Jenis Pemidanaan

Jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis pidana ini berlaku juga bagi tindak pidana yang tercantum di luar KUHP, kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang (Pasal 103 KUHP). Jenis pidana dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan, kecuali dalam hal tertentu.
      Pidana pokok terdiri dari :
1.       Pidana mati
2.       Pidana penjara
3.       Pidana kurungan
4.       Pidana denda
5.       Pidana tutupan (ditambahkan berdasarkan Undang-Undang No.20 Tahun 1946).
Pidana Tambahan terdiri dari :
1.       Pidana pencabutan hak-hak tertentu
2.       Pidana perampasan barang-barang tertentu
  1. Pidana pengumuman keputusan hakim
Pidana Pokok
1.       Pidana Mati
Jenis pidana dalam KUHP berbeda dengan yang ditirunya, yaitu pasal 9 Wetboek va Strafrecht (W.v.S)  Nederland, yang pada pidana pokok tidak terdapat pidana mati, sudah dihapuskan dengan undang-undang tanggal 17 September sejak tahun 1870, staastblad 162. Akan tetapi pidana mati kemabali dicakupkan kedalam hukum pidana Belanda, khususnya pada pelaku delik-delik tertentu (kejahatan perang, pengkhianatan dan lain-lain). Kemudian berdasarkan amandemen undang-undang dasar yang diberlakukan tanggal 17 Februari 1983 ditetapkan pidana mati tidak dapat lagi dijatuhkan.
Adapun dasar pertimbangan pemerintahan Hindia Belanda mempertahankan pidana mati, sedangkan di negara Belanda sendiri telah dihapuskan, ialah berhubungan dengan keadaan-keadaaan khusus yang ada di Hindia Belanda, antara lain:
  1. Kemungkinan perbuatan-perbuatan yang mengancam kepentingan hukum disini jauh lebih besar daripada di negeri Belanda, mengingat negeri ini wilayahnya sangat luas dengan penduduk terdiri dari berbagai suku dan golongan dengan adat dan tradisi yang berbeda, dengan keadaan ini sangan potensial menimbulkan perselisihan, bentrokan yang tajam dan kekacauan yang sangat besar di kalangan masyarakat.
  2. Sedangkan alat perlengkapan keamanan yang dimilki oleh pemerintah Hindia Belanda adalah sangat kurang atau tidak sempurna dan selengkap seperti di Belanda.
Kalau di negara lain satu persatu menghapus pidana mati, maka sebaliknya terjadi di Indonesia. Semakin banyak delik yang diancam pidana mati. Delik yang diancam dengan pidana mati di dalam KUHP sudah menjadi 9 buah, yaitu :
  • Makar membunuh kepala negara (pasal 104),
  • Mengajak negara asing guna menyerang Indonesia (pasal 111 ayat 2)
  • Memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam perang (pasal 124 ayat 3)
  • Mebunuh kepala negara sahabat (paal 140 ayat 1)
  • Pembunuhan dengan direncana terlebih dahulu (pasal 140 ayat 3 dan pasal 340)
  • Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam atau dengan jalan membongkar dengan sebagainya, yang menjadikan ada orang yang terluka berat atau mati (pasal 365 ayat 4)
  • Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai, dan di kali sehingga ada orang yang mati (pasal 444)
  • Dalam waktu perang menganjurkan huru-haru, pemberontakan dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusaan pertahanan negara (pasal 124 bis)
  • Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (pasal 127 dan 129)
  • Pemerasan dengan keberatan (pasal 368 ayat 2)
Di luar KUHP juga tercantum pidana mati, seperti Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 (Prp) 1959 yang dapat memperberat ancaman pidana delik ekonomi jika “dapat menimbulkan kekacauan ekonomi dalam masyarakat”, Undang-undang Tenaga Atom (UU No.31/1964), Undang-Undang Narkotika (UU No.22/1997) khususnya Pasal 80 ayat (1) butir a, ayat (2) butir a, ayat (3) butir a, Pasal 81 ayat (3) butir a, Pasal 82 ayat (1) butir a, ayat (2) butir a, dan ayat (3) butir a. Undang-undang Psikotropika (UU No.5/1997) Pasal 59 ayat (2) dan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No.31/1999 yang diubah UU No. 20/2001) khususnya Pasal 2 jika dilakukan dalam keadaan tertentu.
Beberapa negara telah mencabut pidana mati seperti di Brasil tahun 1979, Republik Federasi Jerman tahun 1949, Kolombia tahun 1919, Kostarika tahun 1882, Denmark tahun 1978, Dominika tahun 1972, Honduras tahun 1965, Luxemburg tahun 1977, Norwegia tahun 1979, Austria tahun 1968, Portugal tahun 1977, Uruguay tahun 1907, Venezuela tahun 1863, Eslandia tahun 1928, Swedia tahun 1973, Swis tahun 1973, terakhir Perancis juga telah menghapusnya, sedangkan Belgia tetap tercantum dalam KUHP tetapi tidak pernah dilaksanakan, mungkin diterapkan jika ada perang seperti Perang Dunia II.
Pada tanggal 11 Desember 1977 di Deklarasi Stockhlom, Amnesti Internasional telah menyerukan penghapusan pidana mati di seluruh dunia. Dalam tahun 1979 masih terdapat 117 negara yang mencantumkan pidana mati. Dalam Konfrensi Prevensi Kejahatan dan Pembinaan Penjahat di Caracas Agustus 1980, Amnesti Internasional mengemukakan, bahwa paling kurang 860 orang telah dieksekusi.
Tentang bagaimana pidana mati dilaksanakan, ketentuan dalam Pasal 11 KUHP (dijalankan oleh algojo di tempat tiang gantungan/digantung) telah ditiadakan, dan diganti oleh regu penembak sampai mati, yang pelaksanannya telah ditetapkan secara rinci dalam Undang-Undang Nomor 2 (Pnps) tahun 1964.
2.       Pidana Penjara
Dalam Pasal 10 KUHP, ada dua jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak, yakni pidana penjara dan pidana kurungan. Dari sifatnya menghilangkan dan atau membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat (Lembaga Pemasyarakatan) dimana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan didalamnya wajib untuk tunduk, dan menaati dan menjalankan semua tata tertib yang berlaku. Kedua jenis pidana ini nampaknya sama, tetapi sesungguhnya berbeda jauh.
Perbedaan antara pidana penjara atau pidana kurungan adalah dalam segala hal pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara. Lebih ringannya dapat diuraikan sebagai berikut :
  1. Dari sudut macam/jenis tindak pidana yang diancam dengan pidana kurungan, tampak bahwa pidana kurungan itu hanya diancamkan pada tindak pidana yang lebih ringan dari pada tindak pidana yang diancam dengan penjara. Pidana kurungan banyak diancamkan pada jenis pelanggaran. Sementara itu, pidana penjara diancamkan pada jenis pidana kejahatan. Tindak pidana kejahatan lebih berat daripada pidana pelangaran.
·          Pelanggaran
orang baru menyadari hal tersebut merupakan delik karena perbuatan tersebut tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik undang-undang). Dimuat dalam buku III KUHP pasal 489 sampai dengan pasal 569. Contoh pencurian (pasal 362 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), perkosaan (pasal 285 KUHP).
·          Kejahatan
meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang menjadi tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan dan patut dipidana, istilahnya disebut rechtsdelict (delik hukum). Dimuat didalam buku II KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488. Contoh mabuk ditempat umum (pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP).
2.     Ancaman maksimum dari pidana penjara adalah 15 tahun lebih tinggi daripada pidana kurungan yakni 1 tahun. Bilada dilkakukan dalam keadaan yang memberatkan, pidana kurungan boleh diperberat tapi tidak boleh lebih dari 1 tahun 4 bulan (18 ayat 2), sedangkan untuk pidana penjara bila ada yang memberatkan misalnya ada perbarengan (pasal 65) dan pengulangan dapat dijatuhi pidana penjara ditambah sepertiganya, oleh karenanya itu pidana penjara dapat menjadi maksimum 20 tahun.
            3.     Pidana penjara lebih berat daripada pidana kurungan (Pasal 69 KUHP)
4.  Pelaksanaan pidana denda tidak dapat diganti dengan pelaksanaan pidana penjara. Akan tetapi, pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pelaksaanaan pidana kurungan disebut kurungan pengganti denda (Pasal 30 ayat 2)
5.       Pelaksanaan pidana penjara dapat saja dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia (dapat dipindah-pindahkan). Akan tetapi, Pidana Kurungan dilaksanakan di tempat dimana ia berdiam ketika putusan hakim dijalankan (tidak dapat dipindah) apabila ia tidak mempunyai tempat kediaman di daerah ia berada, kecuali Menteri Kehakiman atas permintaan terpidana meminta menjalani pidana di tempat lain (Pasal 21).
6.  Pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan para narapidana penjara lebih berat daripada pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan daripada narapidana kurungan (Pasal 19). 
7.  Para terpidana kurungan mempunyai hak pistole. Yang artinya mereka mempunyai hak atau kesempatan untuk mengurusi makanan dan alat tidur sendiri atas biaya sendiri (pasal 23 KUHP).
Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan kemerdekaan. Pidana penjara atau hukuman penjara mulai dipergunakan terhadap orang Indonesia sejak tahun 1918, waktu mulai berlaku KUHP. Sebelum tangal itu, orang Indonesia biasanya dihukum dengan kerja paksa di luar atau di dalam rantai (sebetulnya sebuah gelang leher). Ada beberapa sistem dalam pidana penjara, yaitu:
  1. Pensylvania system: terpidana menurut sistem ini dimasukkan dalam sel-sel tersendiri, ia tidak boleh menerima tamu baik dari luar maupun sesama napi, dia tidak boleh bekerja di luar sel satu-satunya pekerjaan adalah membece buku suci yang diberikan padanya. Karena pelasanaanya dilakukan di sel-sel maka disebut juga cellulaire system.
  2. Auburn system: pada waktu malam ia dimasukkan dalam sel secara sendiri-sendiri, pada waktu siangnya diwajibkan bekerja dengan narapidana lainnya, tetapi tidak boleh saling berbicara di antara mereka, biasa disebut dengan silent system.
  3. Progressive system: cara pelaksanaan pidana menurut sistem ini adalah bertahap, biasa disebut dengan english/ire system.
Dalam penjara-penjara besar, orang hukuman penjara dibagi dalam empat kelas (Bab VII R.P.) yakni yang dimaksud dalam:
  1. Kelas I: orang yang dihukum seumur hidup dan orang yang menjalankan hukuman sementara, mereka yang berbahaya bagi orang lain. Dal Undang-undang tidak dijelaskan mengenai pengertian napi yang dianggap berbahaya, akan tetapi pengertian bahaya ini erat kaitannya dengan masalah keselamatan, baik napai yang lain maupun bagi petugas Lembaga Permasyarakatan.
  2. Kelas II: orang yang menjalankan hukuman penjara lebih dari 3 bulan.
  3. Kelas III: diperuntukkan bagi mereka yang sebelumnya menjadi penghuni kelas II, yang selama 6 bulan menjalani hukuman menunjukkan perbuatan-perbuatan yang baik (sesuai dengan tata tertib yang ditentukan).
  4. Kelas IV: yaitu diperuntukkan bagi mereka yang dijatuhi hukuman kurang dari 3 bulan.
Di bawah ini dapat disimak beberapa hal berhubungan dengan ketentuan pidana penjara yang dapat menjadi jus cunstituendum, yaitu sebagai berikut:
  • Pidana penjara dijatuhkan untuk semur hidup atau untuk waktu tertentu. Waktu tertentu dijatuhkan paling lama lima belas tahun berturut-turut atau paling singkat satu hari, kecuali ditentukan minimum khusus.
  • Jika dapat dipilih antara pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara lima belas tahun maka pidana penjara dapat dijatuhkan untuk waktu dua puluh tahun berturut-turut.
  • Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang sepuluh tahun pertama dengan berkelakuan baik, Menteri Kehakiman dapat mengubah sisa pidana tersebut menjadi pidana penjara paling lama lima belas tahun.
  • Pelepasan bersyarat:
a.   Menteri Kehakiman dapat memeberikan keputusan pelepasan bersyarat apabila terpidana telah mengalami setengah dari pidana penjara yang dijatuhkan, sekurang-kurangnya sembilan bulan dan berkelakuan baik.
b.  Dalam pelepasan bersyarat ditentukan masa percobaan yaitu selama sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah dengan satu tahun. Adapun syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan ialah sebagai berikut:
·   Terpidana tidak akan melakukan tindak pidana
· Terpidana harus melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik
c.  Terpidana yang mengalami beberapa pidana penjnara berturut-turut, jumlah pidananya dianggap sebagai satu pidana.
d.      Pelepasan bersyarat tidak dapat ditarik kembali setelah melampaui tiga bulan terhitung sejak habisnya masa percobaan, kecuali jika sebelum waktu tiga bulan terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana dalam masa percobaan dan tuntutan berakhir karena putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jangka waktu antara saat mulai menjalani pelepasan bersyarat dan menjalani kembali pidana tidak dihitung sebagai menjalani pidana.
e.      Mekanisme yang terkait dengan pelepasan bersyarat ialah sewbagai berikut:
· Keputusan Menteri Kehakiman ditetapkan setelah mendapat pertimbangan Dewan Pembina Pemasyarakatan dan Hakim Pengawas.
· Jika terjadi pelanggaran terhadap salah satu syarat maka pejabat pembina memberitahukan hal tersebut kepada hakim pengawas.
· Pencabutan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul Hakim Pengawas.
· Apabila Hakim Pengawas mengusulkan pencabutan, dapat memberi perintah kepada polisi agar terpidana ditahan. Hal tersebut diberitahukan kepada Menteri Kehakiman.
· Penahanan tersebut paling lama 60 hari.
· Jika penahanan tersebut disusul dengan penghentian sementara waktu atau pencabutan pelepasan bersyarat, terpidana dianggap meneruskan menjalani pidana sejak ditahan.
· Selama masa percobaan, pengawasan, dan pembinaan berlangsung oleh pejabat pembimbing dari Departemen Kehakiman yang dapat diminta bantuan kepada pemerintah daerah, lembaga sosial, atau orang lain.
Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam pembukaan rapat Derektoral Jendral Bina Tuna Warga tahun 1976 menendaskan kembali prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan sistem pemasyarakatan yang sudah dirumuskan dalam konferensi Lembaga tahun 1964 yang terdiri atas sepuluh rumusan, yaitu:
  1. Orang yang tersesat harus diayomi dengajn memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat.
  2. Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari negara.
  3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan.
  4. Negara tidak berhak membuat seorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga.
  5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
  6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat atau hanya diperuntukkan begi kepentingan lembaga atai negara saja.
  7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas pancasila.
  8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat.
  9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilangnya kemerdekaan.
  10. Sarana fisik bangunan Lembaga Permasyarakatan dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sisitem pemasyarakatan.
Pembinaan dengan bimbingan dan kegiatan lainnya yang diprogramkan terhadap narapidana dapat meliputi cara pelaksanaan sebagai berikut:
  1. Bimbingan mental, yang diselengarakan dengan pendidikan agama, kepribadian dan budi pekerti dan pendidikan umum yang diarahkan untuk membangkitkan sikap mental baru sesudah menyadari akan kesalahan masa lalu.
  2. Bimbingan sosial, yang dapat diselenggarakan dengan memberikan pengertian akan arti pentingnya hidup bermasyarakat, dan pada masa-masa tertentu diberikan kesempatan untuk similasi serta interaksi dengan masyarakat di luar.
  3. Bimbingan ketrampilan, yang diselenggarakan dengan kursus, latihan kecakapan tertenru sesuai dengan bakatnya yang nantinya menjadi bekal hidup untuk mencari nafkah dikemudian hari.
  4. Bimbingan untuk memelihara rasa aman dan damai untuk hidup dengan teratur dan belajar menaati peraturan.
  5. Bimbingan-bimbingan lain yang menyangkut perawatan kesehatan, seni budaya dan sedapat dapatnya diperkenalkan kepada segala aspek kehidupan bermasyarakat dalam bentuik tiruan masyarakat kecil selaras dengan lingkungan sosial yang terjadi di luarnya.
Mengenai ancaman pidana penjara bagi anak yang melakukan tidak pidana, mengacu pada pasal 26 UU No. 3 Tahun 1997, pada pokonya sebagai berikut:
  1. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
  2. Apabila melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.
  3. Apabila anak tersebut belum mencapai umur 12 tahun malakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana seumur hidup maka hanya dapat dijatuhkan tindakan berupa “menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja”.
  4. Apabila anak tersebut belum mencapai umur 12 tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka dijatuhkan salah satu tindakan.
3.       Pidana Kurungan
Pidana kurungan juga merupakan salah satu bentuk pidana perampasan kemerdekaan, akan tetapi pidana kurungan dalam beberapa hal lebih ringan daripada pidana penjara. Menurut Vos, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan. Pertama ialah sebagai custodian honesta untuk delik-delik yang menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delik-delik culpa (kelalaian)  dan beberapa delik delus, seperti perkelahian satu lawan satu (pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana (pasal 396 KUHP). Yang kedua sebagai custodia simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran.
Perbedaan pidana penjara dan pidana kurungan yaitu:
  1. Udang-undang memandang pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara. Hal ini diketahui dari urutan pidana kurungan, berada pada urutan ketiga dibawah pidana mati dan pidana penjara. Sebagaimana dalam pasal 69 ayat 1 bahwa berat ringannya pidana ditentukan oleh urutan-urutannya.
  2. Dalam hal pelaksanaan pidana, terpidana kurungan tidak dapat dipindahkan ke tempat lian di luar tempat ia berdiam pada waktu eksekusi, tanpa kemauannya sendiri.
  3. Pembebanan pekerjan, pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana penjara.
Ketentuan-ketentuian pidana kurungan adalah sebagai berikut:
  1. Para terpidana kurungan mempunyai hak pistole. Yang artinya mereka mempunyai hak atau kesempatan untuk mengurusi makanan dan alat tidur sendiri atas biaya sendiri (pasal 23 KUHP).
  2. Para terpidana mengerjakan pekerjaan yang diwajibkan, akan tetapi lebih ringan dibandingkan terpidana penjara (pasal 19 KUHP).
  3. Meskipun ancaman pidana kurungan adalah satu tahun, namun maksimum boleh satu tahun empat bulan. Dalam hal ini terjadi pemberatan pidana, karena perbarengan atau karena ketentuan pasal 52 atau pasal 52 a (pasal 18 KUHP).
  4. Apabila terpidana penjara dan terpidana kurungan menjalani pidana masing-masing di situ tempat permasyarakatan, maka terpidana kurungan harus terpisah tempatnya. (pasal 28 KUHP).
  5. Pidana kurungan biasanya dilaksanakan di dalam daerahnya terpidananya sendiri/biasanya tidak di luar daerah yang bersangkutan.
Hukuman kurungan diancam terhadap delik yang bersifat tidak jahat, yaitu pelanggaran dan kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja.

4.       Pidana Denda
Pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran (Buku III) baik sebagai alternatif dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri. Begitu juga terhadap jenis kejahatan-kejahatan ringan maupun kejahatan culpa, pidana denda sering diancamkan sebagai alternatif dari pidana kurungan. Sementara itu, bagi kejahatan-kejahatan jarang sekali diancam dengan pidana denda baik sebagai alternatif dari pidana penjara maupun berdiri sendiri.
Ada beberapa keistimeweaan tertentu dari pidana denda jika dibandingkan dengan jenis-jenis lain dalam kelompok pidana, pokok keiistimewaannya sebagai berikut :
  1. Dalam hal pelaksanaan pidana, denda tidak menutup kemungkinan dilakukan atau dibayar orang lain, yang dalam hal pelaksanaan pidana lainnya kemungkinaan seperti ini tidak bisa terjadi. Jadi dalam hal ini pelaksanaan pidana denda dapat melanggar prinsip dasar dari pemidanaan sebagai akibat yang harus dipikul dan diderita oleh pelaku sebagai orang yang harus bertanggungjawab atas perbuatan tindak pidana yang dilakukannya.
  2. Pelaksaan pidana denda boleh diganti dengan menjalani pidana kurungan (kurungan pengganti denda, Pasal 30 ayat 2). Dalam putusan hakim yang menjatuhkan pidana denda, dijatuhkan juga pidana kurungan pengganti denda sebagai alternatif pelaksanaannya, dalam arti jika denda tidak dibayar terpidana wajib menjalani pidana kurungan pengganti denda itu. Dalam hal ini terpidana bebas memilihnya. Lama pidana kurungan pengganti denda ini minimal umum satu hari dan maksimal umum enam bulan.
  3. Dalam hal pidana denda tidak terdapat maksimum umumnya, yang ada hanyalah minimum umum yang menurut Pasal 30 ayat 1 adalah tiga rupiah tujuh puluh lima sen. Sementara itu maksimum khususnya ditentukan pada masing-masing rumusan tindak pidana yang bersangkutan, yang dalam hal ini sama dengan jenis lain dari kelompok pidana pokok.
5.       Pidana Tutupan
Pidana tutupan ini di tambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP melalui UU No. 20 Tahun 1946, yang dimaksudnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.
Tempat dan menjalani pidana tutupan serta segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan UU No. 20 Tahun 1946 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948, yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah Tentang Rumah Tutupan. Di dalam Peraturan Nomor 8 Tahun 1948 ini, terlihat bahwa rumah tutupan itu berlaku berbeda dengan rumah penjara (Lembaga Pemasyarakatan) karena keadaan rumah tutupan itu, serta fasilitas-fasilitasnya adalah lebih baik dari yang ada pada penjara, misalnya dapat kita baca dalam Pasal 55 ayat 2 dan 5, Pasal 36 ayat 1 dan 3, Pasal  37 ayat 2. Pasal 33 menyatakan bahwa makanan orang pidana tutupan harus lebih baik dari makanan orang dipidana penjara. Uang rokok bagi yang tidak merokok diganti dengan uang seharga rokok tersebut.
Dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 8 Tahun 1984 tersebut, dapat diketahui bahwa narapidana tutupan itu lebih banyak mendaptkan fasilitas dari pada narapidana penjara. Hal ini disebabkan karena orang yang dipidana tutupan itu tidak sama dengan orang-orang yang dipidana penjara. Tindak pidana yang didorong oleh maksud yang patut dihormati.
Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat 1 PP ini, tampaknya pidana tutupan bukan jenis pidana yang berdiri sendiri, melainkan pidana penjara juga. Perbedaan hanyalah terletak pada orang yangd dapat dipidana tutupan hanya bagi orang yang melakukan tindak pidana karena didorong oleh maksud yang patut dihormati. Sayangnya dalam undang-undang itu maupun PP Pelaksanaannya itu tidak dijelaskan tentang unsur maksud yang patut dihormati itu. Karena itu penilaiannya, kriterianya diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
Dalam praktik hukum selama ini, hampir tidak pernah ada putusan hakim yang menjatuhkan pidana tutupan. Sepanjang sejarah praktik hukum diindonesia, pernah terjadi hanya satu kali hakim menjatuhkan pidana tutupan, yaitu putusan Mahkamah Tentara Agung RI pada Tanggal 27 Mei 1948 dalam hal mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946, yaitu merupakan suatu percobaan perebutan kekuasaan atau kudeta yang dilakukan oleh pihak oposisi – (kelompok Persatuan Perjuangan) terhadap pemerintahan Kabinet Sjahrir II di Indonesia. Usaha yang dimotori kelompok Tan Malaka ini maksudnya mendesak Presiden agar mau mengganti kabinet. Karena Kabinet Sjahrir dianggap terlalu banyak memberikan konsesi kepada Belanda. Apalagi setelah pidato Bung Hatta yang membocorkan bahwa akan diadakan perundingan baru dengan Belanda dimana antara lain akan dicapai kesepakatan wilayah Republik Indonesia akan meliputi sebatas Jawa dan Sumatera saja.
Pidana Tambahan
Pidana Tambahan terdiri dari :
  1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu
  2. Pidana perampasan barang-barang tertentu
  3. Pidana pengumuman keputusan hakim
1.       Pidana Pencabutan Hak-Hak Tertentu
Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hak-hak terpidana dapat dicabut. Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak-hak kehidupan, hak-hak sipil (perdata), dan hak-hak ketatanegaraan. Menurut Vos, pencabutan hak-hak tertentu itu ialah suatu pidana di bidang kehormatan, berbeda dengan pidana hilang kemerdekaan, pencabutan hak-hak tertentu dalam dua hal :
1.       Tidak bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan keputusan hakim;
2.       Tidak berlaku seumur hidup, tetapi menurut jangka waktu menurut undang-undang dengan suatu putusan hakim.
Hakim boleh menjatuhkan pidana pencabutan hak-hak tertentu apabila diberi wewenang oleh undang-undang yang diancamkan pada rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Tindak pidana yang diancam dengan pencabutan hak-hak tertentu dirumuskan dalam pasal: 317, 318, 334, 347, 348, 350, 362, 363, 365, 372, 374, 375. Sifat hak-hak tertentu yang dicabut oleh hakim tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali apabila terpidana dijatuhi hukuman seumur hidup. Hak-hak yang dapat dicabut disebut dalam Pasal 35 KUHP, yaitu:
1.       Hak memegang  umumnya atau jabatan tertentu;
Pada pencabutan hak memegang jabatan, dikatakan bahwa hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, melainkan yang dicabut adalah haknya untuk menjalankan jabatannya. Dalam aturan-aturan khusus ditentukan bahwa penguasa (pejabat administratif)  lain yang melakukan pemecatan tersebut, atas dasar putusan hakim.
Oleh karena itu, kemungkinan bisa terjadi seseorang pejabat yang telah dicabut haknya untuk menjalankan jabatan tertentu, tetapi oleh pejabat administrasi jabatannya tidak dicabut. Hal ini tentunya diancam dengan Pasal 227 KUHP (karena menjalankan suatu hak padahal ia mengetahui haknya telah dicabut oleh putusan hakim). Apabila hal demikian terjadi, untuk melepaskan dari pertentangan hukum itu harus didasarkan pada keadaan daya paksa (Pasal 48) yan g membebaskan bagi yang bersangkutan dari pertanggungjawaban pidana.
2.       Hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI;
3.       Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4.   Hak menjadi penasihat atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri;
Seorang penasihat hukum (raadsman) bukanlah pembela (penasihat hukum) yang ditunjuk atau dipilih sendiri dalam perkara pidana sebagaimana diatur dalam Bab VII KUHAP, melainkan seorang penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 BW yang kini sudah dicabut, yakni setiap orang yang diberi wewenang oleh hakim melalui surat penetapan untuk melakukan suatu pengurusanan.
5.       Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian, atau pengampuan atas anak sendiri;
6.       Hak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Tentang untuk berapa lama pencabutan-pencabutan hak-hak tertentu itu dapat dilakukan oleh hakim, Pasal 38 ayat (1) KUHP telah menentukan, bahwa lamanya pencabutan hak adalah :
  1. Jika pidana pokok yang dijatuhkan hakim berupa pidana mati atau seumur hidup maka lamanya pencabutan hak-hak tertentu berlaku seumur hidup;
  2. Jika pidana pokok yang dijatuhkan hakim berupa pidana penjara sementara atau kurungan, maka lamanya pencabutan hak itu adalah sama dengan lamanya pidana pokok, yakni sekurang-kurangnya selama dua tahun dan selama-lamanya lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;
  3. Jika pidana pokok yang dijatuhkan adalah pidana denda maka pencabutan hak-hak tertentu adalah paling sedikit dua tahun dan paling lama lima tahun.
 2. Pidana Perampasan Barang-barang Tertentu
Pidana perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti halnya dengan pidana denda. Pidana perampasan telah dikenal sejak lama. Para kaisar Kerajaan Romawi menerapkan pidana perampasan ini sebagai politik hukum yang bermaksud mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya untuk mengisi kasnya. Kemudian pidana perampasan muncul dalam WvS Belanda, dan berdasarkan konkordasi dikenal pula dalam KUHP yang tercantum dalam Pasal 39.
Adapun barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan Pasal 39 ayat (1)KUHP , antara lain:
  1. Benda-benda kepunyaan terpidana yang diperoleh karena kejahatan, misal uang palsu;
  2. Benda-benda kepunyaan terpidana yang telah digunakan untuk melakukan suatu kejahatan dengan sengaja, misal pisau yang digunakan terpidana untuk membunuh.
Sebagaimana prinsip umum pidana tambahan, pidana perampasan barang tertentu bersifat fakultatif, tidak merupakan keharusan (imperatif) untuk dijatuhkan. Akan tetapi, ada juga pidana perampasan barang tertentu yang menjadi keharusan (imperatif), misalnya pada Pasal 250 bis (pemalsuan mata uang), Pasal 205 (barang dagangan berbahaya), Pasal 275 (menyimpan bahan atau benda, seperti surat dan sertifikat hutang, surat dagang).
Untuk pelaksanaan pidana perampasan barang apabila barang tersebut ditetapkan dirampas untuk negara, dan bukan untuk dimusnahkan terdapat dua kemungkinan pelaksanaan, yaitu: apakah pada saat putusan dibacakan: 1) barang tersebut telah terlebih dahulu diletakkan dibawah penyitaan, ataukah 2) atas barang tersebut tidak dilakukan sita.
Pada ketentuan pertama berarti eksekusi terhadap barang sitaan tersebut dilakukan pelelangan di muka umum menurut peraturan yang berlaku, dan hasilnya di masukkan ke kas negara (Pasal 42 KUHP). Sedangkan apabila kemungkinan kedua yang terjadi maka eksekusinya berdasarkan pada Pasal 41 yaitu terpidana boleh memilih apakah akan tetap menyerahkan barang-barang yang disita ataukah menyerahkan uang seharga penafsiran hakim dalam putusan. Apabila terpidana tidak mau menyerahkan satu di antara keduanya maka harus dijalankan pidana kurungan sebagai pengganti. Mengenai pidana kurungan pengganti perampasan barang lebih lanjut dijelaskan dalam KUHP pasal 30 ayat (2) yang berbunyi Jika denda tidak dibayar, lalu diganti dengan kurungan.
Di dalam praktik, apa yang disebut pidana tambahan berupa pernyataan disitanya barang-barang tertentu seringkali hanya merupakan suatu tindakan pencegahan belaka, yang dilakukan dengan cara merusak atau dengan cara menghancurkan benda-benda yang telah dinyatakan sebagai disita, baik merupakan benda yang telah dihasilkan oleh suatu kejahatan, maupun merupakan benda yang telah digunakan untuk melakukan suatu kejahatan.
Oleh karena itu, tepatlah kiranya apa yang dikatakan oleh Hazewinkel-Suringa, bahwa pidana tambahan berupa pernyataan disitanya barang-barang tertentu yang semula telah dimaksud untuk menjadi suatu pidana, seringkali telah berubah fungsinya menjadi politerechtelijke vernietigning, yakni pengrusakan yang dilakukan terhadap barang-barang tertentu yang menurut sifatnya adalah berbahaya, dengan maksud agar benda-benda tersebut jangan sampai dapat digunakan oleh orang lain untuk tujuan-tujuan yang bersifat melawan hukum. Akan tetapi, benda-benda yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi pada umumnya oleh hakim hanya akan dinyatakan sebagai disita untuk kepentingan negara tanpa disertai perintah untuk merusak atau memusnahkannya.
3.       Pidana pengumuman keputusan hakim
Pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim antara lain dapat diputuskan oleh hakim bagi para pelaku dari tindak pidana yang telah diatur di dalam Pasal 127 (dalam masa perang menjalankan tipu muslihat dalam penyerahan barang-barang keperluan Angkatan Laut atau Angkatan Darat), 204, 205 (Menjual barang yang berbahaya), 359, 360 (menyebabkan mati atau luka karena kealpaan), 372, 374, 375, 378, dan seterusnya tentang Penggelapan, serta Pasal 396 dan seterusnya (perbuatan merugikan pemiutang). Pada umumnya, putusan hakim harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (pasal 195 KUHAP), apabila tidak maka keputusan tersebut batal demi hukum. Hal ini berbeda dengan pengumuman putusan hakim sebagai salah satu pidana.
Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan pidana. Jadi dalam pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas untuk menentukan perihal cara pengumuman tersebut, misalnya melalui surat kabar, papan pengumuman, radio, televisi, dan pembebanan biayanya ditanggung terpidana.
Adapun penjatuhan pidana tambahan ini mempunyai daya kerja yang bersifat mencegah secara khusus, mengingat bahwa penjatuhan pidana tambahan ini akan menyulitkan terpidana untuk kembali melakukan tindak pidana yang sejenis. Di sisi lain, juga membuat terpidana menjadi tidak dapat melakukan kembali tindak pidana yang sejenis di kemudian hari, karena hampir semua orang telah diperingatkan tentang kemungkinan terpidana akan melakukan tindak pidana yang sejenis, apabila ia diterima bekerja di jawatan atau perusahaan manapun atau apabila orang ingin berhubungan dengan terpidana setelah selesai menjalankan pidananya.
Pidana tambahan ini juga mempunyai suatu daya kerja yang bersifat mencegah secara umum, karena setiap orang menjadi tahu bahwa alat-alat negara akan menindak secara tegas, siapapun yang melakukan tindak pidana yang sama seperti yang telah dilakukan oleh terpidana, dan bukan tidak mungkin bahwa perbuatan mereka pun akan disiarkan secara luas untuk dapat dibaca oleh semua orang.
Pidana Tambahan Di Luar KUHP
Pengaturan mengenai hukuman tambahan juga terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, KUHP sendiri memang tidak membatasi bahwa hukuman tambahan tersebut terbatas pada tiga bentuk di atas saja. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi misalnya, diatur juga mengenai hukuman tambahan lainnya selain dari tiga bentuk tersebut, yakni terdapat dalam Pasal 18 yang isinya sebagai berikut :
  1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan;
  2. Pembayaran uang pengganti yang jumlah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
  3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama satu tahun;
  4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Adapula ketentuan-ketentuan pidana tambahan lain yang tercantum dalam undang-undang lainnya , yaitu:
  1. Pencabutan izin usaha (Undang-Undang No.5 tahun 1984 tentang Perindustrian);
  2. Pembayaran ganti rugi (Undnag-Undang No.3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak)
  3. Pembubaran korporasi yang diikuti likuidasi (Undang-Undang No.15 tahun 2002 tentang Pencucian Uang);
  4. Larangan menduduki jabatan direksi (Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat);
  5. Perintah penghentian kegiatan tertentu (Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Kontrol (Kriminologi)

Peradaban Islam Masa Daulah Utsmani

Teori Subculture (Kriminologi)