UNCAC dan Pidana Mati Tipikor ; Sebuah Dilema

“Bulan haram dengan bulan haram, dan sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada allah beserta orang-orang yang bertawa” (Al-Baqarah ayat 194)”

Penggalan ayat diatas menujukkan diakuinya hukuman mati dalam dunia Islam, suatu hal yang kontraversi di dunia hukum karena dianggap tidak sejalan dengan semangat Hak Asasi Manusia, terlebih lagi saat ini adanya wacana penghapusan pidana mati dalam Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM memiliki alasan soal wacana penghapusan pasal hukuman mati dalam RUU Tipikor. Pasal pidana mati tersebut dianggap menghalangi upaya pengembalian uang hasil tindak pidana korupsi yang disimpan di luar negeri. Menurut Menteri Hukum dan HAM RI, Patrialis Akbar, dalam pasal hukuman mati yang masih ada di dalam UU Tipikor saat ini diangap tidak sejalan dengan undang-undang PBB tentang pemberantasan korupsi (United Nations Convention Against Corruption). UU Tipikor milik Indonesia harus meratifikasi atau menyesuaikan dengan UNCAC tersebut karena UNCAC merupakan cerminan dari undang-undang yang berlaku di seluruh dunia.

UNCAC yang merupakan hasil dari konvensi PBB dilaksanakan pada tahun 2003, mengakomodasi hal ini pemerintah baru dapat meratifikasi tahun 2006 melalui UU Nomor 7 Tahun 2006. Dalam hubungannya dengan pidana mati UNCAC merupakan sebuah konvensi yang dijadikan dasar sebagian besar pakar untuk menghapus ancaman pidana mati dalam tindak pidana korupsi. Hal ini didasarkan karena dalam konsiderannya UNCAC menitik beratkan pada kerjasama internasional, yang tentu saja dengan adanya kontraversi pidana mati maka kerjasama internasional akan terhambat.

Tingginya penolakan dunia internasional terhadap pidana mati tentunya menjadi tanda tanya besar bagi kaum awam yang mendukung pidana mati, Thomas R. Eddlam (dalam artikelnya berjudul: Ten Anti-Death Penalty Fallacies) menuliskan bahwa gugatan hukuman mati bersandar pada mitos, mis-informasi dan emosionalisme yang salah penemapatan. Dalam waktu yang bersamaan, ratusan artikel dan puluhan buku terbit yang isinya mendukung hukuman mati, dan bermaksud untuk meninjau beberapa dari mis-informasi dan penalaran keliru dari kaum “abolisionis” (penentang hukuman mati). Di antaranya adalah karya David Andersson berjudul The Death Penalty: A Defence, artikel dari Evan Ghar berjudul Time for To Execute a Murder (saatnya untuk mengeksekusi sang pembunuh), artikel karya Robert W. Lee berjudul Deserving to Die (Yang Pantas Untuk Mati), dan lain-lain. Belum lagi buku-buku dan tulisan-tulisan pakar Hukum Islam, yang tentu saja mendukung hukuman mati karena diyakini sebagai perintah Allah SWT untuk kejahatan-kejahatan berat.

Menurut David Anderson, “terdapat beberapa kata yang sering muncul ketika kita membela (mempertahankan) hukuman mati, yaitu keadilan dan martabat manusia”. Kedua realitas ini dianggap sebagai penopang dalam mendukung hukuman mati. Keadilan merupakan pondasi utama dalam sistem hukum, ketika hukuman mati dibahas, aspek keadilan harus dibiarkan di latar muka yang pertama dan terpenting. Sedangkan martabat manusia merupakan suatu hal yang tidak dapat dilanggar dengan demikian harus mendapatkan penghormatan tertinggi. Martabat tidak penting bagi orang yang melukai sesamanya tetapi terpenting bagi para korban kejahatan dan kerabat-kerabatnya.

Dalam konteks ke-Indonesiaan tindak pidana korupsi termasuk extra ordaniry crime (kejahatan yang luar biasa) yang telah merusak sendi-sendi kehidupan bangsa tentunya hukumannya juga haruslah yang luar biasa yaitu dengan mencatumkan pidana mati dalam UU Tipikor (UU No. 31/1999).

Pidana mati dalam UU Tipikor diatur dalam Pasal 2 ayat (2) apabila korupsi yang dilakukan dalam “keadaan tertentu” dapat dijatuhi hukuman mati. Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) menentukan keadaan tertentu sebagai pemberat pidana apabila korupsi dilakukan terhadap dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan (1) keadaan bahaya, (2) bencana alam nasional, (3) akibat kerusuhan yang meluas, (4) krisis ekonomi dan moneter, dan (5) pengulangan tindak pidana korupsi.

Pelemahan Pasal 2 ayat (2) ini tidak saja menghapuskan pidana mati, tapi dengan menghilangkan pidana mati, tentunya menunrunkan sifat tindak pidana koropusi sebagai suatu kejahatan yang luar biasa, meskipun dalam kenyatannya penerapan terhadap pasal ini tidak pernah tersentuh.

Dengan pencatuman ancaman pidana mati dalam UU Tipikor, korupsi masih menjadi raja di negeri ini, bagaimana ketika pidana mati dihapuskan dengan alasan mentaati UNCAC tentunya akan membuka keran bagi para koruptor. Mari coba kita kaji lebih mendalam konvesi UNCAC dan mari kita renungkan bila pidana mati tipikor dihapuskan….

S.Maronie
06 Mei 2011
09.18 pm
@KopiTiam

Komentar

  1. saya mahasiswa dari Jurusan Hukum
    Artikel yang sangat menarik, bisa buat referensi ni ..
    terimakasih ya infonya :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda?

Postingan populer dari blog ini

Teori Kontrol (Kriminologi)

Teori Subculture (Kriminologi)

Peradaban Islam Masa Daulah Utsmani