaduan (Comprehensif Principle)

Prinsip keterpaduan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan hal yang penting untuk diupayakan. Lewat keterpaduan di antara stakeholders yang meliputi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat, proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan akan dapat berjalan dengan baik. Selain itu, terakomodasikannya antara hulu-hilir dan antar sektor. Prinsip keterpaduan itu akan teraktualisasikan dalam bentuk saling tukar informasi dan akses di antara stakeholders dalam meningkatkan kualitas pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan.

Prinsip keterpaduan itu pun bersifat dimensional dengan konteks pembangunan berkelanjutan, yaitu berdimensi ekologis, ekonomis, sosial-budaya, hukum, dan kelembagaan serta politik. Dengan demikian, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan akan berjalan dengan baik.

4. Prinsip Keberlanjutan (Sinstainable Principle)

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengutangi kemampuan generasi akan datang. Konsep pembangunan keberlanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan komponen ekologi, ekonomi, dan sosial. Setiap komponen itu saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu kekuatan dan tujuan. Sektor ekonomi dipakai melihat pengembangan sumberdaya manusia, khususnya lewat peningkatan konsumsi barang dan jasa pelayanan. Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem ekologi. Sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia, pencapaian aspirasi individu dan kelompok, serta penguatan nilai dan institusi.

4. Pengelolaan Pertambangan dan Energi

Dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 ditegaskan bahwa Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi

Penyelenggaran kegiatan usaha Migas dan Gas Bumi yang diatur dalam Undang-undang ini berasaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan.

Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi bertujuan :

  1. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi secara berdaya guna, berhasil guna, serta berdaya saing tinggi dan berkelanjutan atas Minyak dan Gas Bumi milik negara yang strategis dan tidak terbarukan melalui mekanisme yang terbuka dan transparan;
  2. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan;
  3. menjamin efisiensi dan efektivitas tersedianya Minyak Bumi dan Gas Bumi, baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku, untuk kebutuhan dalam negeri;
  4. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;
  5. meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia;
  6. menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup

S. Maronie

sebagai bahan kuliah Hukum Lingkungan

Komentar

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda?

Postingan populer dari blog ini

Teori Kontrol (Kriminologi)

Teori Subculture (Kriminologi)

Peradaban Islam Masa Daulah Utsmani