Teori Konflik (Kriminologi)

Social Heritage

Pada dasarnya dekade tahun 1965-1975 merupakan masa kekacauan yang melanda masyarakat Amerika. Setelah berakhirnya periode optimisme (akhir 1950 sampai awal 1960-an), banyak orang di AS kecewa pada masyarakat mereka. Adanya kesuksesan gerakan hak-hak sipil berhasil memberi inspirasi, seperti kelompok wanita dan homoseksual yang mencari ciri-ciri mereka sendiri dan persamaan dalam kesempatan-kesempatan sosial. Kemudian, sejumlah demonstrasi muncul dalam rangka menentang perang Vietnam pada tahun 1965-1968. Semua peristiwa ini merupakan bagian suasana dari kalangan orang muda yang menanyakan nilai-nilai kelas menengah Amerika, model kehidupan orang tua mereka yang konvensional. Akhirnya, skandal politik watergate memecahkan bayangan keraguan sinisme mengenai moralitas dan integritas semua aspek dari pemerintah Amerika.

Intelectual Heritage

Pada hakikatnya, teori konflik merupakan cabang dari teori label. Pemikiran teori konflik berakar dari teori-teori sosial Jerman seperti Hegel, Karl Marx, Simmel dan Weber untuk memperoleh arah. Ilmuan sosial bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa waktu itu mulai menanyakantentang sosial dan struktur hukum mengenai label yang sudah ditolak pernyataan Richard Quinney (1965) dan Austin T. Turk(1964) diarahkan pada reaksi masyarakat (societal reaction). Menurut Bonger, pada awal abad ke-20 terjadi penciptaan teori kriminologi yang menggabungkan Marxis dan pendekatan psychoanalytic.

Teori-teori konflik pada umumnya memusatkan perhatiannya terhadap pengenalan dan penganalisian kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, penyebabnya, bentuknya, serta akibatnya menimbulkan perubahan sosial. Dapat dikatakan bahwa teori konflik merupakan teori terpenting saat kini, oleh karena penekanannya pada kenyataan sosial di tingkat struktur sosial dibandingkan di tingkat individual, antara pribadi atau budaya. Sehingga konflik yang terjadi antara warga Muslim dan warga Kristen di Maluku, ditengarai bukanlah cerminan kebencian pribadi mereka, melainkan sebagai cerminan ketidaksesuaian atau oposisi antara kepentingan-kepentingan mereka seperti yang ditentukan oleh posisi mereka dalam masing-masing kelompok agama.

Di antara para perintis teori Konflik, Karl Marx dipandang sebagai tokoh utama dan yang paling kontraversial yang menjelaskan sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap peningkatan perubahan secara revolusioner.

Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang Marx tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun yaitu antara lain adalah pengakuan terhadap struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial, merupakan sesuatu hal yang sangat penting.

Selanjutnya, pendorong penting terhadap bentuk konservatif teori konflik adalah Lewis Coser (1956) dan Ralf Dahrendorf (1958, 1959). Gagasan-gagasan mereka inilah yang memperluas sudut pandang di tahun 60-an. Sementara itu, meningkatnya radikalisme kaum akademis, secara umum menghidupkan lagi kepentingan teori Marx dan beberapa teoritisi mulai memakai teori Marxist terhadap kejahatan dan struktur legal. Dalam teori konflik, perilaku menyimpang didefinisikan oleh kelompok berkuasa dalam masyarakat untuk kepentingan mereka sendiri

Asumsi Dasar

Hakikatnya, asumsi dasar teori konflik berorientasi kepada aspek-aspek sebagai berikut :

  • konflik merupakan hal yang bersifat alamiah dalam masyarakat ;
  • pada tiap tingkat, masyarakat cenderung mengalami perubahan. Sehingga disetiap perubahan, peranan kekuasaan terhadap kelompok masyarakat lain terus terjadi ;
  • kompetisi untuk terjadinya perubahan selalu eksis ;
  • dalam kompetisi, penggunaan kekuasaan hukum dan penegakan hukum selalu menjadi alat dan mempunyai peranan penting dalam masyarakat.

Berangkat dari asumsi dasar di atas, perspektif konflik menganut prinsip-prinsip sebagai berikut :

  • masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda ;
  • terjadi perbedaan penilaian dalam kelompok-kelompok tersebut tentang baik dan buruk ;
  • konflik antara kelompok-kelompok tersebut mencerminkan kekuasaan politik ;
  • hukum dibuat untuk kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan politik ;
  • kepentingan utama dari pemegang kekuasaan politik untuk menegakkan hukum adalah menjaga dan memelihara kekuasaannya.

Berangkat dari asumsi dasar dan prinsip-prinsip tersebut di maka bentuk teori konflik dapat dibagi menjadi dua bagian, konflik konservatif dan konflik radikal.

1. Perspektif Konflik Konservatif

Konsep dasar dari teori konflik adalah kekuasaan dan penggunannya. Teori ini beranggapan bahwa konflik terjadi di antara kelompok-kelompok yang mencoba menggunakan kontrol atas suatu situasi. Teori konflik mempunyai asumsi bahwa siapa yang memiliki kekuasaan lebih tinggi dalam kelas sosial akan memiliki powerful members pada masyarakat. Dengan kekuasaannya tersebut mereka dapat mempengaruhi pembuatan keputusan, juga dapat memaksakan nilai-nilai terhadap kelas sosial yang lebih rendah.

Pada proses pembentukan hukum, kelas sosial yang lebih dominan dalam masyarakat akan menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi hukum tersebut dengan nilai-nilai mereka. Kelas sosial tersebut akan menjadi pemegang dan siapa yang menentang mereka akan menjadi target dari penegak hukum.

Pada aspek ini, teori labeling cocok dengan teori konflik untuk menjelaskan proses reaksi dimana kelas yang sedikit memiliki kekuasaan akan menjadi perhatian dari para penegak hukum. Teori konflik konservatif juga mengemukakan hubungan antara penggunaan kekuasaan dan pembentukan hukum. Pembentukan hukum merupakan perwujudan nilai-nilai para pembuatnya, hukum dalam menentukan perbuatan kriminalisasi lebih diarahkan kepada mereka yang berada di luar kelompok pemegang kekuasaan.

Dua tokoh teori konflik yang mengilustrasikan karakteristik bentuk konflik adalah George B. Vold dan Austin T. Vold. Keduanya melahirkan suatu teori dengan menekankan bahwa dalam suatu masyarakat terdapat kelompok alamiah dan berbagai kelompok kepentingan yang berlomba terhadap kelompok alamiah lain.

Austin T. Vold menilai, diantara kelompok tersebut akan terjadi konflik kepentingan dan berkompetisi. Austin T. Vold berbicara mengenai adanya konflik dalam hukum pidana, sebagai berikut : “...the whole process of law making, lawbreaking, and law enforcement directly refleas deep-seated andfundamental conflics between group interest and the more generalstruggles among group for control of the police of the state”. Akhirnya Austin T. Vold berpendapat bahwa sejak kelompok minoritas tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi proses legislatif, tingkah laku mereka akan dikategorikan sebagai perbuatan kriminal.

George B. George menganalisis mengenai konflik, kekuasaan dan kejahatan. Dalaman alisisnya, ia menyimpulkan dari beberapa premis dasar teori konflik, bahwa kejahatan merupakan produk kekuasaan politik dalam masyarakat yang heterogen. Menurut Austin T. Vold, persaingan kelompok-kelompok berkepentingan mempengaruhi pembuat peraturan untuk kepentingan kelompoknya. Hal ini bisa disebut sebagai refleksi konflik kelas terhadap proses politik tentang law making, law breaking and law enforcement. Perilaku kejahatan menjelaskan dalam hubungan ideologi konflik dimana konflik timbul, berakibat, sebagai akses dari kelompok minoritas dengan sedikit atau tanpa kekuasaan yang mempengaruhi perubahan dalam hukum.

Tokoh teori konflik lainnya, Austin T. Turkmengatakan bahwa ketertiban masyarakat merupakan hasil dari kekuasaan kelompok tertentu untuk mengontrol masyarakat itu sendiri. Kontrol ini adalah pemaksaan dari penempatan nilai-nilai ke dalam hukum dan kemudian adanya kekuasaan untuk menegakkan hukum.

Austin T. Turk memulai konflik dengan artikel yang disebutnya sebagai “the study of criminality asopposed to criminal behavior”(1964). Austin T. Turk menjelaskan bahwa kejahatan hanya dapat ditemukan hukum pidana/kriminal. la mencobauntuk mencari hubungan antara kejahatan dengan hukum pidana. Seseorang dapat dinyatakan sebagai penjahat dalam hubungan antara penguasa dan subyek.

Austin T. Turkkemudian menyatakan bahwa kejahatan merupakan status yang diperoleh penentang norma, yang diterima sebagai norma sosial. Konsep hubungan penguasa dengan subyekmerupakan suatu hubungan yang penting. Austin T. Turk melihat bahwa penguasa harus menghadapi fakta dalam kehidupan, yang biasanya memerlukan alat untuk menjalankan kekuasaannya.

Lebih lanjut, Austin T. Turk mengemukakan dua cara yang dipergunakan untuk mengontrol masyarakat. Pertama, penguasa menggunakan paksaan atau kekuatan fisik. Penguasa lebih banyak menggunakan paksaan agar hukum ditaati. Hal ini diperlukan karena mereka merasa kesulitan untuk mengontrol masyarakat. Bentuk kontrol yang kedua, lebih bersifat halus. Menurut mereka, hukum merupakan sesuatu yang penting. Karena itu terdapat dua tipe hukum, yaitu :

  1. Aturan dari para petugas tentang bentuk perilaku jahat beserta pidana yang dikenakan.
  2. Menetapkan aturan-aturan untuk memproses orang-orang melalui penilaian sistem hukum. Digunakannya proses hukum ini memperlihatkan para penguasa menggunakan kontrol secant halus

2. Perspektif Konflik Radikal

Teori konflik radikal memposisikan diri dari anarki politik menyambung Marxisme dan materialisme ekonomis menuju perbedaan nilai. Sangat sulit untuk menentukan pendekatan apa yang digunakan. Para tokoh teori ini adalah Camblis, Quinney, Gordon Bohm dan K. Mark. Semua versi dari tokoh-tokoh di atas menyesuaikan uraiannya terhadap pendapat K. Marx. Ketika K. Marx sangat sedikit menyinggung masalah kejahatan dan penjahat, beberapa tokoh radikal kriminologi menyesuaikan contoh-contoh umum masyarakat untuk menjelaskan mengenai kejahatan.

K. Marx melihat konflik dalam masyarakat disebabkan adanya hak manusia atas sumber-sumber tersebut, khususnya mengenai kekuasaan. Ketidaksamaan ini tercipta karena konflik kepentingan antara yang memiliki dan yang tidak memiliki kekuasaan. Dalam masyarakat industri, konflik akan timbul di antara para pekerja dan kaum pemilik modal. Para pekerja, yang merupakan kaum buruh, akan mengembangkan prinsip perebutan (struggle) dan mereka menganggap kedudukan sebagai pemilik modal dalam masyarakat merupakan hal yang sangat menarik perhatian.

Menurut teori konflik K.Marx, perilaku menyimpang didefinisikan oleh kelompok berkuasa dalam masyarakat untuk kepentingan mereka sendiri. Konflik merupakan :

  • fenomena yang alami/wajar ;
  • selalu terdapat dalam masyarakat ;
  • berdasarkan atas persepsi dan makna.

Konflik dalam masyarakat ditentukan oleh kelompok-kelompok, didasarkan atas kepentingan mereka dan persepsi terhadap konflik dan biasanya konflik kepentingan tercipta dalam proses pembuatan hukum. Menurut kaum radikal, terdapat dua hal yang menyebabkan kelompok, yakni perebutan kepentingan dan persepsi terhadap konflik. Biasanya, konflik kepentingan tercipta dalam proses pembuatan hukum. Pertama, mereka menganggap bahwa kelompoknya merupakan alat dari kaum rulling class. Pengertian kejahatan dalam hukum merupakan refleksi pada konsep kapitalisme. Sedangkan prilaku rulling class secara umum tidak ditempatkan di bawah hukum pidana. Kedua, kaum radikal melihat semua kejahatan sebagai hasil perebutan kelompok yang merupakan pencerminan dari individualisme dan kompetisi.

Pada akhir pembahasan mengenai konflik radikal, Richard Quinny (1977) dan Steven Spitze (1975) membahas berlebihnya jumlah buruh sebagai suatu permasalahan dalam masyarakat kapitalis. Berlebihnya buruh akan menyebabkan gaji rendah, tetapi berlebihnya jumlah buruh yang sangat besar akan menimbulkan permasalahan.

Selanjutnya, Steven Spitzer mengemukakan lima tipe akibat berlebihnya jumlah buruh yang dikatakan sebagai population problem, yaitu :

  1. orang miskin akan mencuri dari orang kaya ;
  2. mereka akan menolak untuk bekerja ;
  3. mereka tetap menggunakan obat bius ;
  4. mereka menolak untuk sekolah atau tidak percaya terhadap yangdiperoleh dari kehidupan keluarga ;
  5. mereka akan mengusulkan suatu masyarakat yang nonkapitalis."

Beberapa tokoh juga mengemukakan pendapat lain tentang teori konflik. Joseph R. Gusfield's menjelaskan mengenai “Temperance movement.” Menurut Gusfield's produksi, penjualan dan minuman keras masih didominasi kelompok yang berkepentingan tetapi bukan masalah moralitas. Joseph R. Gusfield's memperhatikan amandemen ke-18 dimana,“... undang-undang larangan perdagangan minuman keras merupakan simbol kemenangan dari kelas menengah pedesaan melawan kaum imigran.” Alexander Liazos menjelaskan mengenai peranan kekuasaan dalam menentukan defiisi kejahatan.

Kelompok Konflik

Adanya perbedaan diantara masing-masing individu, dapat menyebabkan terjadinya konflik, baik perbedaan pendidikan, pemikiran, persepsi dan kepentingan. Setiap detik dalam hidup kita banyak sekali konflik yang timbul. Mulai dari bangun tidur sampai kita menutup matam untuk tidur. Dalam pandangan terhadap konflik in I dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :

  1. Penghindar Konflik
  2. Menghadapi Konflik
  3. Pembuat Konflik

Penghindar Konflik, adalah kelompok tradisional yang selalu berusaha untuk menghindari konflik yang ada. Alasan untuk menghindari konflik ini bermacam-macam, di antaranya adalah merasa capek hati dan perasaan untuk terombang-ambing dalam gejolak perasaan. Anda mungkin termasuk dalam kelompok ini, jangan kecewa, walaupun kelompok ini merupakan kelompok yang selalu terbuang, tetapi kelompok ini merupakan kelompok yang jumlahnya cukup besar dibandingkan kelompok yang lain. Oleh karen itu banyak kursus atau seminar motivasi laku dikunjungi, karena bagi penghidnar konflik, terjadinya konflik menyebabkan turunnya semangat dan motivasi diri.

Menghadapi Konflik, jika ada konflik yang terjadi, maka kelompok ini cenderung untuk menghadapinya dan mengikuti irama konflik yang terjadi. Kelompok ini menghadapiya dengan tenang, bahkan sekali-sekali menikmati konflik yang terjadi. Jika anda masuk kelompok ini bersyukurlah, karena bagi anda konflik tidak mengganggu, malah kadang dapat menjadi motivasi diri.

Pembuat Konflik, walaupun kelompok ini sering mendapat gelar yang tidak sedap sebagai “tukang kompor” ataupun provokator, tetapi sebenarnya menurut pendapat saya, kelompok ini adalah yang menjadi pemimpin masa depan karena dengan keahliannya dalam membuat dan memanage konflik yang konflik yang terjadi. Orang yang memiliki kecendurangan ini bisa membuat berkembangnya organisasi, baik organisasi perusahaan ataupun organisasi bentuk lainnya. Tentu saja dengan catatan bahwa sang pembuat konflik tersebut memiliki keinginan atau maksud untuk meningkatkan kemampuan diri dan organisasinya, bukan malah sebaliknya menghancurkannya.

Level Konflik

Tingkatan konflik agar bisa merespon konflik secara tepat, kita perlu memahami level tingkatan konflik. Ada konflik yang tingkatannya individual ada konflik yang tingkatannya kelembagaan.

Konflik Tingkat Individu dalam kategori ini terdapat dua kategori konflik, yitu (1) konflik dalam diri individu yang bersangkutan (2) konflik antar individu. Konflik dalam diri sendiri terjadi dia mempunyai dua atau lebih kepentingan yang sifatnya bertentangan. Ketika kepentingan-kepentingan itu sama menarik, atau sama-sama tidak menarik, namun dia harus menentukan pilihan, maka terjadilah konflik dalam individu yang bersangkutan. Konflik antar individu terjadi ketika dua individu mempunyai kepentingan yang sama terhadap satu hal, dan mereka sama-sama tidak mau mengalah. Bisa juga konflik terjadi karena perbedaan pandangan atau pendapat , dan masing-masing menganggap pendapatnyalah yang paling benar. Inilah yang menimbulkan konflik antar individu.

Konflik Tingkat Lembaga, dalam hal ini bisa dua atau leb Ih lembaga yang terlibat. Pada tingkat lembaga ini ada dua tingkatan konflik: (1) konflik dalam lembaga (2) konflik antar lembaga. Konflik dalam lembaga terjadi hampir sama dengan konflik antar individu, tetapi sifatnya lebih kompleks. Yang membedakan adalah banyaknya individu yang terlibat dalam konflik. Anggota-anggota dalam suatu lembag saling bertentangan karena mempunyai kepentingan yang sama terhadap satu hal dan tak ada yang mau mengalah, atau mereka mempunyai perbedaan pendapat tetapi masing-masing menganggap pendapatnya yang paling benar.

Dalam posisinya sebagai anggota suatu kelompok, orang akan cenderung memilah-milah diri mereka kedalam dua kategori : “kita” (ingroup) dan “mereka” (outgroup). Ingroup adalah mereka yang menjadi anggota lembaga, dan outgroup adalah mereka yang berada di luar ingroup. Konflik antar lembaga muncul ketika ada perbedaan paham antara dua ini, jika kita amati dinamika suatu lembaga, kita bisa menemukan adanya dalam tiga tipe konflik. Adapun tipe-tipe konflik :

  1. Konflik Penugasan, dalam hal ini konflik terjadi karena perbedaan pendapat dalam hal bagaimana cara menyelesaikan suatu tugas. Sebagai contoh, ada perbedaan pendapat dalam suatu kelompok kerja bagaimana cara kampanye yang efektif, apakah melalui radio atau televisi.
  2. Konflik Emosional, melibatkan hubungan interpretasi antara anggota yang bekerja dalam satu kelompok. Dalam hal ini emosi negatig, perasaaan tidak suka terhadap orang lain menjadi pemicu konflik.
  3. Konflik Administratif , konflik ini terjadi manakala terjadi ketidaksetujuan tentang cara merumuskan kebijakan. Konflik ini meliputi ketidak sepakatan mengenai tugas dan wewenang yang dimiliki dari anggota kelompok.

Banyak hal yang dapat menjadi penyebab konflik antar lembaga, keterbatasan sumber daya, perbedaan pandangan, atau tujuan yang tidak sejalan. Dalam konflik antar lembaga dapat berdampak pada persepsi dan tingkah laku masyarakat.

Anatomi Konflik

Anatomi konflik pada tingkatan apapun konflik yang terjadi, pada dasarnya konflik melibatkan unsur-unsur daya yang khas. Kemunculannya dipicu oleh suatu kejadian penting. Sejalan dengan hal tersebut diatas, Karen Jehn mengurai anatomi konflik dengan menanyakan : (1) apa yang memicu konflik (2) siapa saja yang terlibat konflik (3) apa isu yang disengketakan (4) bagaimana strategi yang dipakai masing-masing pihak yang berkonflik (5) konflik meluas/mereda (6) apa konsekuensi dari konflik yang terjadi.

Dalam rangka menganalisa konflik, khususnya untuk keperluan menangani dan mengelola, beberapa pertanyaan berikut perlu diperhatikan :

  1. apa yang memicu konflik ? pemicu konflik merupakan kejadian yang menjadi “pembuka” suatu konflik dan menjadikan konflik bersifat terbuka
  2. siapa pihak-pihak yang terlibat ? pihak-pihak yang terlibat terdiri dari pihak yang terlibat secara langsung dalam konflik, pihak yang memberikan dukungan atau konstituen.
  3. Pokok sengketa dan isu konflik ? isu konflik merupakan hal yang menjadi akar masalah dari konflik tersebut contoh : perebutan tanah, perebutan jabatan.
  4. Apa saja strategi yang digunakan dalam berkonflik ? strategi yang dimaksudkan disini adalah kegiatan, taktik apa saja yang dilakukan pihak berkonflikuntuk menyerang pihak lainnya. Bisa dengan menggunakan demonstrasi, penyebaran issu, dan lain-lainnya.
  5. Bagaimana konflik meluas sehingga melibatkan lebih banyak pihak, wilayah yang lebih luas, dan issu yang lebih banyak ? dapat terjadi suatu konflik yang pada awalnya hanya melibatkan dua pihak dan satu issu, bisa berkembang sehingga melibatkan lebih banyak pihak dan bertambah bayak issu yang dipertentangkan.dan lainnya.
  6. Apa hasil dan akibatnya/dampak yang ditimbulkan konflik? Hasil dan akibat yang ditimbulkan bisa bersifat fisik seperti pembakaran rumah, korban tewas, kerusakan lingkungan, maupun akibat yang bersifat non fisik seperti streotip, trauma, pengelompokan.

*sebagai bahan kuliah

S.Maronie / 25 Mei 2012 / @K10CyberHouse

Komentar

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda?

Postingan populer dari blog ini

Teori Kontrol (Kriminologi)

Peradaban Islam Masa Daulah Utsmani

Teori Subculture (Kriminologi)