Penerapan Ketentuan Pelepasan Segera (Prompt Release) Kapal dan Awak Kapal Pelaku lllegal Fishing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Tulisan ini sebagian dikutip dari paparan narasumber dan Term of Reference (ToR) kegiatan Focus Group Discussion Penerapan Ketentuan Pelepasan Segera Kapal dan Awak Kapal Pelaku Illegal Fishng di ZEE Indonesia yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengwasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada hari Kamis tanggal 10 September 2020 di Hotel Hyatt Yogyakarta. ToR pada kegiatan dimaksud awalnya disusun oleh saya sendiri bersama Ratih Seftiariski kemudian diubah oleh tim pelaksana lainnya. Untuk itu kutipan dari ToR tidak secara utuh masuk dalam tulisan ini.
Direktorat Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP mencatat bahwa dari
tahun 2015 sampai dengan 6 Agustus 2020 telah terjadi kegiatan IUU Fishing yang
dilakukan oleh 368 kapal berbendera asing, diantaranya Vietnam, Thailand,
Filipina, China, Timor Leste, Taiwan dan Panama. Beberapa insiden konflik
terjadi saat proses penangkapan kapal-kapal ikan asing di beberapa wilayah
perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga. Sejumlah praktek illegal fishing dan insiden dimaksud
memberikan pengaruh terhadap kondisi keamanan di perairan. Oleh karenanya,
diperlukan langkah-langkah strategis, yang sesuai dengan peraturan perundangan
nasional maupun aturan internasional tanpa mengabaikan kepentingan penegakan
hukum dalam rangka menerapkan praktek perikanan yang bertanggungjawab dan
keberlanjutan sumber daya.
Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU Nomor 17 Tahun
1985. Sejak saat itu, Indonesia resmi tunduk pada rezim UNCLOS 1982. Sebagai
negara pantai, penegakan IUU Fishing
berlangsung di wilayah perairan kedaulatan Indonesia dan wilayah dengan hak
berdaulat, yaitu Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Sebagaimana ditetapkan
pada Pasal 73 UNCLOS 1982, di wilayah ZEE atau wilayah dengan hak berdaulat, negara
pantai berhak melakukan pemeriksaan diatas kapal, menangkap dan melakukan
proses proses pengadilan atas kapal tersebut dan memberitahu negara bendera
kapal. Namun awak kapal harus segera dibebaskan dengan penyerahan uang jaminan
yang layak (Reasonable Bond) kepada negara pantai dan terhadap awak kapal tersebut tidak
diperkenankan dikenakan hukuman kurungan badan. Prosedur pelepasan dimaksud
selanjutnya diatur pada Pasal 292 UNCLOS bahwa hanya negara bendera kapal yang
dapat mengajukan permohonan prompt
release. Selain menetapkan mengenai persyaratan uang jaminan atau jaminan
keuangan lainnya harus “layak/reasonable” juga memberikan
petunjuk bila ditemukan adanya perselisihan dalam penetapan uang jaminan
diantara kedua negara maka dapat mengajukan ke mahkamah internasional. Prosedur
pelepasan juga harus segera diproses setelah diterima permohonannya tanpa
mengurangi kepentingan terhadap perkara itu sendiri di hadapan forum domestik
atas kapal dan awaknya.
Hukum nasional Indonesia juga mengatur mengenai permohonan
pembebasan kapal dan awak kapal negara asing pelaku tindak pidana di wilayah
ZEEI. Pasal 104 UU Perikanan menetapkan pengajuan permohonan pembebasan kapal
dan awak kapal negara asing dengan penyerahan uang jaminan yang layak dapat
dilakukan setiap saat sebelum ada keputusan dari pengadilan perikanan dan
ditetapkan oleh pengadilan perikanan. Sementara
aturan pada ayat (2) menetapkan bahwa benda dan/atau alat yang
dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat
dirampas untuk negara. Penjelasan UU Perikanan atas “sejumlah uang jaminan yang layak”
adalah penetapan besar uang jaminan yang ditentukan berdasarkan harga kapal,
alat perlengkapan kapal dan hasil dari kegiatannya, ditambah besarnya jumlah
denda maksimum. Terhadap “benda dan/atau alat” dijelaskan,
antara lain sebagai alat penangkapan ikan, ikan
tangkapan, kapal yang digunakan untuk menangkap ikan dan/atau mengangkut ikan,
dan lain-lain.
Prompt
release atau pelepasan segera kapal dan awak kapal pelaku illegal
fishing di Indonesia
belum pernah diterapkan dikarenakan hingga kini belum pernah ada negara yang
mengajukan permohonan tersebut. Sebagaimana hal dimaksud juga diatur dalam
hukum nasional Indonesia UU Perikanan, Indonesia berpeluang untuk mendapatkan reasonable bond dan dapat menjadi solusi
terhadap penanganan pelanggaran dari kapal asing yang melakukan praktek IUU Fishing di area ZEEI. Pertemuan Rapat
Koordinasi Teknis Penanganan Tindak Pidana Perikanan, tanggal 27 – 30 Juli di
Serpong mengemukakan bahwasanya adanya kesesuaian antara aturan Internasional dan
hukum nasional sehingga memungkinkan adanya penerapan Prompt Release atau pelepasan segera. Namun perlu adanya kesepahaman persepsi dan pengaturan lebih
lanjut terhadap beberapa dilema yang dapat menjadi kendala dalam penerapan penanganan
hukum selanjutnya.
Beberapa dilema terhadap penerapan aturan UNCLOS diantaranya tidak
diberikan rincian terhadap nilai jaminan yang dikategorikan sebagai layak/reasonable. Kasus Volga dan Hoshinmaru
merupakan beberapa contoh kasus, dimana Mahkamah Hukum Laut Internasional
(ITLOS) menetapkan bahwa nilai jaminan yang layak meliputi nilai
kapal, bahan bakar, pelumas dan peralatan penangkap ikan. Terhadap nilai
jaminan terhadap tindak pidana pelaku/awak kapal asing dan potensi jaminan atas
pelanggaran lainnya pada kedua kasus tersebut diputuskan sebagai nilai jaminan
yang unreasonable.
UU Perikanan mengatur pelanggaran IUU Fishing sebagai tindak pidana bukan sekedar permasalahan
manajemen pengelolaan yang bersifat administratif. Oleh karenanya, diperlukan
justifikasi terhadap beberapa hal penting secara komprehensif, diantaranya (1)
keberlanjutan proses hukum atas kasus pidana terhadap kapal dan awak kapal
berbendera asing setelah bond/jaminan tersebut ditetapkan dan dibayarkan; (2)
keberlanjutan kasus penyidikan dengan tidak adanya pelaku untuk diperiksa pada
tahap penyidikan dan/atau tahapan selanjutnya karena pelepasan pelaku sebagai
dampak prompt release terhadap
keberadaan awak kapal asing; (3) dampak pembayaran jaminan, yaitu pelepasan
barang bukti berupa kapal perikanan, bila keputusan pengadilan dinyatakan
barang dirampas untuk negara atau dimusnahkan; (4) dampak jaminan terhadap awak
kapal asing bila dalam keputusan pengadilan pelaku ditetapkan bersalah dan
diwajibkan membayarkan sejumlah denda sementara beberapa kasus yang ditetapkan
ITLOS, jaminan terhadap pelaku dinilai unreasonable.
Secara administratif, beberapa aturan pelaksanaan, yaitu antara lain (1)
mekanisme permohonan pembebasan; (2) mekanisme penetapan uang jaminan; dan
juga (3) lembaga penilai besaran nilai
jaminan belum teridentifikasi secara jelas. Secara hubungan internasional,
dibutuhkan kejelasan terhadap (1) kewajaran bila Indonesia memberikan penawaran
prompt release secara aktif melalui
notice, sesuai pasal 73 ayat (4) UNCLOS dan (2) tanggung jawan negara bendera
terhadap dampak prompt release bila keputusan pengadilan menetapkan bahwa awak
kapal dikenakan hukuman denda dan barang bukti berupa kapal dirampas untuk negara
atau dimusnahkan.
Beberapa permasalahan yang dikemukakan
di atas, sebanarnya hal yang paling utama adalah masih terdapat keragu-raguan dan perbedaan penafsiran tentang pelaksanaan
mekanisme prompt release. Terkait
perbedaan penafsiran, setidaknya terdapat 2 (dua) pendapat yaitu:
- Mekanisme prompt release tidak
menghentikan proses penyidikan dan penuntutan pidana yang sedang atau akan dilaksanakan
karena kata yang digunakan dalam Pasal 104 ayat (1) adalah jaminan sehingga
artinya proses perkara tetap berlanjut; atau
- Dengan dilaksanakan
mekanisme prompt release proses
penyidikan dan penuntutan pidana yang sedang atau akan dilaksanakan harus
dihentikan untuk menciptakan kepastian hukum.
Perbedaan pendapat ini bukannya tidak
beralasan, dalam diskusi akademis internasional dapat kita jumpai dua pendapat
yaitu pendapat yang mendukung implementasi prompt
release dengan argumentasi bahwa mekanisme ini merupakan solusi terbaik (win win solution) bagi kepentingan
negara pantai yang menghendaki sanksi dan kepentingan negara bendera yang
menghendaki agar kapal dan awak kapal dapat
segera dilepaskan. Terlebih didukung dengan argumentasi bahwa ZEE merupakan
wilayah laut lepas dimana Negara pantai hanya memiliki hak eksklusif, dan bukan
hak absolut untuk berdaulat. Di sisi lain ada pendapat dari kalangan akademisi
yang tidak setuju dengan ketentuan prompt
release dengan alasan ketentuan ini melemahkan kewenangan dan proses
penegakan hukum terhadap pelaku illegal
fishing di ZEE.
Dari kedua pendapat tersebut tidak heran
kalau pada akhirnya mengakibatkan penafsiran dan implementasi yang berbeda-beda
di beberapa Negara. Sebagai contoh Prancis, Rusia, dan Brazil masih menerapkan
pertanggungjawaban pidana terkait illegal fishing di ZEE, sedangkan Amerika
Serikat dan Kanada telah menerapkan penyelesaian pertanggungjawaban kerugian (civil liability) dalam jenis kasus yang
sama.[1]
Indonesia perlu mengantisipasi pembangunan
sektor perikanan yang sedang gencar dilaksanakan oleh Negara tetangga seperti
Thailand dan Vietnam yang secara lekat memperoleh asistensi dari Uni Eropa.
Pembangunan tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa dikemudian hari, Thailand
dan Vietnam akan mengajukan gugatan kepada ITLOS apabila Indonesia masih gagap
dalam menerapkan ketentuan prompt release
terkait kapal-kapal kedua Negara tersebut yang tertangkap oleh aparat Indonesia
di ZEEI.
Ketentuan terkait prompt release dalam Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan dan Angka 5 SEMA No. 3 Tahun 2007 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan masih dapat
dibaca sebagai suatu proses pidana yang tetap berlanjut. Hal ini tentu akan
menimbulkan ketidakpastian hukum dan kesulitan dalam implementasinya. Salah
satunya adalah untuk menghadirkan kembali para tersangka dan barang bukti yang
notabene sudah keluar wilayah Indonesia.
Ketentuan terkait prompt release dalam Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan dan Angka 5 SEMA No. 3 Tahun 2007 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan masih dapat
dibaca sebagai suatu proses pidana yang tetap berlanjut. Hal ini tentu akan
menimbulkan ketidakpastian hukum dan kesulitan dalam implementasinya. Salah
satunya adalah untuk menghadirkan kembali para tersangka dan barang bukti yang
notabene sudah keluar wilayah Indonesia.
Di satu sisi, selama ini penegakan hukum
terhadap kapal ikan asing yang melakukan illegal
fishing di ZEEI cenderung kurang efektif dan efisien dikarenakan secara
fakta dari sanksi pidana denda yang diputuskan oleh pengadilan, sangat kecil
sekali yang dibayarkan oleh pelaku yang notabene hanya merupakan
nelayan/pekerja. Kondisi ini diperburuk dengan tidak dibolehkannya pengenaan
sanksi badan berupa penjara maupun kurungan pengganti denda. Pun apabila sanksi
penjara/kurungan pengganti denda dibolehkan, bukan berarti akan meningkatkan
efektifitas dari proses hukum pidana tersebut karena denda tetap tidak
dibayarkan dan negara malah harus membiayai makan dan kebutuhan para terpidana
asing tersebut selama dalam penjara/kurungan.
Tidak hanya sampai di situ, permasalahan dan
beban bagi anggaran Negara juga ditimbulkan dari biaya perawatan kapal ikan
asing pelaku illegal fishing selama
menjadi barang bukti. Kemudian, setelah diperoleh putusan yang menyatakan
kapal-kapal tersebut dirampas untuk Negara, beban bagi anggaran Negara juga
masih akan sangat banyak ditimbulkan dari upaya eksekusi berupa
penenggelaman/pemusnahan, atau malah menimbulkan permasalahan baru terkait
diskursus apakah kapal-kapal tersebut benar-benar akan membawa manfaat apabila
dihibahkan atau justru akan kembali kepada pemilik semula.
Penggunaan istilah “jaminan” sangat berperan
besar untuk ditafsirkan bahwa proses hukum pidana tetap terus berlanjut. Padahal
dari beberapa putusan the International
Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) Negara pantai wajib melepaskan
kapal dan crewnya segera setelah “reasonable
bond” yang ditetapkan oleh ITLOS
dibayarkan. Hal ini mendorong beberapa akademisi untuk
menerjemahkan istilah “bond” dalam
konteks prompt release dengan istilah
kompensasi. Para akademisi tersebut berpendapat bahwa terkait mekanisme prompt release, ITLOS telah mengubah
penerapan tanggung jawab pidana (criminal
liability) menjadi tanggung jawab kerugian (civil liability).[2]
Berdasarkan kondisi tersebut di atas,
mekanisme prompt release di Indonesia
harus dipastikan tidak kemudian menciptakan masalah baru berupa ketidakpastian
hukum. Dalam rangka pelaksanaan mekanisme prompt
release yang menciptakan kepastian hukum dan mendatangkan manfaat yang
lebih besar bagi Indonesia, perlu digali kemungkinan untuk memandang dan
menyepakati bahwa mekanisme prompt
release merupakan penyelesaian perkara untuk mengganti kerugian akibat
tindakan illegal fishing yang
dilakukan oleh kapal asing.
Dalam rangka menggali kemungkinan tersebut,
diperlukan pendapat ahli dan praktisi yang berkompeten di bidang Hukum
Internasional, Hukum Laut Internasional, Hukum Pertanggungjawaban ganti
kerugian dan Hukum Pidana untuk
dapat memberikan wawasan dan pandangan serta penjabaran terhadap
langkah-langkah selanjutnya untuk penerapan
ketentuan pelepasan segera kapal dan awak kapal pelaku illegal fishing di
zona ekonomi ekslusif indonesia (prompt release).
Padangan Narasumber pada saat Pelaksanaan FGD Prompt Release
Prof. Rokhmin Dahuri
(Judul Paparan : Potensi Pemanafaatan Hasil Prompt Release Bagi Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perkanan)
- Dengan banyaknya jumlah Kapal Ikan Asing (KIA) yang melakukan IUU fishing dan tertangkap di wilayah ZEEI (lebih dari 50 KIA per tahun), terutama KIA asal Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Thailand, Indonesia berpotensi memperoleh uang jaminan yang layak (Reasonable Bond) dari negara-negara tersebut.
- Besaran reasonable bond yang ditetapkan harus memperhitungkan: (1) nilai jual ikan hasil IUU fishing; (2) nilai harga kapal; (3) nilai bahan bakar dan pelumas; (4) nilai peralatan penangkap ikan; serta (5) denda bagi nakhoda/pemilik.
- Uang hasil dari bond dapat dianggap sebagai PNBP dari sektor KP, yang 50% dapat digunakan langsung untuk peningkatan kesejahteraan nelayan (kapal, alat tangkap, dan DIKLATLUH) dan kesejahteraan aparat penegak hukum.
Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., PH.D.
(Judul Paparan : Prompt Release Dalam Perspektif Hukum Internasional)
Apa yang dimaksud dengan bond or other security
- Menurut Black’s Law Dictionary maka yang dimaksud Bond salah satunya adalah asigned promise to pay an amount to do something on a date
- Sementara Security salah satunya adalah assurance
- Dalam hukum yang berlaku di Amerika Serikat ada istilah Bail yang mungkin dapat diartikan mirip dengan Bond atau Security
- Bail menurut Findlaw adalah:
- In some cases, a written promise to appear in court isn’t enough, and the courtwill want a financial guarantee that you will appear in court.
- Bail is a process by which you pay a set amount of money to obtain your release from police custody. As part of your release, you promise to appear in court for all of your scheduled criminal proceedings
- If you show up to court as promised, the bail amount will be returned. If not, you will be subject to arrest and you will forfeit the bail amount.
Konteks Prompt Release di Indonesia bagi Kapal Berbendera
Asing
- Bond or other security dimaknai dalam hukum Indonesia sebagai jaminan
- Di Indonesia dalam hukum acara pidana tidak ada jaminan untuk seseorang baik tersangka ataupun terdakwa berbentuk uang
- Jaminan yang diberikan adalah orang
- Oleh karenanya apakah di Indonesia tidak mulai diperkenalkan jaminan dalam bentuk uang
- Terkait jaminan berbentuk uang ini tidak harus ditentukan oleh pengadilan, bisa saja oleh penyidik bila proses hukum masih dalam tahap penyidikan atau oleh pengadilan pada saat dalam proses penuntutan
- Bila ternyata orang yang harus hadir ternyata tidak hadir maka uang jaminan akan menjadi milik negara dan orang tersebut tetap dilakukan proses pencarian untuk ditangkap dan ditahan.
Alternatif Lain :
- Alternatif lain adalah menyamakan bond or security sebagai pengenaan denda atas tindak pidana ringan (tipiring) dalam suatu pelanggaran, diantaranya pelanggaran STNK, SIM, rambu lalu lintas.
- Bila melakukan penangkapan ikan secara
ilegal maka kapal berbendera asing diwajibkan untuk membayar denda dalam jumlah
yang besar kepada negara tanpa harus menghadap ke lembaga peradilan dan setelah
dilakukan pembayaran maka kapal dan anak buah kapal segera dikembalikan (prompt
release).
Dr. Arif Havas Oegroseno Hikmahanto Juwana, SH., MH.
(Judul Paparan : Memaham Kasus Prompt Release)
- Yurisprudensi kasus-kasus utama prompt release, ITLOS telah menangani 9 kasus prompt release yang diajukan negara pihak sebagai negara bendera atau mewakili negara pemilik kapal terhadap negara pihak sebagai negara penahan kapal (detaining state).
- Pasal 292 UNCLOS tidak hanya terkait kewenangan KKP, tetapi juga KLHK
dan Kemhub (Ditjen Perla);
- Pasal 292 hanya mengatur aspek-aspek reasonableness atau kepatutan suatu “bond atau other financial instruments“.
ITLOS menghormati proses hukum nasional terkait substansi.
- Pasal 292 hanya dapat digunakan oleh Negara Bendera. Namun tidak
semua gugatan dikabulkan dengan berbagai alasan, antara lain: terlambat
menggugat atau tidak memiliki legal standing.
- Pasal 2 Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada KKP : melanggar unclos 1982.
- Kepastian hukum penerapan Pasal 292 sudah sangat jelas hanya untuk
penentuan jaminan, tidak mencampuri urusan substansi kasus, tidak ada kaitan
dengan pembangunan sektor kelautan dan perikanan, tidak ada “klaim
ketidakpastian hukum, Semua sudah pasti dan jelas, kecuali ada keinginan pihak
tertentu untuk mengkaburkan situasi di Indonesia.
- Pasal 292 tidak dapat digunakan untuk restorative justice karena
:
- hanya pasal prosedural untuk menentukan apakah Negara Bendera memiliki legal standing, jenis dan besaran jaminan, dan tidak sama sekali membahas substansi kasus; dan
- Pasal ini tidak hanya terkait IUUF (kewenangan KKP) tetapi juga lingkungan laut dan polusi laut yang berada di luar kewenangan KKP, serta diatur oleh Organisasi Internasional lain yaitu IMO (yang mana KKP bukan anggota delegasi Sidang IMO).
- Pasal 292 sudah sangat jelas dan tidak perlu dipertajam dalam hukum nasional Indonesia, apalagi dengan membuat UU atau PP atau Perpres atInpres atau peraturan pelaksanaan.
- Gugatan Pasal 292 diajukan dalam kasus kapal-kapal modern dari baja denga nilai tinggi. Tidak ada gugatan Pasal 292 atas kapal kayu ukuran kecil atau sedang seperti kapal-kapal Vietnam. Jaminan dalam Pasal 292 bernilai puluhan milyar rupiah.
- Biaya berperkara di ITLOS sekitar USD 2-5 juta. Apakah Thailand dan Vietnam akan membayar biaya perkara sebesar ini per kasus untuk kapal-kapal kayu ? Dalam kasus Kapal Thailand yang terbuat dari besi Silver Sea 2, mengapa Thailand tidak menggugat prompt release di ITLOS ?
- Di sisi lain, negara penahan yang digugat biasanya hanya mengirimkan PNSnya saja dengan menggunakan biaya yang sangat sedikit (SPPD, honor).
- Dalam diskursus internasional mulai terdapat keraguan bahwa Indonesia akan bertindak tegas dalam IUUF di masa depan.
- Salah satu ciri Indonesia di mata dunia bisnis dan investor asing adalah sering berubah aturan dan hukum.
- Kini, kebijakan anti IUUF Indonesia terus dimonitor dunia sebagai cerminan apakah Indonesia dapat menangani IUUF dan juga membantu pelaksanaan SDG 14 Life Under Water (menghilangkan IUUF pada 2020).
- Perubahan kebijakan tegas IUUF ke arah yang lebih lemah dalam bentuk memperbolehkan kapal asing mengambil ikan di Indonesia dan mengembalikan kapal pemilik IUUF tidak hanya akan merusak lingkungan Indonesia tetapi juga citra Indonesia secara keseluruhan.
- Citra Indonesia secara keseluruhan tidak bisa dinilai dengan anggaran penegakan hukum APBN.
- Analisa cost-benefit IUUF tidak dapat dilakukan secara simplistis yaitu biaya penegakan hukum. Analisa nya harus menghitung kerugian jasa lingkungan hidup. Kasus dimana Indonesia harusnya aktif menggugat kerusakan lingkungan laut (kapal pesiar merusak Raja Ampat), hingga kini tidak ada kejelasan. Kasus ini masuk dalam Bab XII UNCLOS 1982.
- Ketegasan Kebijakan IUUF suatu negara dapat dilihat dari:
- Apakah dapat (able) menangkap kapal-kapal IUUF dari mana pun juga;
- Apakah bersedia (willing) menangkap kapal-kapal IUUF dari mana pun juga;
- Apakah akan menyita kapal IUUF untuk dihancurkan (Indonesia, Australia, Palau, Fiji, AS) atau disita untuk digunakan negara atau dikembalikan ke pemilik kapal?
- Apakah secara nyata membantu pelaksanaan SDG 14 Life Under Water (menghilangkan IUUF pada 2020).
- Inisiatif Indonesia dalam global fisheries governance tidak terlihat sama sekali.
- Inisiatif pembentukan regional instrument to fight crimes in fisheries terlihat redup.
- KLHK dinilai mampu atasi deforestasi dan kebakaran gambut. Hal ini mendapatkan penghargaan dari dunia.
- Quo Vadis KKP ?
Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH. M.Hum.
(Judul Paparan : Prompt Release dan Asas Pemberlakuan Pidana)
- Jaminan dalam Pasal 292 UNCLOS juncto Pasal 104 Undang-Undang Perikanan pada hakikatnya sanksi yang dikenakan kepada Negara Berbendera Asing yang berada di wilayah pengelolaan periakanan Indonesia.
- Jaminan tersebut merupakan subtitusi dari sanksi pidana yang tercantum dalam undang-undang a quo.
- Jaminan tersebut harus diserahkan kepada negara
- Kapan pun jaminan itu dibayar, harus dilakukan pelepasan seketika terhadap kapal sebagai pengejawantahan sanksi pidana sebagai ultimum remidium
- Jaminan tersebut berorientasi pada restoratif justice untuk dimanfaatkan oleh pihak yang terkena dampak dari pelanggaran tersebut.
[1]
Al
Hajjaji, Shams Al Din Ahmed. "Criminal Liability for Environmental
Damage–National Courts Versus the International Tribunal for the Law of the
Sea." Groningen Journal of International Law 5.1 (2017). Footnote 1 dan 2.
[2]
Ibid.
Komentar
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda?