Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan di Wilayah Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia


Wilayah perairan Indonesia mencapai lebih dari 5,887,879 km. Nilai ekspor perikanan meningkat dari tahun 2016 sebesar USD 2,092 miliar[1] mencapai USD 3,61 miliar[2] namun belum merupakan nilai maksimal potensi ekspor perikanan sebenarnya. Salah satu penyebabnya adalah illegal fishing sebagai salah satu tindak pidana perikanan yang kerap terjadi. Terlebih sejak Peraturan Nomor 56/Permen-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia mulai diberlakukan pada tanggal 3 November 2014, industri perikanan tangkap yang mayoritas dikuasai oleh kapal-kapal asing terhenti seketika dan industri perikanan di beberapa negara di regional juga mengalami kemunduran yang signifikan sehingga semakin meningkatkan ancaman praktek-praktek illegal fishing di perairan Indonesia. Salah satu ancaman praktek illegal fishing di perairan Indonesia yaitu ada di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Wilayah ZEE sesuai dengan Pasal 57 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982 (UNCLOS) merupakan suatu daerah di luar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur laut teritorial. Pada wilayah ZEE berlaku hak berdaulat (sovereign rights) bagi negara pantai, haknya yaitu untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam, penerbangan udara, pendirian dan penggunaan pulau buatan, riset ilmiah, dan penanaman kabel serta jalur pipa. Indonesia telah mengatur ZEEI melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (UU ZEEI), pembentukan UU ZEEI merupakan realisasi juridis perluasan wilayah laut terutama tentang keadaan ekonomi dalam pengelolaan, pengawasan dan pelestariannya, sehingga upaya meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan cara memanfaatkan sumber daya alam laut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982.
Politik Hukum Pidana Perikanan di Wilayah ZEEI
Politik hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana perikanan telah diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan) serta beberapa peraturan pelaksanaannya seperti peraturan pemerintah dan peraturan menteri.
Penegakan hukum tindak pidana perikanan di wilayah ZEEI diatur dalam Pasal 97 ayat (2), 102 UU Perikanan, dan Pasal 104 ayat (1). Pasal-pasal ini merupakan adopsi dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam UNCLOS. Pasal 97 ayat (2) mengatur mengenai Nakhoda kapal yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu di bagian tertentu di ZEEI yang membawa penangkapan ikan lainnya dapat dipidana dengan pidana denda.
Pasal 102 UU Perikanan mengatur mengenai tidak berlakunya pidana penjara di wilayah ZEEI kecuali telah ada perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan. Pasal ini merupakan adopsi dari Pasal 73 ayat (3) Unclos yang menyatakan Coastal State penalties for violations of fisheries laws and regulations in the exclusive economic zone may not include imprisonment, in the absence of agreements to the contrary by the States concerned, or any other form of corporal punishment (Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara Negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya).
Ketentuan di atas sampai sekarang masih banyak menimbulkan perdebatan, dengan tidak diberlakukannya pidana penjara maka penerapan ketentuan tersebut akan mengalami kesulitan bilamana Terpidana tidak mau membayar denda atau tidak mampu membayar vonis denda yang diberikan kepadanya, hal ini tentunya akan berakibat tidak terwujudnya kepastian hukum. Polemik pasal ini kembali terjadi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015  tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, pada huruf A angka 3 mengatur bahwa “Dalam perkara illegal fishing di wilayah ZEEI terhadap terdakwa hanya dapat dikenai pidana denda tanpa dijatuhi kurungan pengganti denda”. Dengan dikeluarkannya SEMA ini diharapkan, putusan pengadilan yang ditetapkan mengacu hanya pada penjatuhan pidana denda tanpa adanya putusan pidana kurungan pengganti denda, hal ini tentunya bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) KUHP yang menyatakan  “jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan”.
Selanjutnya Pasal 104 ayat (1) UU Perikanan mengatur mengenai permohonan untuk membebaskan kapal dan/atau orang yang ditangkap karena melakukan tindak pidana di wilayah ZEEI dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari pengadilan perikanan yang menyerahkan sejumlah uang jaminan yang layak, yang penetapannya dilakukan oleh pengadilan. Pasal ini merupakan adopsi dari Pasal 73 ayat (2) UNCLOS yang berbunyi Arrested vessels and their crews shall be promptly released upon the posting of reasonable bond or other security (Kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya).
Sampai saat ini pelaksanaan Pasal 104 ayat (1) UU Perikanan belum terwujud padahal ketentuan pasal ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dengan melihat jumlah tindak pidana yang terjadi di wilayah ZEEI. Menurut penulis hal ini dikarenakan belum adanya SOP pelaksanaan uang jaminan, tidak adanya pengaturan hukum internasional mengenai tanggungjawab negara bendera, serta tidak adanya niat baik dari pemilik atau perusahaan kapal asing untuk membayar uang jaminan. Hal berbeda ditunjukkan oleh kapal perikanan berbendera Indonesia yaitu KM Perintis Jaya 19 yang ditangkap oleh otoritas Australia atas dugaan pelanggaran di ZEE Australia, perusahaan pemilik KM Perintis Jaya 19 memberikan uang jaminan kepada pemerintah Australia untuk membebaskan kapal dan awak kapal tersebut.
Pelaksanaan Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan di Wilayah ZEEI
Tantangan dan permasalahan penegakan hukum di wilayah perairan Indonesia dan ZEEI untuk mencegah dan memberantas Illegal, Unreported, and Unregulated fishing (IUUF),wajib mendapat perhatian dan dukungan semua pihak, sehingga sumber daya kelautan dan perikanan yang setiap tahun hilang ratusan triliun dapat diselamatkan dan digunakan untuk mensejahterakan masyarakat, dan bukan pihak asing yang menikmatinya.
Mengatasi permasalahan ini, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan beberapa kebijakan IUUF salah satunya yaitu penguatan penegakan hukum tindak pidana perikanan. PPNS Perikanan yang merupakan salah satu unsur penegak hukum tindak pidana perikanan dari tahun 2015 sampai dengan 30 April 2018 telah menangani 684 kasus tindak pidana perikanan, sepertiga diantaranya terjadi di wilayah ZEEI. Adapun grafik penanganan tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah ZEEI yang ditangani oleh PPNS Perikanan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1: Grafik Penanganan Kasus Tindak Pidana Perikanan di Wilayah ZEEI
yang Ditangani Oleh PPNS Perikanan Tahun 2015-2018
Sumber : Direktorat Penanganan Pelanggara Ditjen PSDKP KKP. Diolah Penulis, Mei 2018
Grafik di atas menunjukkan sejak kepemimpinan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada bulan Oktober 2014 terjadi peningkatan penanganan kasus tindak pidana perikanan di wilayah ZEEI yang ditangani oleh PPNS Perikanan. Secara persentase dari tahun 2015 sampai dengan April 2018 penanganan tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah ZEEI ada 36 % atau 247 kasus dari jumlah keseluruhan kasus tindak pidana kelautan dan perikanan, dengan rincian tahun 2015 dari 198 kasus, 21 % (43 kasus) yang ditangani di wilayah ZEEI, tahun 2016 dari 237 kasus, 53 % (142 kasus yang ditangani di wilayah ZEEI), tahun 2017 dari 197 kasus, 28 % (56 kasus yang ditangani di wilayah ZEEI), dan saat ini sampai dengan April 2018 dari 52 kasus, 11 % (6 kasus yang ditangani di wilayah ZEEI).
Adanya tren penurunanan penanganan kasus tindak pidana perikanan di wilayah ZEEI sejak 2017 sampai dengan April 2018 merupakan detterent effect dari kebijakan penenggelaman kapal bagi pelaku tindak pidana perikanan. Berdasarkan data dari Direktorat Penanganan Pelanggaran yang merupakan unit kerja penyidikan dari Ditjen PSDKP, Kementerian Kelautan dan Perikanan ada 363 kapal perikanan yang telah ditenggelamkan dari Oktober 2014 sampai dengan Oktober 2017.[3]
Selanjutnya pada Tabel 2 di bawah, penulis menampilkan data penanganan kasus tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah ZEEI berdasarkan bendera kapal.
Tabel 2: Penanganan Kasus Tindak Pidana Perikanan yang Terjadi di Wilayah ZEEI
Berdasarkan Bendera Kapal
Sumber : Direktorat Penanganan Pelanggara Ditjen PSDKP KKP. Diolah Penulis, Mei 2018
Tabel 2 menunjukkan kapal perikanan berbendera Vietnam paling sering ditangani kasusnya oleh PPNS Perikanan, berdasarkan data dari tahun 2015 sampai dengan April 2018 ada 151 (61 % dari jumlah kapal perikanan yang ditangkap di wilayah ZEEI) kasus pengkapan kapal perikanan berbendera Vietnam, diikuti oleh kapal perikanan berbendera Philipina 38 kasus, Malaysia dan Indonesia 25 kasus, Thailand 5 kasus, dan terakhir Timor Leste dan Tiongkok 1 kasus.
Kapal perikanan berbendera asing yang memasuki wilayah ZEEI ditangkap oleh Kapal Pengawas Perikanan Ditjen PSDKP KKP dengan modus operandi yang umumnya dilakukan yaitu tidak mempunyai ijin (SIUP, SIPI dan SIKPI), penggunaan alat tangkap yang merusak dan dilarang, pelanggaran fishing ground yang tidak sesuai, transhipment, dan Vessel Monitoring System (VMS) tidak aktif. Adapun modus baru yang berkembang yaitu penggunaan Warga Negara Indonesia sebagai awak kapal perikanan atau anak buah kapal yang ilegal, menggunakan bendera kapal Indonesia namun negara lain sebagai pemilik kapal, hal ini banyak dilakukan oleh pemilik-pemilik kapal dari Vietnam.[4]
Selanjutnya pada Tabel 3 di bawah, penulis menampilkan data penanganan kasus tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah ZEEI berdasarkan lokasi penangkapan.
Tabel 3 : Penanganan Kasus Tindak Pidana Perikanan yang Terjadi di Wilayah ZEEI
Berdasarkan Lokasi Penangkapan
Sumber : Direktorat Penanganan Pelanggara Ditjen PSDKP KKP. Diolah Penulis, Mei 2018
Berdasarkan Tabel 3 di atas menunjukkan tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah ZEEI sebanyak 247 kasus, 71 % atau 176 kasus diantaranya terjadi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia  (WPP-NRI) 711 yang meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan, diikuti oleh WPP-NRI 716 yang meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera sebanyak 41 kasus, WPP-NRI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman sebanyak 17 kasus, WPP-NRI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau sebanyak 11 kasus, WPP-NRI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik sebanya 2 kasus, dan WPP-NRI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian Timur sebanyak 1 kasus.
Adapun sebaran tangkapan kapal perikanan di WPP-NRI 711 dapat dilihat pada gambar berikut :
Sumber : Setditjen PSDKP KKP, April 2018
Gambar di atas memperlihatkan lokasi penangkapan kapal perikanan banyak terjadi di wilayah Laut Cina Selatan (termasuk wilayah WPP-NRI 711), di tahun 2015 ada 24 kasus, tahun 2016 ada 92 kasus, dan tahun 2017 ada 6 kasus yang ditangani oleh PPNS Perikanan.
UU Perikanan mengamanatkan Pengawas Perikanan berkewajiban mencegah agar kapal-kapal asing tidak masuk beroperasi ke wilayah perairan Indonesia dan wilayah ZEEI secara ilegal untuk mengambil kekayaan laut dan perikanan Indonesia. Hambatan paling utama untuk mewujudkan hal tersebut adalah masalah keterbatasan sarana, prasarana, dan peralatan serta kapal-kapal canggih dan fasilitas lainnya yang dimiliki mempersulit tugas pengawasan yang dilakukan aparat hukum di laut untuk menegakkan hukum dengan baik terutama dalam kegiatan pencegahan, melakukan pendeteksian, pengawasan, pengejaran, dan penangkapan terhadap pelaku. Saat ini paradigma operasional pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan telah berubah dengan mengandalkan alat pemantauan VMS, Radar, dan AIS untuk pendeteksian awal, dilengkapi pula dengan pesawat patroli udara dan Kapal Pengawas Perikanan yang dimiliki Ditjen PSDKP KKP sebanyak 35 kapal berfungsi melakukan penyergapan. Dengan paradigma pengawasan yang baru, maka diharapkan coverage area lebih luas, tidak memerlukan investasi kapal pengawas yang tinggi, informasi lebih cepat, penghematan anggaran BBM, dan adanya pengawasan yang dilakukan setiap saat. 
Selanjutnya pada Tabel 4 di bawah, penulis menampilkan rekapitulasi data penanganan kasus tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah ZEEI.
Tabel 4 : Rekapituasi Data Penanganan Tindak Pidana Perikanan yang terjadi di Wilayah ZEEI yang ditangani oleh PPNS Perikanan Tahun 2015-2018
Sumber : Direktorat Penanganan Pelanggara Ditjen PSDKP KKP. Diolah Penulis, Mei 2018.
Tabel 4 di atas menunjukkan dari tahun 2015 sampai dengan 30 April 2018 ada 247 kasus tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah ZEEI, dari 247 kasus ada 227 kasus (91 % dari jumlah kasus) yang telah disidik oleh PPNS Perikanan. Khusus untuk tahun 2018 dari 6 kasus, sementara ada 3 kasus masih dalam tahapan pemeriksaan pendahuluan (penyelidikan). Sedangkan 223 kasus (89 %) telah masuk ke tahapan proses persidangan, dan 141 kasus (63 % dari jumlah kasus yang masuk pada tahapan proses persidangan) putusannya telah inkracht.
Berdasarkan data putusan yang penulis telusuri melalui website resmi putusan Mahkamah Agung (MA) https://putusan.mahkamahagung.go.id[5] terdapat 192 putusan tindak pidana perikanan, dari 192 putusan tersebut ada 101 putusan terkait tindak pidana yang terjadi di wilayah ZEEI.
Hal yang menarik berdasarkan data yang penulis himpun dari website tersebut, yaitu adanya perbedaan putusan mengenai pidana denda di wilayah ZEEI. Ada putusan yang hanya menjatuhkan pidana denda dan ada putusan yang menjatuhkan pidana kurungan pengganti denda. Hal ini tentunya terkait dengan Pasal 102 UU Perikanan yang mengatur mengenai tidak berlakunya pidana penjara di wilayah ZEEI kecuali telah ada perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan. Pasal ini kemudian diperkuat dengan adanya SEMA Nomor 3 Tahun 2015 yang menyatakan tidak berlakunya pidana kurungan pengganti denda dalam perkara ilegal fishing.
SEMA Nomor 3 Tahun 2015 Larangan Penjatuhan Pidana Kurungan Pengganti Denda
Telah banyak berbagai tulisan mengenai pro dan kontra penjatuhan pidana kurungan pengganti denda dalam tindak pidana perikanan yang penulis dapatkan, salah satu yang menarik yaitu di website https://kanggurumalas.com/ yang ditulis oleh Muhammad Tanziel Azezi (Peneliti di Lembaga Kajian dan Advokasi Independesi Peradilan) pada tanggal 4 Mei 2017, penulisnya mengupas mengenai konsep pidana subsider dalam tindak pidana perikanan dengan data-data putusan yang ditampilkan beserta argumen majelis hakim. Dalam tulisan ini penulis mengangkat tema yang sama tetapi didukung dengan data-data penanganan kasus oleh PPNS Perikanan seperti yang telah ditampilkan di atas serta data-data putusan yang terbaru.
Mahkamah Agung pada tanggal 29 Desember 2015 menerbitkan SEMA Nomor 3 Tahun 2015, pada huruf A angka 3 mengatur bahwa “Dalam perkara illegal fishing di wilayah ZEEI terhadap terdakwa hanya dapat dikenai pidana denda tanpa dijatuhi kurungan pengganti denda. SEMA ini diharapkan untuk menyatukan pandangan Hakim mengenai penegakan hukum di wiayah ZEEI yang dilakukan oleh kapal berbendera asing. Sebelum membahas jauh menganai apakah dapat atau tidak pidana kurungan pengganti denda diberlakukan, penulis dalam Tabel 5 menampilkan putusan perkara tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah ZEEI.
 Tabel 5 : Putusan Perkara Tindak Pidana Perikanan yang terjadi di Wilayah ZEEI
Pengadilan
Putusan
Denda
Kurungan Pengganti Denda
Pengadilan Perikanan Medan
2
-
Pengadilan Perikanan Pontianak
3
-
Pengadilan Perikanan Tanjung Pinang
16
4
Pengadilan Perikanan Ranai
-
27
Pengadilan Negeri Aceh
-
1
Pengadilan Negeri Bengkalis
-
2
Pengadilan Negeri Langsa
-
1
Pengadilan Negeri Sambas
-
1
Pengadilan Negeri Tarakan
1
1
Pengadilan Negeri Ternate
-
1
Pengadilan Tinggi Pekanbaru
3
12
Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat
-
2
Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur
-
2
Pengadilan Tinggi  Jayapura
1
2
Mahkamah Agung
12
7
Total
38
63
            Sumber : https://putusan.mahkamahagung.go.id, diolah Penulis 7 Mei 2018.
Sumber tabel di atas berasal dari salinan putusan-putusan perkara yang dimuat dalam website resmi putusan Mahkamah Agung, putusan ini tidaklah memuat seluruh putusan terkait tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah ZEEI, hanya beberapa putusan perkara dari tahun 2011 sampai dengan 2017 di tingkat pengadilan negeri sampai tingkat kasasi (Mahkamah Agung). Sebagai perbandingan, data dari Direktorat Penanganan Pelanggaran yang putusannya telah inkracht dari tahun 2015 sampai dengan 30 April 2018 tercatat ada 141 perkara, jadi dapat disimpulkan tidak semua putusan perkara tindak pidana perikanan dimuat dalam website tersebut.
Berdasarkan Tabel 5 di atas ada 101 putusan perkara tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah ZEEI, terdiri dari 38 putusan yang hanya menjatuhkan pidana denda dan 63 putusan yang yang menjatuhkan pidana kurungan pengganti denda. Pengadilan Perikanan Tanjung Pinang teratas dalam menjatuhkan pidana denda yaitu 16 putusan, sedangkan Pengadilan Perikanan Ranai teratas dalam menjatuhkan pidana kurungan pengganti denda yaitu sebanyak 27 putusan. Mengingat SEMA Nomor 3 Tahun 2015 diterbitkan pada tanggal 29 Desember 2015, maka penulis mengasumsikan SEMA tersebut efektif pada tahun 2016. Untuk melihat efektifitasnya, penulis menampilkan Tabel 6.
Tabel 6 : Putusan Perkara Tindak Pidana Perikanan yang terjadi di Wilayah ZEEI
Tahun 2016-2017
Sumber : https://putusan.mahkamahagung.go.id, diolah Penulis 8 Mei 2018.
Berdasarkan sejak efektifnya SEMA tersebut, penjatuhan pidana denda sebanyak 14 putusan, tahun 2016 ada 3 putusan yaitu di Pengadilan Perikanan Medan, Pengadilan Perikanan Pontianak, dan Pengadilan Tinggi (PT) Jayapura dan tahun 2017 ada 11 putusan semuanya di Pengadilan Perikanan Tanjung Pinang. Sedangkan penjatuhan pidana kurungan pengganti denda sebanyak 28 putusan, tahun 2016 ada 13 putusan yaitu di PN Langsa 1 putusan, PN Ternate 1 putusan, PN Ranai 8 putusan, PT Pekanbaru 2 putusan dan PT Jayapura 1 putusan, dan tahun 2017 ada 15 putusan, yaitu di PN Aceh 1 putusan, Pengadilan Perikanan Tanjung Pinang 3 putusan, dan Pengadilan Perikanan Ranai 11 putusan. Dari data ini dapat disimpulkan SEMA Nomor 3 Tahun 2015 tidak banyak mempengaruhi majelis hakim dalam menerapkan Pasal 30 ayat (2) KUHP untuk menjatuhkan pidana kurungan pengganti denda terkait tindak pidana perikanan di wilayah ZEEI.
Salah satu putusan pidana kurungan pengganti denda yaitu putusan nomor 93/Pid.Sus-Prk/2017/PN Ranai dengan pertimbangan sebagai berikut :
-    ketentuan Pasal 102 UU Perikanan menurut pendapat Majelis Hakim akan memakan waktu yang lama untuk menunggu negara-negara tersebut membuat perjanjian dengan Pemerintah Republik Indonesia, sementara tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh Warga Negara Asing terus berlanjut dan terjadi di Wilayah ZEEI dengan intensitas yang beragam dan terus menerus menimbulkan kerugian yang nyata dari tindak pidana tersebut bagi Indonesia khususnya di sektor perikanan ;
-     terdapat ketidakadilan dalam hal pemidanaan bagi Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA) yang melakukan tindak pidana perikanan, dimana terdapat perlakuan khusus terhadap Warga Negara Asing yang dalam ketentuannya tidak dapat dikenakan pidana penjara dan pidana badan apapun bentuknya, sementara terhadap WNI justru tidak demikian, sehingga hal tersebut telah melanggar asas hukum universal yaitu asas equality before the law ;
-    dari segi kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh WNA, justru lebih menimbulkan kerugian yang besar dibandingkan dengan tindak pidana perikanan yang dilakukan WNI, hal ini berkaitan dengan teknologi yang telah berkembang berkenaan penangkapan ikan yang dimiliki oleh WNA dibandingkan WNI yang sebagain besar adalah masih menggunakan peralatan penangkapan ikan yang sederhana dan tidak secanggih nelayan asing;
-  Majelis Hakim berpendirian apabila suatu tindak pidana yang dilakukan WNA tersebut hanya dikenakan pidana denda, terjadi ketidak efektifan terhadap penegakan hukum tindak pidana perikanan tersebut terutama mengenai pemidanaan pidana denda yang tidak disertai dengan alternatif pidana pengganti denda, sehingga tidak memberikan efek jera terhadap WNA yang melakukan tindak pidana perikanan di wilayah ZEEI;
-     jika pidana denda tersebut tidak dibayar oleh terdakwa yang berkewarganegaraan asing dan tidak juga dikenakan pidana pengganti denda, lantas bagaimana kekuatan eksekutorial dari putusan tersebut, sementara terdakwa telah dihukum pidana denda dan berkewajiban hukum untuk membayarnya, lantas bagaimana pula status hukum terdakwa yang tidak menjalani pidana denda tersebut, apakah dibiarkan begitu saja tanpa kepastian hukum seandainya terdakwa tidak membayar denda tersebut yang merupakan hukuman bagi terdakwa atas perbuatannya;
-     dalam ketentuan Pasal 103 KUHP mengatur bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain, sehingga berdasarkan ketentuan tersebut oleh karena undang-undang perikanan tidak mengatur mengenai pidana kurungan pengganti denda, maka secara hukum ketentuan ini juga berlaku terhadap tindak pidana perikanan; dan
-  berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1)Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan : Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas 1). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2). Ketetapan MPR, 3). Undang-Undang / Perpu, 4). Peraturan Presiden, 5). Peraturan Daerah Provinsi dan 6). Peraturan Daerah Kabupaten / Kota, terlihat jelas Surat Edaran Mahkamah Agung tidak dikenal dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sehingga Majelis Hakim berpendapat SEMA Nomor 3 Tahun 2015 dapat disimpangi dengan adanya ketentuan Pasal 30 ayat (2) KUHP.
Selanjutnya untuk melihat bagaimana pandangan Hakim Agung memeriksa penerapan Pasal 102 UU Perikanan yang merupakan adposi dari Pasal 73 ayat (3) UNCLOS, penulis akan menampilkan putusan-putusan pada tingkat kasasi yaitu sebanyak 19 putusan, 12 putusan yang menjatuhkan pidana denda dan 7 putusan menjatuhkan pidana kurungan pengganti denda. Adapun 19 putusan tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7 : Putusan Perkara Tindak Pidana Perikanan Pada Tingkat Kasasi
Sumber : https://putusan.mahkamahagung.go.id, diolah Penulis 7 Mei 2018.
Tabel 7 di atas menunjukkan semenjak efektifnya SEMA Nomor 3 Tahun 2015, belum ada satupun perkara pada tingkat kasasi terkait tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah ZEEI. Adapun pertimbangan-pertimbangan hukum majelis hakim dalam menjatuhkan putusan-putusan tersebut akan penulis tampilkan pada tabel 8 dan 9.
Tabel 8 : Putusan Yang Mejatuhkan Pidana Denda
Nomor Putusan
Majelis Hakim
Inti Pertimbangan
-  Artidjo Alkotsar
-  Surya Jaya
-  Sri Murwahyuni
Majelis hakim mengikuti aturan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (3) UNCLOS dan tidak ada perjanjian antara Indonesia dengan Vietnam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 UU Perikanan. 
-  Timur P. Manurung
-  Andi Samsan Nganro
-  Eddy Army
Majelis hakim mengikuti aturan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (3) UNCLOS dan tidak ada perjanjian antara Indonesia dengan Vietnam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 UU Perikanan. 
-  Surya Jaya (Dissenting Opinion)
-  Syarifuddin
-  Desnayeti
Majelis hakim mengikuti aturan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (3) UNCLOS dan tidak ada perjanjian antara Indonesia dengan Vietnam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 UU Perikanan.  Tetapi terdapat perbedaan pendapat dari Ketua Majelis Hakim (Surya Jaya) dengan pendapat yaitu :
-  secara normatif ketentuan Pasal 30 Ayat (2) KUH Pidana merupakan jalan keluar bagi Terpidana yang tidak mempunyai uang dan barang untuk membayar pidana denda;
-  akan menimbulkan masalah ketika Terpidana Asing tidak membayar denda maka pihak Imigrasi Indonesia tidak akan membiarkan Terpidana Asing untuk keluar dari wilayah Indonesia karena masih mempunyai kewajiban hukum membayar denda, jika hal ini tidak terpenuhi maka Imigrasi berwenang melakukan pencekalan;
-  sebagai akibat pencekalan maka akan menimbulkan lagi masalah baru yaitu pembiayaan Terpidana Asing yang masih dalam wilayah penampungan oleh aparat penegak hukum;
-  dalam ketentuan UU Perikanan maupun UNCLOS tidak ada larangan bagi aparat penegak hukum untuk menjatuhkan pidana kurungan pengganti denda, tetapi yang dilarang adalah pidana badan atau pidana penjara. Sedangkan pidana kurungan atau pidana denda sama sekali tidak dilarang; dan
-  dilihat dari aspek sosilogis dan filosofis serta kepastian hukum, penjatuhan pidana kurungan pengganti denda jauh lebih baik dan bermartabat dan dapat menghindari masalah hukum lebih kompleks.
-  Salman Luthan
-  Andi Samsan Nganro
-  Syarifuddin
Majelis hakim mengikuti aturan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (3) UNCLOS dan tidak ada perjanjian antara Indonesia dengan Vietnam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 UU Perikanan. 
-  Sri Murwahyuni
-  Margono
-  Eddy Army
Majelis hakim mengikuti aturan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (3) UNCLOS dan tidak ada perjanjian antara Indonesia dengan Vietnam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 UU Perikanan. 

-  Salman Luthan
-  Sumardijatmo
-  Margono
Majelis hakim berpendapat penerapan Pasal 30 ayat (2) KUH Pidana tidak dapat dibenarkan karena ketentuan-ketentuan dalam KUHP merupakan ketentuan bersifat lex generalis, sedangkan ketentuan dalam UU Perikanan bersifat lex specialis. Sehingga Majelis Hakim  mengikuti aturan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (3) UNCLOS dan tidak ada perjanjian antara Indonesia dengan Vietnam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 UU Perikanan. 
-  Zaharuddi Utama
-  Surya Jaya (DO)
-  Suhadi
Majelis hakim mengikuti aturan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (3) UNCLOS dan Pasal 102 UU Perikanan, pidana denda yang dijatuhkan tidak boleh disertai dengan pidana badan dalam bentuk apapun. Tetapi Hakim Agung Surya Jaya berpendapat lain, dengan pertimbangan yang sama pada putusan 131 K/Pid.Sus/2014.
-  Artidjo Alkostar
-  Suhadi
-  Maruap Dohmatiga Pasaribu
Majelis hakim mengikuti aturan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (3) UNCLOS dan Pasal 102 UU Perikanan, pidana denda yang dijatuhkan tidak boleh disertai dengan pidana badan dalam bentuk apapun.
-  Artidjo Alkostar
-  Surya Jaya (DO)
-  Sri Murwahyuni
Majelis hakim mengikuti aturan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (3) UNCLOS dan Pasal 102 UU Perikanan karena merupakan lex specialis, untuk itu pidana denda yang dijatuhkan tidak boleh disertai dengan pidana badan dalam bentuk apapun. Tetapi Hakim Agung Surya Jaya berpendapat lain, dengan pertimbangan yang sama pada putusan 131 K/Pid.Sus/2014.

-  Artidjo Alkostar
-  Suhadi
-  Sri Murwahyuni
Majelis hakim mengikuti aturan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (3) UNCLOS dan Pasal 102 UU Perikanan, pidana denda yang dijatuhkan tidak boleh disertai dengan pidana badan dalam bentuk apapun
-  Salman Luthan
-  Sumardijatmo
-  Margono
Majelis hakim berpendapat penerapan Pasal 30 ayat (2) KUH Pidana tidak dapat dibenarkan karena ketentuan-ketentuan dalam KUHP merupakan ketentuan bersifat lex generalis, sedangkan ketentuan dalam UU Perikanan bersifat lex specialis. Sehingga Majelis Hakim  mengikuti aturan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (3) UNCLOS dan tidak ada perjanjian antara Indonesia dengan Vietnam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 UU Perikanan. 
1206 K/Pid.Sus/2015
-  Surya Jaya (DO)
-  Margono
-  Suhadi
Majelis hakim mengikuti aturan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (3) UNCLOS dan Pasal 102 UU Perikanan karena merupakan lex specialis, untuk itu pidana denda yang dijatuhkan tidak boleh disertai dengan pidana badan dalam bentuk apapun. Tetapi Hakim Agung Surya Jaya berpendapat lain.
Sumber : https://putusan.mahkamahagung.go.id, diolah Penulis 8 Mei 2018.
Tabel 9 : Putusan Yang Mejatuhkan Pidana Kurungan Pengganti Denda
Nomor Putusan
Majelis Hakim
Inti Pertimbangan
-  Imran Anwari
-  Zaharuddin Utama
-  Suhadi
Judex Facti tidak salah menerapkan hukum mengenai penjatuhan pidana denda di wilayah ZEEI terhadap warga negara asing yang disertai dengan pidana kurungan pengganti denda.
-  Surya Jaya
-  Margono
-  Suhadi
Judex Facti tidak salah menerapkan hukum dalam penjatuhan pidana denda di wilayah ZEEI terhadap warga negara asing yang disertai dengan pidana kurungan pengganti denda.
-  Artidjo Alkostar
-  Surya Jaya
-  Sri Murwahyuni
Majelis hakim berpendapat bahwa Pasal 73 (3) Unclos pelarangan penjatuhan pidana penjara dan pidana badan sebagai pidana pokok sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 KUHAP huruf a KUHAP, sedangkan pidana kurungan pengganti denda bukanlah pidana pokok, melainkan sebagai pemaksa Terdakwa untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan. Dan hal ini merupakan jalan keluar apabila Terdakwa tidak mampu atau tidak mau membayar pidana denda yang diatuhkan, sehingga pidana kurungan pengganti denda dianggap mempermudah putusan itu sendiri.
-  Artidjo Alkostar
-  Surya Jaya
-  Sri Murwahyuni
Majelis hakim berpendapat secara normatif ketentuan Pasal 30 Ayat (2) KUH Pidana merupakan jalan keluar bagi Terpidana yang tidak mempunyai uang dan barang untuk membayar pidana denda. Akan menimbulkan masalah ketika Terpidana Asing tidak membayar denda maka pihak Imigrasi Indonesia tidak akan membiarkan Terpidana Asing untuk keluar dari wilayah Indonesia karena masih mempunyai kewajiban hukum membayar denda, jika hal ini tidak terpenuhi maka Imigrasi berwenang melakukan pencekalan. Sebagai akibat pencekalan maka akan menimbulkan lagi masalah baru yaitu pembiayaan Terpidana Asing yang masih dalam wilayah penampungan oleh aparat penegak hukum. Dalam ketentuan UU Perikanan maupun UNCLOS tidak ada larangan bagi aparat penegak hukum untuk menjatuhkan pidana kurungan pengganti denda, tetapi yang dilarang adalah pidana badan atau pidana penjara. Sedangkan pidana kurungan atau pidana denda sama sekali tidak dilarang dan
dilihat dari aspek sosilogis dan filosofis serta kepastian hukum, penjatuhan pidana kurungan pengganti denda jauh lebih baik dan bermartabat dan dapat menghindari masalah hukum lebih kompleks.
-  Artidjo Alkostar
-  Surya Jaya
-  Sri Murwahyuni
Bahwa yang dilarang UNCLOS 1982 adalah penjatuhan pidana badan atau pidana penjara, sedangkan pidana kurungan atau kurungan pengganti denda sama sekali tidak dilarang. Pidana kurungan pengganti denda akan menjadi jalan keluar bagi Terdakwa yang tidak mampu membayar atau tidak mau mebayar pidana dena yang dijatuhkan.
-  Artidjo Alkostar
-  Surya Jaya
-  Sri Murwahyuni
Ketentuan Pasal 102 UU Perikanan dan UNCLOS  bila ditafsirkan secara sistematis maka tidak ada larangan untuk menjatuhkan pidana pengganti denda dengan subsidair kurungan, artinya ketentuan UU Perikanan dan UNCLOS tidak melarang pidana pengganti denda dengan subsidair kurungan. Sanksi pidana yang dilarang dijatuhkan di ZEEI adalah pidana badan dan atau pidana penjara.
-  Surya Jaya
-  Suhadi
-  Margono
Ketentuan dalam Pasal 102 UU Perikanan dan Pasal 73 ayat (3) secara tegas tidak melarang atau membatasi penerapan hukum selain pidana penjara pada ZEEI bagi pelaku asing. Sehingga penjatuhan pidana kurungan pengganti denda dapat diterapkan sesua dengan Pasal 30 ayat (2) KUHP.
Sumber : https://putusan.mahkamahagung.go.id, diolah Penulis 8 Mei 2018.
Tabel 8 dan 9 di atas menunjukkan telah terjadi perbedaan pandangan di antara para Hakim Agung mengenai penerapan pidana di wilayah ZEEI. Di satu sisi pada tabel 8 yang memuat putusan denda tanpa kurungan pengganti denda, secara garis besar Majelis Hakim mengikuti aturan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (3) UNCLOS dan Pasal 102 UU Perikanan yang tidak memperbolehkan penjatuhan pidana penjara dan hukuman badan lainnya kepada Terdakwa sebelum ada perjanjian sebelumnya antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara yang bersangkutan, selain itu penerapan Pasal 30 ayat (2) KUHP tidak dapat dibenarkan karena ketentuan-ketentuan dalam KUHP merupakan ketentuan bersifat lex generalis, sedangkan ketentuan dalam UU Perikanan bersifat lex specialis. Di sisi lain pada tabel 9 yang memuat putusan pidana kurungan pengganti denda, secara garis besar berargumen bahwa yang dilarang Pasal 102 UU Perikanan dan Pasal 73 ayat (3) UNCLOS adalah penjatuhan pidana badan atau pidana penjara, sedangkan pidana kurungan atau kurungan pengganti denda sama sekali tidak dilarang. Pidana kurungan pengganti denda akan menjadi jalan keluar bagi Terdakwa yang tidak mampu membayar atau tidak mau membayar pidana denda yang dijatuhkan.
Penulis melihat ada hal yang menarik dari putusan-putusan tersebut yang majelis hakimnya terdiri dari Artidjo Alkotsar, Surya Jaya, dan Sri Murwahyuni. Majelis ini pada awalnya berpendapat bahwa pidana denda yang dijatuhkan tidak boleh disertai dengan pidana kurungan pengganti denda sebagaimana dalam putusan nomor 471 K/Pid.Sus/2013, kemudian pada putusan nomor 1355 K/Pid.Sus/2014 Majelis Hakim mengikuti aturan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (3) UNCLOS dan Pasal 102 UU Perikanan karena merupakan lex specialis, untuk itu pidana denda yang dijatuhkan tidak boleh disertai dengan pidana badan dalam bentuk apapun. Tetapi Hakim Agung Surya Jaya berpendapat lain (dissenting opinion), dengan pertimbangan bahwa ketentuan Pasal 30 Ayat (2) KUHP merupakan jalan keluar bagi Terpidana yang tidak mempunyai uang dan barang untuk membayar pidana denda serta untuk menghindari permasalahan lain yang akan muncul (Surya Jaya mengeluarkan dissenting opinion pada putusan nomor 131 K/Pid.Sus/2014, 618 K/Pid.Sus/2014, dan 1355 K/Pid.Sus/2014. Selanjutnya Majelis Hakim tersebut pada putusan nomor 608 K/Pid.Sus/2013, 162 K/Pid.Sus/2014, 174 K/Pid.Sus/2014, dan 1330 K/Pid.Sus/2014 bersepakat untuk menjatuhkan pidana kurungan pengganti denda.
Berdasarkan beragamnya berbagai pertimbangan dari para hakim (tingkat pertama, banding dan kasasi) yang memeriksa perkara tindak pidana perikanan di wilayah ZEEI, penulis menyimpulkan bahwa SEMA Nomor 3 Tahun 2015 yang melarang adanya pidana denda tanpa dijatuhi kurungan pengganti denda, tidak dapat menjadi solusi adanya perbedaan pendapat tersebut.
Selain itu menurut penulis, eksekusi pidana denda menjadi tidak efektif dalam pelaksanaannya disebabkan tiga hal yaitu : (1) pidana denda tidak diserta pidana kurungan pengganti denda, (2) pidana denda bersifat alternatif dengan pidana kurungan pengganti denda, artinya terpidana yang mampu dapat memilih apakah membayar denda atau memilih pidana subsidair. Pada umumnya terpidana memilih pidana subsidair dengan perhitungan bahwa pidana kurungan pengganti denda ancamannya ringan yaitu selama 6 bulan dan maksimal 8 bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) KUHP. Bandingkan bila terpidana dijatuhi denda Rp. 3 Miliar pidana subsidair 6 bhulan kurungan tentu terpidana memilih pidana subsidair, dan (3) tidak ada instrumen hukum apabila denda tidak dibayar, yang mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum. Meskipun ada adegium qui non potest solver in aere, luat in corpore, yang artinya “siapa tidak mau membayar, maka ia harus melunasinya dengan derita badan”[6].
Adapun implikasi hukum yang ditimbulkan bilamana pidana kurungan pengganti denda tidak diterapkan bagi para pelaku asing di ZEEI, yaitu :
-    akan menimbulkan tidak adanya kepastian hukum, hal ini berakibat warga asing pelaku tindak pidana perikanan akan terus menerus melakukan kegiatan ilegal fishing di Indonesia secara besar-besaran dan terang-terangan karena tidak adanya upaya paksa hukum yang jelas serta tidak adanya tanggung jawab negara bendera dalam instrumen hukum internasional;
-   Kejaksaan selaku institusi eksekutor putusan pidana denda tanpa disertai pidana kurungan akan menghadapi tunggakan perkara utang denda kepada Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Praktek di lapangan tidak jarang hingga akhirnya para Terpidana tersebut terpaksa dipulangkan dengan mengisi surat pernyataan tidak sanggup membayar, dengan mempertimbangkan faktor sosial ekonomis, diantaranya biaya akomodasi selama penahananan dan dampak sosial dari keberadaan mereka diantara penduduk daerah setempat dimana mereka ditampung; dan
-    pembiayaan para awak kapal asing dan Terpidana Asing yang masih dalam Rumah Penampungan Sementara Ditjen PSDKP menimbulkan beban biaya yang tidak sedikit, dalam kurun waktu dari tahun 2014 sampai dengan 2017 diperlukan anggaran sekitar 5 Milyar untuk membiayai 2.353 jumlah awak kapal asing untuk keperluan makanan sehari-hari, kesehatan, pengamanan dan biaya pemulangan ke negara asal[7].
Perdebatan apakah pidana kurungan pengganti denda dapat diterapkan terhadap warga asing pelaku tindak pidana perikanan yang melakukan perbuatannya di wilayah ZEEI ? Menurut penulis, pidana kurungan pengganti denda dapat diterapkan dan tidak bertetangan dengan Pasal 73 ayat (3) UNCLOS dan Pasal 102 UU Perikanan, hal ini atas dasar penafsiran kata imprisonment dan corporal punishment dikaitkan dengan kata “pidana penjara” pada Pasal 102 UU Perikanan. Pasal-pasal UNCLOS beserta Annex-annex sendiri tidak menjelaskan cakupan arti “imprisonment” dan mengatur ketentuan alternatif hukuman lain ketika Terpidana tidak mau atau tidak sanggup membayar pidana denda tersebut. Dengan kata lain, imprisonment dapat dikategorikan sebagai “pidana penjara” sebagaimana konsep imprisonment dalam beberapa aturan pidana di beberapa negara, seperti dalam Pasal 9 Ayat (1) huruf a angka 1 KUHP Belanda, Pasal 38 dan 39 KUHP Jerman, dan Pasal 13 angka 1 KUHP Perancis. Sedangkan corporal punishment adalah sebuah hukuman yang berbetuk hukuman fisik secara langsung atau bersifat kontak fisik hal ini berdasarkan Merriem Webster dan Black’s Law Dictionary.[8] Sama halnya Surya Jaya menafsirkan pidana penjara dengan pidana badan berbeda, demikian pula dengan pidana kurungan pengganti denda. Pidana badan dalam sistem hukum pidana di Indonesia tidak diadopsi. Pidana badan diterapkan dalam sistem hukum Islam, misalnya dalam perkara pembunuhan dihukum pancung, perkara zinah di rajam, perkara pencurian dihukum potong tangan.[9]  
Dapat disimpulkan pidana kurungan pengganti denda tidaklah termasuk  imprisonment dan corporal punishment. Sehingga Pasal 73 ayat (3) UNCLOS dan Pasal 102 UU Perikanan sama sekali tidak mencatumkan larangan menjatuhkan hukuman pidana kurungan pengganti denda. Kedua ketentuan tersebut hanya mencatumkan larangan penjatuhan pidana penjara dan pidana badan lainnya.
Dengan memperhatikan kemanfaatan hukum dalam eksekusi putusan pengadilan, pidana subsider berupa pidana kurungan pengganti denda dapat menjadi alternatif putusan pengadilan sehingga putusan tersebut mendatangkan manfaat saat pelaku menolak atau tidak sanggup membayar. Sedangkan dari sisi kepastian hukum, pidana subsider kurungan pengganti denda akan memastikan bahwa hukum dijalankan dengan baik sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun. Sebagai perbandingan, kasus “M/V “VIRGINIA G” CASE (PANAMA/GUINEA-BISSAU)”, disampaikan bahwa otoritas Guniea-Bissau dianggap melakukan kesalahan, namun dibantah bahwa hal dimaksud tidak termasuk imprisonment, hanya mematuhi sebagaimana ketetapan hukum nasional Guinea-Bissau, yaitu Decree-Law 6-A/2000 Pasal 65 Ayat (1) sehingga dilakukan penahanan dikarenakan pemilik kapal tidak mampu membayar uang jaminan, berdasarkan ketatapan pengadilan[10]. Selain itu, penulis menilai bahwa penerapan pidana kurungan pengganti denda bukanlah merupakan suatu terobosan hukum melainkan semata-mata menegakkan ketentuan hukum Pasal 30 ayat (2) KUHP, Pasal 102 UU Perikanan, Pasal 73 ayat (3) UNCLOS, serta telah sesuai pula dengan Pasal 72, 74, dan 77 UU Perikanan yang menyatakan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam tindak pidana perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam UU Perikanan.
Untuk menyatukan pandangan dan meminimalisir disparitas pidana atau tidak konsistennya putusan demi tercapainya kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, sebaiknya Mahkamah Agung duduk bersama dengan para pemangku kepentingan (Kejaksaan Agung, Polri, TNI AL, dan Ditjen PSDKP KKP) untuk mendengarkan akibat yang ditimbulkan dari adanya himbauan untuk tidak menjatuhkan pidana kurungan pengganti pidana denda.


Jakarta, 11 Mei 2018



Sherief Maronie, SH. MH.

* tulisan ini dimuat juga di http://kkp.go.id/djpsdkp/artikel


[4] Kkp.go.id
[5] Diakses pada 4 Mei 2018
[6] Jan Remmelink, Hukum Pidana atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003, Hal. 477-478.
[7] http://zriefmaronie.blogspot.co.id/2017/12/pemulangan-awak-kapalnon-justitia-asal.html?m=0
[8] https://kanggurumalas.com/2017/05/04/meluruskan-kembali-konsep-penjatuhan-pidana-kurungan-pengganti-denda-dalam-tindak-pidana-perikanan-di-indonesia/
[9] Disampaikan pada pertemuan Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perikanan di KKP pada tanggal 28 Agustus 2017

Komentar

  1. ===Agens128 Bandar Judi Online Free Coin===

    Pakai Pulsa Tanpa Potongan
    Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
    Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
    Game Populer:
    =>>Sabung Ayam S1288, SV388
    =>>Sportsbook,
    =>>Casino Online,
    =>>Togel Online,
    =>>Bola Tangkas
    =>>Slots Games, Tembak Ikan
    Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
    || Online Membantu 24 Jam
    || 100% Bebas dari BOT
    || Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA

    WhastApp : 0852-2255-5128
    Agens128 Agens128

    BalasHapus

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda?

Postingan populer dari blog ini

Teori Kontrol (Kriminologi)

Teori Subculture (Kriminologi)

Peradaban Islam Masa Daulah Utsmani