Pendekatan Multi Rezim Hukum (Multidoor System) Dalam Penanganan Tindak Pidana Perikanan & Kejahatan Terkait Lainnya
Pendekatan Multi Rezim
Hukum (Multidoor System) Dalam
Penanganan
Tindak Pidana Perikanan
& Kejahatan Terkait Lainnya
Pendahuluan
Pemerintah Indonesia yang sejak tahun 2014
memperkenalkan visi Indonesia sebagai negara maritim, hal ini kemudian membuat
isu penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan menjadi prioritas
pemerintah dengan melihat masih maraknya tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah perairan
Indonesia. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
(Ditjen PSDKP) sebagai salah unsur aparat
penegak hukum di bidang kelautan dan perikanan dalam kurun 5 (lima)
tahun terakhir telah menangani 854 kasus tindak pidana kelauatan dan perikanan sebagaimana
terlihat pada grafik dibawah.
Sumber: Data diolah Direktorat Penanganan Pelanggaran per 31 Oktober 2018
Naiknya grafik penanganan kasus yang dilaksanakan
oleh Ditjen PDKP merupakan implementasi kebijakan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana perikanan yang dicanangkan
oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak tahun 2015, hal ini memberikan
dampak yang luar biasa bagi kedaulatan, ekonomi dan lingkungan laut. Potensi
pendapatan negara dan potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang dulunya
dinikmati oleh nelayan asing dan badan usaha asing, kini lebih berpihak kepada
nelayan lokal dan tentunya akan menaruh harapan untuk menyelamatkan sumber daya
perikanan dan menjamin perikanan berkelanjutan.
Salah satu kebijakan KKP dalam melaksanakan pemberantasan tindak pidana
perikanan khususnya dalam hal penegakan hukum, yaitu penanganan kasus dilakukan
dengan pendekatan multi rezim hukum atau dikenal dengan istilah multidoor system yaitu pendekatan
penegakan hukum atas rangkaian/gabungan tindak pidana di bidang perikanan dan
tindak ppidana lainnya terkait perikanan yang mengandalkan berbagai peraturan
perundang-undangan. Strategi ini digunakan dengan melihat penegakan hukum di
bidang perikanan hanya menggunakan pendekatan tindak pidana perikanan ternyata
belum mampu menyelesaikan masalah kompleks tindak pidana perikanan. Kejahatan illegal fishing bukanlah kejahatan yang bersifat tunggal tetapi kejahatan
lintas sektor yang berpotensi besar selalu diikuti dengan tindak pidana lain
seperti perdagangan manusia, kerja paksa, pencucian uang, yang tentunya
memerlukan pendekatan tindak pidana lain selain tindak pidana perikanan. Dengan
pendekatan multidoor ini diharapkan
juga dapat meminimalisir peluang lolosnya pelaku kejahatan di bidang kelautan
dan perikanan karena terbatasnya jangkauan hukum bila hanya menerapkan satu rezim
undang-undang.
Pendekatan
Multidoor System
Pendekatan multidoor
system bermula sejak tahun 2012 yang diprakarsai oleh Unit Kerja Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), pendekatan ini kemudian
dituangkan dalam Nota Kesepahaman Bersama antara Kementerian Lingkungan Hidup,
Kementerian Kehutanan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Polri
serta Kejaksaan RI untuk menangani kasus terkait sumber daya alam dan
kehutanan.
Terkait dengan pendekatan multidoor system dalam pemberantasan tindak pidana perikanan, hal ini dilaksanakan berdasarkan hasil
analisa dan evaluasi Satgas 115[1] pada
tahun 2015 ditemukan 13 modus operandi kejahatan ilegal fishing di Indonesia, yaitu :
1.
pemalsuan dokumen kapal;
2.
kapal berbendera ganda dan pendaftaran ganda;
3.
penangkapan ikan tanpa izin / dokumen yang diperlukan;
4.
modifikasi kapal secara ilegal;
5.
tidak ada sertifikat kesehatan dan pernyataan ekspor);
6.
pelanggaran wilayah perikanan;
7.
menggunakan alat tangkap
yang dilarang;
8.
menggunakan Nakhoda dan Awak Kapal
Asing;
9.
tidak mengaktifkaan alat transmitter kapal (VMS);
10.
pengalihan muatan kapal secara ilegal
dalam laut (transhipment);
11.
pemalsuan buku catatan (logbook);
12.
pendaratan hasil tangkapan tidak sesuai dengan pelabuhan yang ditetapkan;
13.
ketidakpatuhan pemilik atau mitra dalam proses perikanan.
Berdasarkan
temuan Satgas 115 kejahatan yang terjadi pada praktik
perikanan ilegal di Indonesia
tidak saja tindak pidana
perikanan tetapi juga ditemukan jenis
tindak pidana yang berkaitan
dengan tindak pidana perikanan (Related Fisheries Crime). Terapat
9 jenis kejahatan lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana perikanan, yakni
:
1. transaksi bahan bakar mineral
(BBM) ilegal;
2. tindak pidana
keimigrasian;
3. tindak
pidana bea cukai;
4. tindak pidana
pelayaran
5. tindak pidana pencucian uang;
6. tindak
pidana tenaga kerja;
7. tindak pidana
perpajakan;
8. tindak
pidana korupsi; dan
9. perdagangan obat terlarang.
Sebagaimana diuraikan di atas, kejahatan illegal fishing terkait dengan tindak
pidana lainnya bilamana hanya menggunakan satu rezim hukum tunggal yaitu
Undang-Undang Perikanan (UU Perikanan) maka akan tidak efektif, untuk itu
diperlukan rezim undang-undang yang lain yang mengatur tindak pidana di atas,
antara lain untuk mencegah dan memberantas praktik transaksi BBM ilegal di laut
maka digunakan rezim UU Minyak dan Gas Bumi, untuk tindak pidana keimigrasian maka dapat digunakan UU Keimigrasian. Terhadap tindak pidana di bidang bea cukai termasuk
penyelundupan obat terlarang, penyelundupan satwa terlarang dapat digunakan UU Kepabeanan, UU
Narkotika, dan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Terhadap
tindak pidana pendaftaran kapal maka dapat dikenakan UU Pelayaran. Terhadap tindak pidana pencucian uang maka digunakan rezim UU Pencucian Uang. Terhadap tindak
pidana perdagangan orang maka
digunakan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang. Terhadap tindak
pidana perburuhan, maka dapat digunakan UU Ketenagakerjaan. Begitu juga pada
tindak pidana bidang perpajakan dan tindak pidana korupsi maka pelaku kejahatan
dapat dikejar dengan UU Perpajakan dan UU Pemberantasan Korupsi.
Dengan menerapkan multidoor
system aparat penegak hukum khususnya penyidik tindak pidana perikanan
(PPNS Perikanan, Penyidik Polri, dan Penyidik Perwira TNI AL) dituntut harus
memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dugaan tindak pidana lain dan
diperlukan juga strategi penyidikan dengan melakukan penyidikan secara pararel
(pemisahan berkas perkara antara tindak pidana perikanan dan tindak pidana
terkait lainnya) sesuai dengan wewenang penyidik agar terhindar dari dari nebis in idem dan juga untuk menembus
keterbatasan kewenangan penyidik perikanan. Tantangan lainnya yang akan
dihadapi bila menggunakan pendekatan multidoor
yaitu kompleksitas pembuktian, serta pengumpulan barang bukti dan investigasi
lebih bervariasi dan membutuhkan waktu relatif lebih lama. Diharapkan pula
dengan pendekatan multi rezim hukum akan menghindarkan disparitas tuntutan
pidana untuk perkara-perkara sejenis, menghindari peluang lolosnya pelaku
kejahatan, diterapkannya pertanggungjawaban korporasi, dan pengembalian
kerugian negara.
Kasus PT.
PBR & Group di Benjina, kasus KM. Dvon dan Triple di Bitung, dan kasus David Tan di Surabaya merupakan kasus yang
menerapkan multidoor system yang
ditangani oleh PPNS Perikanan Ditjen PSDKP.
Untuk kasus PT. PBR & Group di Benjina pada tahun 2015 ditemukan dugaan kuat melakukan perdagangan orang, penggunaan alat
tangkap terlarang, melakukan pengalih muatan ikan ditengah laut tanpa izin, dan
mempekerjakan tenaga kerja asing tanpa izin, untuk
perkara perdagangan orang telah dijatuhi hukuman pidana penjara 3 tahun dan
denda sebesar Rp. 160 juta kepada 8 terdakwa termasuk orang pengelola
perusahaan, sedangkan terkait kasus tindak pidana perikanan saat ini masih
dalam tahapan proses penyidikan. Untuk kasus KM. DVON dan KM. TRIPLE D di Bitung pada tahun 2016 merupakan
kapal perikanan yang diduga kuat sebagai kapal pumboat yang
dimiliki asing/dikendalikan WN Filipina, menggunakan ABK Asing berkebangsaan
Filipina dengan modus memalsukan KTP agar dapat menangkap ikan di Indonesia, elemen multidoors
pada kasus ini adanya pidana perikanan, pidana administrasi kependudukan, dan
pidana pemalsuan dokumen (pidana umum).
Sedankan kasus David Tan di Surabaya pada tahun 2015 ditemukan adanya penyelundupan lobster dari wilayah Indonesia ke
Singapore dan Vietnam dengan modus memalsukan dokumen kependudukan Indonesia
(David Tan merupakan WNA), namun memiliki KTP Indonesia, elemen multidoors
pada kasus ini adanya pidana karantina, pidana administrasi kependudukan, dan
pidana pemalsuan dokumen.
Sejalan dengan konsep multidoor
system maka pada tataran unsur penegak hukum tidak hanya melibatkan PPNS
Perikanan, Penyidik Polri, dan Penyidik Perwira TNI AL, tetapi melibatkan juga
aparat penegak hukum lainnya dari kementerian/lembaga terkait. Dalam UU
Perikanan pada Pasal 73 ayat (5) mengamanatkan dibentuknya forum koordinasi,
KKP sebagai mandatory UU Perikanan telah membentuk Forum Koordinasi Penanganan
Tindak Pidana Perikanan berdasarkan Permen KP Nomor 13 Tahun 2005 tentang Forum
Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perikanan di Bidang Perikanan, yang
kemudian diubah berdasarkan Permen KP Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan
Kedua Permen KP Nomor 13 Tahun 2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak
Pidana Perikanan di Bidang Perikanan.
Forum koordinasi sebagaimana dimaksud di atas
merupakan wadah koordinasi untuk memperlancar komunikasi serta
tukar menukar data, informasi, dan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka
efektifitas dan efisiensi penanganan dan/atau penyelesaian tindak pidana di
bidang perikanan secara terpadu, yang dimaksudkan dalam rangka optimalisasi
penanganan dan keberhasilan proses hukum perkara di bidang perikanan melalui
wadah kerja sama antar aparat penegak hukum. Kerja sama antar aparat penegak
hukum (penyidik, penuntut umum, dan hakim) memiliki peran penting dalam mecapai
maksud dan tujuan tersebut di atas mengingat sistem peradilan yang berlaku di
Indonesia yaitu Integrated Criminal
Justice System.
Adapun
fungsi forum koordinasi berdasarkan Pasal 5 Permen KP Nomor 13 Tahun
2005 sebagai berikut :
- Koordinasi kegiatan
penyidikan;
- Identifikasi, jenis, modus
operandi, volume/frekuensi, dan penyebaran praktik tindak pidana di bidang
perikanan;
- Penetapan jenis tindak pidana
perikanan yang diprioritaskan untuk di proses secara bertahap;
- Penyuluhan dan pembinaan
kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya tindak pidana perikanan;
- Identifikasi, pengukuran, dan
analisa signifikansi tindak pidana perikanan secara periodik;
- Perancangan bentuk-bentuk
koordinasi kegiatan-kegiatan pemberantasan tindak pidana perikanan;
- Perumusan dan pemutakhiran
strategi pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan;
- Pemantauan dan penyajian
laporan pelaksanaan pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan;
- Pengkajian dan evaluasi
efektifitas strategi pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan secara
berkelanjutan.
Pelaksanaan
tugas teknis anggota forum koordinasi dibantu oleh Tim Teknis Penanganan Tindak
Pidana di Bidang Perikanan yang dibentuk oleh Menteri Kelautan dan Perikanan
selaku Ketua Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perikanan, hal ini
berdasarkan Pasal 6 Permen KP Nomor 13/MEN/2005. Tim teknis tersebut terdiri
dari Pengarah, Tim Teknis Penanganan Perkara Tingkat Penyidikan dan Penuntutan,
Tim Teknis Penanganan Barang Bukti, dan Tim Teknis Penanganan Awak Kapal.
Pembentukan tim teknis ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor Kep. 04/MEN/2007 tentang Pembentukan Tim Teknis Penanganan
Tindak Pidana di Bidang Perikanan, tetapi masa kerja tim teknis ini telah
berakhir pada Tahun Anggaran 2007. Tim Teknis ini bertugas menyiapkan standar
operasional prosedur (SOP) untuk penanganan perkara tingkat penyidikan dan
penuntutan, SOP untuk penanganan barang bukti, SOP untuk penanganan awak kapal,
menyiapkan materi sebagai bahan koodinasi forum dalam melakukan kegiatan secara
periodik, serta memberikan masukan.
Keanggotaan Forum
Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan berasal
dari beberapa unsur kementerian/lembaga yang
mempunyai kewenangan penegakan hukum, yaitu Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Kepolisian RI, TNI-AL, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung,
Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan,
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan
Kementerian Luar Negeri. Selain dibentuk di tingkat pusat, forum koordinasi
juga dibentuk untuk tingkat provinsi dengan penanggungjawabnya kepala dinas
kelautan dan perikanan di setiap provinsi, saat ini dari 34 provinsi di
Indonesia telah terbentuk 33 Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di
Bidang Perikanan Tingkat Provinsi.
Kesimpulan
dan Saran
Penggunaan pendekatan multi rezim hukum dalam
penanganan tindak pidana perikanan dan tindak pidana terkait lainnya di bidang
perikanan untuk memberantas kejahatan illegal
fishing yang bersifat kompleks dan cenderung diikuti dengan kejahatan
lainnya merupakan terobosan hukum yang mendobrak penggunaan rezim hukum tunggal.
Sedangkan pada tataran penegak hukum akan melibatkan unsur dari berbagai
kementerian/lembaga.
Memaksimalkan pendekatan multi rezim hukum dapat dilakukan melalui wadah
Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan, tetapi dengan
melihat fenomena modus kejahatan illegal
fishing dan adanya kejahatan terkait lainnya seperti peredaran narkoba,
pencucian uang, dan korupsi maka diperlukan keterlibatan Badan Narkotikan
Nasional (BNN), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam wadah forum koordinasi.
Penelaah
Sherief
Maronie, SH. MH.
[1] Unit kerja yang dibentuk
melalui Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015 tentang Satuan Tugas
Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal yang dikomandoi oleh Menteri
Kelautan dan Perikanan, dengan melibatkan unsur Kejaksaan RI, TNI AL, Polri,
Bakamla, PPATK, BIN, Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri dan
Kementerian Perhubungan.
Komentar
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda?