Nasib Etnis Rohingya Di Indonesia

Sebulan terakhir ini, terselip pemberitaan diantara isu-isu lokal mengenai pengungsian etnis Rohingya (kaum minoritas di Myanmar) ke Indonesia. Pemberitaan ini semakin miris manakala mendengar latar belakang etnis Rohingnya yang beragama Islam karena adanya pembersihan etnis di Myanmar.

Tentunya masih banyak diantara kita yang tak mengetahui mengenai sejarah etnis Rohingya di Myanmar, dan yang menjadi fokus perhatian adalah bagaimana regulasi internasional tentang Pengungsian. Melalui tulisan singkat ini mencoba menyoroti bagaimana nasib etnis Rohingya di Indonesia.

Sejarah Etnis Rohingya

Rohingya adalah grup etnis yang kebanyakan beragama Islam di Negara Bagian Rakhine Utara di Myanmar Barat. Populasi Rohingya terkonsentrasi di dua kota utara Negara Bagian Rakhine (sebelumnya disebut Arakan). Jumlah populasi etnis ini diperkirakan kurang lebih 3.000.000. orang. Kata Rohingya berasal dari kata Rohang, nama lama Arakan, yang awalnya sebuah negara independen yang dikuasai secara bergantian oleh orang Hindu, Buddha, dan muslim.

Permasalahan yang dialami etnis Rohingya sebenarnya masalah pemberian kewarganegaraan kepada etnis Rohingnya, pemerintah Myamnar sampai saat ini masih menganggap bahwa etnis Rohingya adalah imigran illegal di Myanmar yang berasal dari Bangladesh yang telah ada di Myanmar sebelum kemerdekan Myanmar pada tahun 1948. Hal ini tentunya mengakibatkan etnis Rohingya tak dapat hak pendidikan, layanan kesehatan, dan bahkan pekerjaan yang layak.

Selain masalah pemberian kewarganeraan, permasalahan yang dialami etnis Rohingya yaitu masalah adanya konflik etnis Rohingya dengan etnis Rakhine. Etnis Rakhine menganggap bahwa dengan semakin bertambahnya populasi etnis Rohingnya tentu akan mengurangi hak atas lahan di wilayah Arakan, Rakhine.

Konflik antar kedua etnis ini semakin parah ketika beredarnya issu perampokan dan pemerkosaan terhadap perempuan Rakhine bernama Ma Thida Htwe pada 28 Mei 2012. Kepolisian Myanmar sebenarnya telah menahan dan memenjarakan 3 orang tersangka pelaku yang kebetulan dua di antaranya adalah etnis Rohingya. Namun, tindakan itu ternyata tak cukup mencegah terjadinya kerusuhan di negara bagian Rakhine yang terletak di bagian barat Myanmar itu. Pada tanggal 4 Juni, terjadi penyerangan terhadap bus yang diduga ditumpangi pelaku pemerkosaan dan kerabatnya. Tercatat 10 orang Muslim Rohingya tewas. Sejak itu, kerusuhan rasial di Rakhine pun meluas hingga terjadinya pembakaran perkampungan dan pengusiran etnis Rohingya.

Dengan semakin meningkatnya tekanan yang dihadapi etnis Rohingya, tentunya mereka akan mencari perlindungan di luar Myanmar. Bangladesh yang merupakan negara terdekat dan mempunyai hubungan sejarah dengan etnis Rohingnya menjadi tujuan utama. Tetapi, Bangladesh sendiri tidak bersedia menampung mereka dengan alasan tidak mampu. Sehingga banyak pengungsi Rohingya ke Bangladesh dipulangkan kembali begitu tiba di Bangladesh. Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, menyatakan negaranya tidak ingin ikut campur soal nasib pengungsi Rohingya. Kekerasan dua bulan terakhir yang menimpa etnis minoritas itu bagi dia urusan pemerintah Myanmar. Jangankan mendapat perlindungan, diperlakukan layak saja sudah sangat beruntung. Setibanya di pantai-pantai Bangladesh, mereka dikumpulkan dan dijaga ketat oleh aparat bersenjata lengkap. Di bawah todongan senjata mereka dibariskan lalu diberi nasi bungkus dan satu botol air minum. Tentara militer dengan menggunakan senapan serbu semi-otomatis yang biasa digunakan dalam perang itu, kemudian menggiring mereka ke dermaga. Setelah itu mereka disuruh naik ke sampan-sampan yang jauh dari layak untuk menyeberangi lautan. Dengan tanpa belas kasihann sedikitpun para militer tersebut melakukan perintah komandannya untuk memaksa para pengungsi itu untuk masuk ke sampan itu lalu kembalilah ke laut.

Myanmar mengusir mereka, di Bangladesh mereka ditolak. Presiden Myanmar Thein Sein mendukung kebijakan yang mendorong terjadinya penghapusan etnis. Thein Sein mengatakan, sekitar 800 ribu etnis Rohingya harus ditempatkan pada kamp pengungsi dan dikirim ke perbatasan Bangladesh.

Kini etnis Rohingnya mengungsi ke Indonesia, dan kini ada yang telah sampai ke Makassar di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) di Pallangga, Gowa. Bagaimanakah nasib mereka selanjutnya setelah di Indonesia ? apakah kita dapat menolaknya seperti Bangladesh, ataukah kita menampungnya?

Regulasi Pengungsian di Indonesia

Regulasi masalah pengungsian dalam hukum internasional diatur dalam Konvensi Tahun 1951 dan Protokol Tahun 1967, ada tiga hal pokok yang merupakan isi konvensi tersebut, yaitu : Pertama, Pengertian Dasar Pengungsi. Pengertian dasar Pengungsi diartikan dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 penting diketahui sebab diperlukan untuk menetapkan status pengungsi seseorang (termasuk pengungsi atau bukan). Penetapan ini ditetapkan oleh negara tempat orang itu berada dan bekerja sama dengan UNHCR (United Nation High Commissioner For Refugee), yang menangani masalah pengungsi dari PBB. Kedua, Status hukum pengungsi, hak dan kewajiban pengungsi di negara tempat pengungsian. Ketiga, Implementasi (pelaksanaan) perjanjian, terutama menyangkut administrasi dan hubungan diplomatik. Di sini titik beratnya administrasi dan hubungan diplomatik. Di sisni titik beratnya ialah pada hal-hal yang menyangkut kerja sama dengan UNHCR. Dengan demikian, UNHCR dapat melakukan tugasnya sendiri dan melakukan tugas pengawasan, terutama terhadap negara-negara tempat pengungsi itu berada.

Indonesia tidak termasuk dalam negara pihak yang ikut menandatangani konvensi mengenai status pengungsi tahun 1951 dan Protokol tahun 1967, maka Indonesia terpaksa mengandalkan masalah penanganan pengungsi pada UNHCR (United Nation High Comissioner or Refegees), yang melakukan aktifitasnya sesuai mandat yang ditetapkan dalam statuta tahun 1950 di negara-negara yang bukan pihak penandatangan pada konvensi tahun 1951 atau protokol tahun 1967. Sehingga, Indonesia sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apakah seseorang atau sekelompok orang, yang meminta status pengungsi, diakui sebagai pengungsi. Kewenangan tersebut dilakukan oleh UNHCR, tanpa campur tangan dari Indonesia oleh karena Indonesia bukanlah negara pihak pada konvensi maupun protokol tadi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Indonesia yang tidak masuk dalam pihak yang ikut menandatangani Konvensi Tahun 1951 dan Protokol Tahun 1967 sama sekali tidak mempunyai kewajiban untuk menerima pengungsi lintas batas, atau dengan kata lain Indonesia dapat menolak pengungsi lintas batas tanpa adanya konsekuensi yuridis. Namun masalah pengungsian ini telah diterima oleh Majelis PBB sebagai sebuah Resolusi. Dalam Resolusi tersebut tentunya terdapat seruan agar semua negara anggota PBB memberikan perlindungan internasional kepada pengungsi dan mencari solusi permanen bagi masalah pengungsi. Sehingga seruan ini agar diterjemahkan bahwa bila ada yang mengaku pengungsi atau pencari suaka masuk ke Indonesia, maka kita melaksanakan resolusi tersebut dengan bekerja sama, yaitu dengan cara memberitahukannya kepada UNHCR. Sehingga tidak dapat semata-mata dilihat dari sudut pandang keimigrasian. Memang, bila dilihat dari nilai sebuah resolusi, tidak akan pernah habis polemik yang terkandung didalamnya. Namun jika dilihat dari prevailing opinion akan resolusi majelis PBB tadi, bukan menciptakan kewajiban yuridis karena hanya semata sebuah rekomendasi. Akan tetapi resolusi yang telah berumur 52 tahun ini dan dalam praktek di lapangan dianut oleh berbagai bangsa, khusus bagi UNHCR sebagai pemegang mandat yang diberikan oleh majelis umum PBB untuk memberikan perlindungan dan mencari solusi permanen bagi pengungsi, resolusi sudah menjadi hukum kebiasaan internasional.

Saat ini di Indonesia menjadi salah satu tempat favorit para pencari suaka ataupun pengungsi internasional sebagai tempat singgah, seperti yang terjadi saat ini pengungsi etnis Rohingnya datang ke Indonesia. Tujuan sebenarnya para pengungsi ini adalah Australia bukanlah Indonesia, seperti banyak yang diutarakan pengungsi Rohingya di Rudenim Makassar (sum, harian Fajar). Regulasi mengenai negara tujuan sepenuhnya menjadi hak para pengungsi dengan memperhatikan dokumen-dokumen setiap pengungsi yang diperiksa oleh UNHCR sebagai badan yang berwenang.

Namun semuanya itu tentunya butuh proses yang cukup lama, para pengungsi lebih menginginkan kehidupan yang layak di negara sendiri sebagai etnis yang diakui dengan cap warga negara. Atas dasar itulah seorang negarawan Indonesia yang dikenal sebagai Juru Damai yang handal yaitu, Ketusa Palang Marah Indonesia Jusuf Kalla mencoba untuk membangun komunikasi antara pengungsi etnis Rohingya dan pemerintah Myanmar.

Jusuf Kalla menyampaikan pandangan bahwa pilihan yang paling tepat adalah membiarkan masyarakat Rohingya tinggal di wilayahnya yang sekarang. Kalau negara-negara OKI mau membantu mereka, maka lebih baik membangunkan rumah dan lapangan kerja yang memadai di tempatnya yang sekarang. Atas dasar itu OKI kemudian meminta Pemerintah Myanmar untuk mengakui keberadaan masyarakat Rohingya. OKI harus menyampaikan bahwa organisasi itu akan membantu memperbaiki kehidupan masyarakat Rohingya agar mereka bisa mandiri dan tidak menjadi beban bagi lingkungannya.

Penyelesaian dengan ini merupakan cara yang terbaik dan yang dilakukan kepada mereka yang menghuni di Indonesia, penyelesaian ini dikenal dengan istilah reptariasi atau pemulangan ke negara asal. Salah satu yang harus ditempuh dalam penyelesaiaan ini tentunya memberikan jaminan kepada para pengungsi etnis Rohingya bahwa ketika mereka kembali ke Myanmar, maka etnis mereka tak akan ditindas lagi.

#SalamMerdeka

S.Maronie / @WarkopSija / 04.10pm 17 Maret 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Kontrol (Kriminologi)

Peradaban Islam Masa Daulah Utsmani

Teori Subculture (Kriminologi)