Penerapan Ketentuan Pelepasan Segera (Prompt Release) Kapal dan Awak Kapal Pelaku lllegal Fishing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

Tulisan ini sebagian dikutip dari paparan narasumber dan Term of Reference (ToR) kegiatan Focus Group Discussion Penerapan Ketentuan Pelepasan Segera Kapal dan Awak Kapal Pelaku Illegal Fishng di ZEE Indonesia yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengwasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada hari Kamis tanggal 10 September 2020 di Hotel Hyatt Yogyakarta. ToR pada kegiatan dimaksud awalnya disusun oleh saya sendiri bersama Ratih Seftiariski kemudian diubah oleh tim pelaksana lainnya. Untuk itu kutipan dari ToR tidak secara utuh masuk dalam tulisan ini.

Direktorat Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP mencatat bahwa dari tahun 2015 sampai dengan 6 Agustus 2020 telah terjadi kegiatan IUU Fishing yang dilakukan oleh 368 kapal berbendera asing, diantaranya Vietnam, Thailand, Filipina, China, Timor Leste, Taiwan dan Panama. Beberapa insiden konflik terjadi saat proses penangkapan kapal-kapal ikan asing di beberapa wilayah perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga. Sejumlah praktek illegal fishing dan insiden dimaksud memberikan pengaruh terhadap kondisi keamanan di perairan. Oleh karenanya, diperlukan langkah-langkah strategis, yang sesuai dengan peraturan perundangan nasional maupun aturan internasional tanpa mengabaikan kepentingan penegakan hukum dalam rangka menerapkan praktek perikanan yang bertanggungjawab dan keberlanjutan sumber daya.

Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU Nomor 17 Tahun 1985. Sejak saat itu, Indonesia resmi tunduk pada rezim UNCLOS 1982. Sebagai negara pantai, penegakan IUU Fishing berlangsung di wilayah perairan kedaulatan Indonesia dan wilayah dengan hak berdaulat, yaitu Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Sebagaimana ditetapkan pada Pasal 73 UNCLOS 1982, di wilayah ZEE atau wilayah dengan hak berdaulat, negara pantai berhak melakukan pemeriksaan diatas kapal, menangkap dan melakukan proses proses pengadilan atas kapal tersebut dan memberitahu negara bendera kapal. Namun awak kapal harus segera dibebaskan dengan penyerahan uang jaminan yang layak (Reasonable Bond) kepada negara pantai dan terhadap awak kapal tersebut tidak diperkenankan dikenakan hukuman kurungan badan. Prosedur pelepasan dimaksud selanjutnya diatur pada Pasal 292 UNCLOS bahwa hanya negara bendera kapal yang dapat mengajukan permohonan prompt release. Selain menetapkan mengenai persyaratan uang jaminan atau jaminan keuangan lainnya harus “layak/reasonable” juga memberikan petunjuk bila ditemukan adanya perselisihan dalam penetapan uang jaminan diantara kedua negara maka dapat mengajukan ke mahkamah internasional. Prosedur pelepasan juga harus segera diproses setelah diterima permohonannya tanpa mengurangi kepentingan terhadap perkara itu sendiri di hadapan forum domestik atas kapal dan awaknya.

Hukum nasional Indonesia juga mengatur mengenai permohonan pembebasan kapal dan awak kapal negara asing pelaku tindak pidana di wilayah ZEEI. Pasal 104 UU Perikanan menetapkan pengajuan permohonan pembebasan kapal dan awak kapal negara asing dengan penyerahan uang jaminan yang layak dapat dilakukan setiap saat sebelum ada keputusan dari pengadilan perikanan dan ditetapkan oleh pengadilan perikanan. Sementara aturan pada ayat (2) menetapkan bahwa benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara. Penjelasan UU Perikanan atas sejumlah uang jaminan yang layak” adalah penetapan besar uang jaminan yang ditentukan berdasarkan harga kapal, alat perlengkapan kapal dan hasil dari kegiatannya, ditambah besarnya jumlah denda maksimum. Terhadap benda dan/atau alat” dijelaskan, antara lain sebagai  alat penangkapan ikan, ikan tangkapan, kapal yang digunakan untuk menangkap ikan dan/atau mengangkut ikan, dan lain-lain.

Prompt release atau pelepasan segera kapal dan awak kapal pelaku illegal fishing di Indonesia belum pernah diterapkan dikarenakan hingga kini belum pernah ada negara yang mengajukan permohonan tersebut. Sebagaimana hal dimaksud juga diatur dalam hukum nasional Indonesia UU Perikanan, Indonesia berpeluang untuk mendapatkan reasonable bond dan dapat menjadi solusi terhadap penanganan pelanggaran dari kapal asing yang melakukan praktek IUU Fishing di area ZEEI. Pertemuan Rapat Koordinasi Teknis Penanganan Tindak Pidana Perikanan, tanggal 27 – 30 Juli di Serpong mengemukakan bahwasanya adanya kesesuaian antara aturan Internasional dan hukum nasional sehingga memungkinkan adanya penerapan Prompt Release atau pelepasan segera. Namun perlu adanya kesepahaman persepsi dan pengaturan lebih lanjut terhadap beberapa dilema yang dapat menjadi kendala dalam penerapan penanganan hukum selanjutnya.

Beberapa dilema terhadap penerapan aturan UNCLOS diantaranya tidak diberikan rincian terhadap nilai jaminan yang dikategorikan sebagai layak/reasonable. Kasus Volga dan Hoshinmaru merupakan beberapa contoh kasus, dimana Mahkamah Hukum Laut Internasional (ITLOS) menetapkan bahwa nilai jaminan yang layak meliputi  nilai  kapal, bahan bakar, pelumas dan peralatan penangkap ikan. Terhadap nilai jaminan terhadap tindak pidana pelaku/awak kapal asing dan potensi jaminan atas pelanggaran lainnya pada kedua kasus tersebut diputuskan sebagai nilai jaminan yang unreasonable.

UU Perikanan mengatur pelanggaran IUU Fishing sebagai tindak pidana bukan sekedar permasalahan manajemen pengelolaan yang bersifat administratif. Oleh karenanya, diperlukan justifikasi terhadap beberapa hal penting secara komprehensif, diantaranya (1) keberlanjutan proses hukum atas kasus pidana terhadap kapal dan awak kapal berbendera asing setelah bond/jaminan tersebut ditetapkan dan dibayarkan; (2) keberlanjutan kasus penyidikan dengan tidak adanya pelaku untuk diperiksa pada tahap penyidikan dan/atau tahapan selanjutnya karena pelepasan pelaku sebagai dampak prompt release terhadap keberadaan awak kapal asing; (3) dampak pembayaran jaminan, yaitu pelepasan barang bukti berupa kapal perikanan, bila keputusan pengadilan dinyatakan barang dirampas untuk negara atau dimusnahkan; (4) dampak jaminan terhadap awak kapal asing bila dalam keputusan pengadilan pelaku ditetapkan bersalah dan diwajibkan membayarkan sejumlah denda sementara beberapa kasus yang ditetapkan ITLOS, jaminan terhadap pelaku dinilai unreasonable. Secara administratif, beberapa aturan pelaksanaan, yaitu antara lain (1) mekanisme permohonan pembebasan; (2) mekanisme penetapan uang jaminan; dan juga  (3) lembaga penilai besaran nilai jaminan belum teridentifikasi secara jelas. Secara hubungan internasional, dibutuhkan kejelasan terhadap (1) kewajaran bila Indonesia memberikan penawaran prompt release secara aktif melalui notice, sesuai pasal 73 ayat (4) UNCLOS dan (2) tanggung jawan negara bendera terhadap dampak prompt release bila keputusan pengadilan menetapkan bahwa awak kapal dikenakan hukuman denda dan barang bukti berupa kapal dirampas untuk negara atau dimusnahkan.

Beberapa permasalahan yang dikemukakan di atas, sebanarnya hal yang paling utama adalah masih terdapat keragu-raguan dan perbedaan penafsiran tentang pelaksanaan mekanisme prompt release. Terkait perbedaan penafsiran, setidaknya terdapat 2 (dua) pendapat yaitu:

  1. Mekanisme prompt release tidak menghentikan proses penyidikan dan penuntutan pidana yang sedang atau akan dilaksanakan karena kata yang digunakan dalam Pasal 104 ayat (1) adalah jaminan sehingga artinya proses perkara tetap berlanjut; atau
  2. Dengan dilaksanakan mekanisme prompt release proses penyidikan dan penuntutan pidana yang sedang atau akan dilaksanakan harus dihentikan untuk menciptakan kepastian hukum.

Perbedaan pendapat ini bukannya tidak beralasan, dalam diskusi akademis internasional dapat kita jumpai dua pendapat yaitu pendapat yang mendukung implementasi prompt release dengan argumentasi bahwa mekanisme ini merupakan solusi terbaik (win win solution) bagi kepentingan negara pantai yang menghendaki sanksi dan kepentingan negara bendera yang menghendaki agar kapal dan awak kapal dapat segera dilepaskan. Terlebih didukung dengan argumentasi bahwa ZEE merupakan wilayah laut lepas dimana Negara pantai hanya memiliki hak eksklusif, dan bukan hak absolut untuk berdaulat. Di sisi lain ada pendapat dari kalangan akademisi yang tidak setuju dengan ketentuan prompt release dengan alasan ketentuan ini melemahkan kewenangan dan proses penegakan hukum terhadap pelaku illegal fishing di ZEE.

Dari kedua pendapat tersebut tidak heran kalau pada akhirnya mengakibatkan penafsiran dan implementasi yang berbeda-beda di beberapa Negara. Sebagai contoh Prancis, Rusia, dan Brazil masih menerapkan pertanggungjawaban pidana terkait illegal fishing di ZEE, sedangkan Amerika Serikat dan Kanada telah menerapkan penyelesaian pertanggungjawaban kerugian (civil liability) dalam jenis kasus yang sama.[1]

Indonesia perlu mengantisipasi pembangunan sektor perikanan yang sedang gencar dilaksanakan oleh Negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam yang secara lekat memperoleh asistensi dari Uni Eropa. Pembangunan tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa dikemudian hari, Thailand dan Vietnam akan mengajukan gugatan kepada ITLOS apabila Indonesia masih gagap dalam menerapkan ketentuan prompt release terkait kapal-kapal kedua Negara tersebut yang tertangkap oleh aparat Indonesia di ZEEI.

Ketentuan terkait prompt release dalam Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Angka 5 SEMA No. 3 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan masih dapat dibaca sebagai suatu proses pidana yang tetap berlanjut. Hal ini tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan kesulitan dalam implementasinya. Salah satunya adalah untuk menghadirkan kembali para tersangka dan barang bukti yang notabene sudah keluar wilayah Indonesia.

Ketentuan terkait prompt release dalam Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Angka 5 SEMA No. 3 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan masih dapat dibaca sebagai suatu proses pidana yang tetap berlanjut. Hal ini tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan kesulitan dalam implementasinya. Salah satunya adalah untuk menghadirkan kembali para tersangka dan barang bukti yang notabene sudah keluar wilayah Indonesia.

Di satu sisi, selama ini penegakan hukum terhadap kapal ikan asing yang melakukan illegal fishing di ZEEI cenderung kurang efektif dan efisien dikarenakan secara fakta dari sanksi pidana denda yang diputuskan oleh pengadilan, sangat kecil sekali yang dibayarkan oleh pelaku yang notabene hanya merupakan nelayan/pekerja. Kondisi ini diperburuk dengan tidak dibolehkannya pengenaan sanksi badan berupa penjara maupun kurungan pengganti denda. Pun apabila sanksi penjara/kurungan pengganti denda dibolehkan, bukan berarti akan meningkatkan efektifitas dari proses hukum pidana tersebut karena denda tetap tidak dibayarkan dan negara malah harus membiayai makan dan kebutuhan para terpidana asing tersebut selama dalam penjara/kurungan.

Tidak hanya sampai di situ, permasalahan dan beban bagi anggaran Negara juga ditimbulkan dari biaya perawatan kapal ikan asing pelaku illegal fishing selama menjadi barang bukti. Kemudian, setelah diperoleh putusan yang menyatakan kapal-kapal tersebut dirampas untuk Negara, beban bagi anggaran Negara juga masih akan sangat banyak ditimbulkan dari upaya eksekusi berupa penenggelaman/pemusnahan, atau malah menimbulkan permasalahan baru terkait diskursus apakah kapal-kapal tersebut benar-benar akan membawa manfaat apabila dihibahkan atau justru akan kembali kepada pemilik semula.

Penggunaan istilah “jaminan” sangat berperan besar untuk ditafsirkan bahwa proses hukum pidana tetap terus berlanjut. Padahal dari beberapa putusan the International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) Negara pantai wajib melepaskan kapal dan crewnya segera setelah “reasonable bond yang ditetapkan oleh ITLOS dibayarkan. Hal ini mendorong beberapa akademisi untuk menerjemahkan istilah “bond” dalam konteks prompt release dengan istilah kompensasi. Para akademisi tersebut berpendapat bahwa terkait mekanisme prompt release, ITLOS telah mengubah penerapan tanggung jawab pidana (criminal liability) menjadi tanggung jawab kerugian (civil liability).[2] 

Berdasarkan kondisi tersebut di atas, mekanisme prompt release di Indonesia harus dipastikan tidak kemudian menciptakan masalah baru berupa ketidakpastian hukum. Dalam rangka pelaksanaan mekanisme prompt release yang menciptakan kepastian hukum dan mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi Indonesia, perlu digali kemungkinan untuk memandang dan menyepakati bahwa mekanisme prompt release merupakan penyelesaian perkara untuk mengganti kerugian akibat tindakan illegal fishing yang dilakukan oleh kapal asing.

Dalam rangka menggali kemungkinan tersebut, diperlukan pendapat ahli dan praktisi yang berkompeten di bidang Hukum Internasional, Hukum Laut Internasional, Hukum Pertanggungjawaban ganti kerugian dan Hukum Pidana untuk dapat memberikan wawasan dan pandangan serta penjabaran terhadap langkah-langkah selanjutnya untuk penerapan ketentuan pelepasan segera kapal dan awak kapal pelaku illegal fishing di zona ekonomi ekslusif indonesia (prompt release).

Padangan Narasumber pada saat Pelaksanaan FGD Prompt Release

Prof. Rokhmin Dahuri                                                                                                                 

(Judul Paparan : Potensi Pemanafaatan Hasil Prompt Release Bagi Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perkanan)

  • Dengan banyaknya jumlah Kapal Ikan Asing (KIA) yang melakukan IUU fishing dan tertangkap di wilayah ZEEI (lebih dari 50 KIA per tahun), terutama KIA asal Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Thailand, Indonesia berpotensi memperoleh uang jaminan yang layak (Reasonable Bond) dari negara-negara tersebut.
  • Besaran reasonable bond yang ditetapkan harus memperhitungkan: (1) nilai jual ikan hasil IUU fishing; (2) nilai harga kapal; (3) nilai bahan bakar dan pelumas; (4) nilai peralatan penangkap ikan; serta (5) denda bagi nakhoda/pemilik.
  • Uang hasil dari bond dapat dianggap sebagai PNBP dari sektor KP, yang 50% dapat digunakan langsung untuk peningkatan kesejahteraan nelayan (kapal, alat tangkap, dan DIKLATLUH) dan kesejahteraan aparat penegak hukum.

Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., PH.D.                                                                   

(Judul Paparan : Prompt Release Dalam Perspektif Hukum Internasional)

Apa yang dimaksud dengan bond or other security

  • Menurut Black’s Law Dictionary maka yang dimaksud Bond salah satunya adalah asigned promise to pay an amount to do something on a date
  • Sementara Security salah satunya adalah assurance
  • Dalam hukum yang berlaku di Amerika Serikat ada istilah Bail yang mungkin dapat diartikan mirip dengan Bond atau Security
  • Bail menurut Findlaw adalah:
    1. In some cases, a written promise to appear in court isn’t enough, and the courtwill want a financial guarantee that you will appear in court.
    2. Bail is a process by which you pay a set amount of money to obtain your release from police custody. As part of your release, you promise to appear in court for all of your scheduled criminal proceedings
    3. If you show up to court as promised, the bail amount will be returned. If not, you will be subject to arrest and you will forfeit the bail amount.

Konteks Prompt Release di Indonesia bagi Kapal Berbendera Asing

  • Bond or other security dimaknai dalam hukum Indonesia sebagai jaminan
  • Di Indonesia dalam hukum acara pidana tidak ada jaminan untuk seseorang baik tersangka ataupun terdakwa berbentuk uang
  • Jaminan yang diberikan adalah orang
  • Oleh karenanya apakah di Indonesia tidak mulai diperkenalkan jaminan dalam bentuk uang
  • Terkait jaminan berbentuk uang ini tidak harus ditentukan oleh pengadilan, bisa saja oleh penyidik bila proses hukum masih dalam tahap penyidikan atau oleh pengadilan pada saat dalam proses penuntutan
  • Bila ternyata orang yang harus hadir ternyata tidak hadir maka uang jaminan akan menjadi milik negara dan orang tersebut tetap dilakukan proses pencarian untuk ditangkap dan ditahan.

Alternatif Lain :

  • Alternatif lain adalah menyamakan bond or security sebagai pengenaan denda atas tindak pidana ringan (tipiring) dalam suatu pelanggaran, diantaranya pelanggaran STNK, SIM, rambu lalu lintas.
  • Bila melakukan penangkapan ikan secara ilegal maka kapal berbendera asing diwajibkan untuk membayar denda dalam jumlah yang besar kepada negara tanpa harus menghadap ke lembaga peradilan dan setelah dilakukan pembayaran maka kapal dan anak buah kapal segera dikembalikan (prompt release).

Dr. Arif Havas Oegroseno Hikmahanto Juwana, SH., MH.                                                  

(Judul Paparan : Memaham Kasus Prompt Release)

  • Yurisprudensi kasus-kasus utama prompt release, ITLOS telah menangani 9 kasus prompt release yang diajukan negara pihak sebagai negara bendera atau mewakili negara pemilik kapal terhadap negara pihak sebagai negara penahan kapal (detaining state).
  • Pasal 292 UNCLOS tidak hanya terkait kewenangan KKP, tetapi juga KLHK dan Kemhub (Ditjen Perla);
  • Pasal 292 hanya mengatur aspek-aspek reasonableness atau kepatutan suatu “bond atau other financial instruments“. ITLOS menghormati proses hukum nasional terkait substansi.
  • Pasal 292 hanya dapat digunakan oleh Negara Bendera. Namun tidak semua gugatan dikabulkan dengan berbagai alasan, antara lain: terlambat menggugat atau tidak memiliki legal standing.
  • Pasal 2 Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada KKP : melanggar unclos 1982.
  • Kepastian hukum penerapan Pasal 292 sudah sangat jelas hanya untuk penentuan jaminan, tidak mencampuri urusan substansi kasus, tidak ada kaitan dengan pembangunan sektor kelautan dan perikanan, tidak ada “klaim ketidakpastian hukum, Semua sudah pasti dan jelas, kecuali ada keinginan pihak tertentu untuk mengkaburkan situasi di Indonesia.
  • Pasal 292 tidak dapat digunakan untuk restorative justice karena :

    1. hanya pasal prosedural untuk menentukan apakah Negara Bendera memiliki legal standing, jenis dan besaran jaminan, dan tidak sama sekali membahas substansi kasus; dan
    2. Pasal ini tidak hanya terkait IUUF (kewenangan KKP) tetapi juga lingkungan laut dan polusi laut yang berada di luar kewenangan KKP, serta diatur oleh Organisasi Internasional lain yaitu IMO (yang mana KKP bukan anggota delegasi Sidang IMO).

  • Pasal 292 sudah sangat jelas dan tidak perlu dipertajam dalam hukum nasional Indonesia, apalagi dengan membuat UU atau PP atau Perpres atInpres atau peraturan pelaksanaan.
  • Gugatan Pasal 292 diajukan dalam kasus kapal-kapal modern dari baja denga nilai tinggi. Tidak ada gugatan Pasal 292 atas kapal kayu ukuran kecil atau sedang seperti kapal-kapal Vietnam. Jaminan dalam Pasal 292 bernilai puluhan milyar rupiah.
  • Biaya berperkara di ITLOS sekitar USD 2-5 juta. Apakah Thailand dan Vietnam akan membayar biaya perkara sebesar ini per kasus untuk kapal-kapal kayu ? Dalam kasus Kapal Thailand yang terbuat dari besi Silver Sea 2, mengapa Thailand tidak menggugat prompt release di ITLOS ?
  • Di sisi lain, negara penahan yang digugat biasanya hanya mengirimkan PNSnya saja dengan menggunakan biaya yang sangat sedikit (SPPD, honor).
  • Dalam diskursus internasional mulai terdapat keraguan bahwa Indonesia akan bertindak tegas dalam IUUF di masa depan.
  • Salah satu ciri Indonesia di mata dunia bisnis dan investor asing adalah sering berubah aturan dan hukum.
  • Kini, kebijakan anti IUUF Indonesia terus dimonitor dunia sebagai cerminan apakah Indonesia dapat menangani IUUF dan juga membantu pelaksanaan SDG 14 Life Under Water (menghilangkan IUUF pada 2020).
  • Perubahan kebijakan tegas IUUF ke arah yang lebih lemah dalam bentuk memperbolehkan kapal asing mengambil ikan di Indonesia dan mengembalikan kapal pemilik IUUF tidak hanya akan merusak lingkungan Indonesia tetapi juga citra Indonesia secara keseluruhan.
  • Citra Indonesia secara keseluruhan tidak bisa dinilai dengan anggaran penegakan hukum APBN.
  • Analisa cost-benefit IUUF tidak dapat dilakukan secara simplistis yaitu biaya penegakan hukum. Analisa nya harus menghitung kerugian jasa lingkungan hidup.  Kasus dimana Indonesia harusnya aktif menggugat kerusakan lingkungan laut (kapal pesiar merusak Raja Ampat), hingga kini tidak ada kejelasan. Kasus ini masuk dalam Bab XII UNCLOS 1982.
  • Ketegasan Kebijakan IUUF suatu negara dapat dilihat dari:

    1. Apakah dapat (able) menangkap kapal-kapal IUUF dari mana pun juga;
    2. Apakah bersedia (willing) menangkap kapal-kapal IUUF dari mana pun juga;
    3. Apakah akan menyita kapal IUUF untuk dihancurkan (Indonesia, Australia, Palau,  Fiji, AS) atau disita untuk digunakan negara atau dikembalikan ke pemilik kapal?
    4. Apakah secara nyata membantu pelaksanaan SDG 14 Life Under Water (menghilangkan IUUF pada 2020).
  • Inisiatif Indonesia dalam global fisheries governance tidak terlihat sama sekali.
  • Inisiatif pembentukan regional instrument to fight crimes in fisheries terlihat redup.
  • KLHK dinilai mampu atasi deforestasi dan kebakaran gambut. Hal ini mendapatkan penghargaan dari dunia.
  • Quo Vadis KKP ?

Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH. M.Hum.                                                         

(Judul Paparan : Prompt Release dan Asas Pemberlakuan Pidana)

  • Jaminan dalam Pasal 292 UNCLOS juncto Pasal 104 Undang-Undang Perikanan pada hakikatnya sanksi yang dikenakan kepada Negara Berbendera Asing yang berada di wilayah pengelolaan periakanan Indonesia.
  • Jaminan tersebut merupakan subtitusi dari sanksi pidana yang tercantum dalam undang-undang a quo.
  • Jaminan tersebut harus diserahkan kepada negara
  • Kapan pun jaminan itu dibayar, harus dilakukan pelepasan seketika terhadap kapal sebagai pengejawantahan sanksi pidana sebagai ultimum remidium
  • Jaminan tersebut berorientasi pada restoratif justice untuk dimanfaatkan oleh pihak yang terkena dampak dari pelanggaran tersebut.


[1] Al Hajjaji, Shams Al Din Ahmed. "Criminal Liability for Environmental Damage–National Courts Versus the International Tribunal for the Law of the Sea." Groningen Journal of International Law 5.1 (2017). Footnote 1 dan 2.

[2] Ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Kontrol (Kriminologi)

Teori Subculture (Kriminologi)

Peradaban Islam Masa Daulah Utsmani