Penegakan Hukum Terhadap Nelayan Kecil
Pengaturan Hukum Tentang Perlindungan Nelayan Kecil
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan (selanjutnya disebut UU Perikanan), pada Pasal 1 angka 11 menjelaskan
bahwa Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling
besar 5 (lima) gross ton (GT).
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU
Pemerintahan Daerah), pada penjelasan Pasal 27 ayat (5) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nelayan
kecil adalah nelayan masyarakat
tradisional Indonesia yang menggunakan bahan dan alat penangkapan ikan secara
tradisional, dan terhadapnya tidak dikenakan surat izin usaha dan bebas dari
pajak, serta bebas menangkap ikan di seluruh pengelolaan perikanan dalam
wilayah Republik Indonesia.
UU
Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya
Ikan, dan Petambak Garam (selanjutnya disebut UU Perlindungan Nelayan), pada Pasal 1 angka 4
menjelaskan bahwa Nelayan Kecil adalah Nelayan yang melakukan
Penangkapan Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak
menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap Ikan
berukuran paling besar 10 (sepuluh) gros ton (GT).
Berdasarkan atas 3 (tiga) undang-undang di atas maka ada upaya negara untuk
memperbesar GT nelayan
kecil dari maksimal 5 GT
menjadi maksimal 10 GT. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan ekonomi bahwa
nilai kapal termasuk biaya produksi kapal 10 GT di tahun 2016 sama dengan
ukuran kapal perikanan 5 GT pada saat disusunya perubahan UU Perikanan disusun
tahun 2009.
Pada penjelasan perubahan terhadap UU Perikanan mengarah pada keberpihakan kepada
nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil, yaitu :
a. tidak diwajibkan memiliki
dan/atau membawa SIPI dan SIKPI (Pasal 27 dan Pasal 28);
b. tidak diwajibkan
menggunakan sistem
pemantauan kapal perikanan (Pasal 7);
c.
tidak adanya pungutan
perikanan
(Pasal 48); dan
d. pengenaan sanksi pidana yang lebih ringan (Pasal
100B dan 100C).
Pasal 36 UU Perlindungan Nelayan, memberikan penghapusan
praktik ekonomi biaya tinggi kepada nelayan kecil berupa pembebasan biaya
penerbitan izin surat ukur, surat tanda bukti lapor
kedatangan, dan keberangkatan kapal, dan surat persetujuan berlayar yang tidak
dipungut biaya dalam pengurusannya.
Begitu juga dengan membebaskan dari pungutan usaha perikanan.
UU Pemerintahan Daerah pada lampirannya mengenai
pembagian urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan pada angka 2 memberikan
kewenangan kepada pemerintah provinsi untuk :
a.
penerbitan izin
usaha perikanan tangkap untuk kapal perikanan berukuran di atas 5 GT sampai
dengan 30 GT.
b.
Penetapan lokasi pembangunan
serta pengelolaan pelabuhan perikanan provinsi.
c. Penerbitan izin pengadaan
kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan dengan ukuran di atas 5 GT
sampai dengan 30 GT.
d. Pendaftaran
kapal perikanan di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.
Permen KKP Nomor 57 Tahun 2014 tentang
Perubahan Kedua Permen No. 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPP
RI, mengikuti rezim UU Perikanan yang pada Pasal 1 angka 8
menegaskan Nelayan Kecil
adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling
besar 5 (lima) GT. Sedangkan pada Pasal 12
kewajiban memiliki SIUP, SIPI, dan SIKPI dikecualikan bagi nelayan kecil dan
kewajiban tersebut diganti dengan Bukti Pencatatan Kapal.
Permen KP Nomor 1 Tahun 2017 tentang
Surat Laik Operasi, mengikuti rezim UU
Perlindungan Nelayan yang pada Pasal 1 angka 14 menegaskan Nelayan
Kecil adalah Nelayan yang melakukan Penangkapan Ikan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang
menggunakan kapal penangkap Ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) gros ton
(GT).
Disharmonisasi Hukum
Terhadap Perlindungan Nelayan Kecil
Berdasarkan pada penjelasan di atas, menunjukkan adanya disharmonisasi
hukum. Salah satu pengaturan yang paling krusial
adalah mengenai posisi siapa sebenarnya yang disebutkan sebagai nelayan kecil. Untuk
menjawab hal ini, maka dipadukan dua domain utama yang sangat penting yakni : Pertama,
dalam konteks lahan, antara UU Perikanan,
UU Perlindungan, UU Pemerintahan Daerah. Kedua,
otoritas kewenangan, rezim Pemerintahan Pusat,
dan rezim Pemerintahan Daerah.
Rezim UU Perikanan mengklasifikasikan
nelayan kecil menggunakan
kapal perikanan berukuran paling besar 5 GT serta diatur pula mengenai tidak perlu
memiliki/membawa SIPI dan SIKPI, tidak ada kewajiban menggukan sistem
pemantauan kapal, tidak adanya pungutan perikanan dan pengenaan sanksi pidana
yang lebih ringan. Rezim UU Perlindungan Nelayan mengklasifikasikan nelayan
kecil menggunakan
kapal perikanan berukuran paling besar 10 GT
serta diatur mengenai penghapusan biaya izin untuk nelayan kecil. Sedangkan UU
Pemerintahan Daerah mengatur secara tersirat mengkalsifikasikan nelayan kecil
mengikuti rezim UU Perikanan, dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah
provinsi untuk menerbitkan izin usaha perikanan tangkap, izin pengadaan kapal
ikan dan angkut serta pendaftaran kapal untuk ukuran kapal perikanan di atas 5
GT sampai dengan 30 GT.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diilustrasikan persepsi mengenai
nelayan kecil, sebagai berikut :
a. jika ada kapal perikanan yang berukuran dibawah 5 GT maka
dikategorikan sebagai nelayan kecil, nelayan tersebut tidak perlu memiliki
izin-izin untuk menangkap ikan. Bilamana nelayan tersebut melakukan tindak
pidana menurut undang-undang perikanan, maka dapat diancam dengan Pasal 100B
atau Pasal 100C yang ancaman pidananya lebih ringan.
b.
jika ada kapal perikanan
yang berukuran 5 sampai dengan 10 GT maka dapat pula dikategorikan sebagai
nelayan kecil menurut UU Perlindungan Nelayan, nelayan tersebut wajib memiliki
izin-izin untuk menangkap ikan (berdasarkan UU Pemerintahan Daerah) dengan
kewenangan pemberian izin ada pada pemerintah provinsi tetapi tidak dikenakan
biaya berdasarkan UU Perlindungan Nelayan. Bilamana nelayan tersebut melakukan
tindak pidana menurut undang-undang perikanan, maka tidak dapat diancam dengan
Pasal 100B atau Pasal 100C yang ancaman pidananya lebih ringan karena tidak termasuk
nelayan kecil menurut UU Perikanan yang merupakan salah satu instrumen
penegakan hukum di bidang perikanan dan kelautan.
Penegakan Hukum Terhadap Nelayan Kecil
Di samping
perlindungan nelayan kecil, saat ini kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan menekankan pendekatan pembinaan untuk penanganan
dugaan pelanggaran ketentuan pidana perikanan. Utamanya penanganan pelanggaran
ketentuan pidana perikanan yang dilakukan nelayan kecil, misalnya penggunaan
alat tangkap terlarang dan berlayar tanpa Surat Laik Operasi (SLO).
Menteri Kelautan dan Perikanan menginginkan
dilakukannya pendekatan pembinaan ketimbang pengenaan sanksi pidana, karena situasi-situasi
tersebut bertentangan dengan rasa keadilan dalam masyarakat dan menjauhkan
Indonesia dari tujuan tercapainya kedaulatan, kesejahteraan dan keberlanjutan,
kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Disamping
itu nelayan kecil telah memberikan
kontribusi yang nyata dalam pembangunan Perikanan dan kelautan serta
pembangunan ekonomi masyarakat pesisir dan perdesaan.
Rekapitulasi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Pengawas Perikanan /
PPNS Perikanan terhadap Kapal Ikan Indonesia Ukuran di bawah 30 GT Pada Tahun
2017, sebagai berikut :
Ukuran Kapal
|
Jumlah Kasus
|
Pelanggaran
|
Tindakan
|
||||
Tanpa Dokumen
|
Tidak Sesuai Dengan Dokumen
|
Alat Tangkap Terlarang
|
Pembinaan
|
Tindakan Lain
|
Proses Hukum
|
||
> 5 GT
|
11
|
2
|
9
|
-
|
1
|
-
|
10
|
6 – 10 GT
|
6
|
2
|
1
|
3
|
5
|
-
|
1
|
11 – 30 GT
|
18
|
9
|
4
|
5
|
13
|
1
|
4
|
Sumber
: Direktorat Penanganan Pelanggaran, Diolah Penulis, Januari 2018.
Data di atas menunjukkan ada total 35 Kapal Ikan Indonesia berukuran di
bawah 30 GT pada tahun 2017 yang ditangkap. Dari 35 Kapal Ikan Indonesia ada 10
kapal dibawah 5 GT yang dilakukan tindakan proses hukum, hal ini dilakukan
karena banyak kapal perikanan di bawah 5 GT menggunakan ABK asing ataupun warga
statelessness.
Dengan adanya
kemudahan dan membebaskan pengurusan izin untuk nelayan kecil, hal ini secara tidak
langsung akan memberikan kesempatan kepada pemilik kapal berukuran tersebut untuk
melakukan ilegal, unreported, unregulated,
fishing (IUUF) untuk itu diperlukan juga pengawasan kepada nelayan kecil. Salah
satu instrumen pengawasan kepada nelayan kecil yaitu Bukti Pencatatan Kapal yang
merupakan surat keterangan yang harus dimiliki untuk melakukan kegiatan penangkapan
ikan yang menggunakan 1 (satu) kapal berukuran paling besar 5 GT.
Pendekatan penegakan hukum pidana sebaiknya dijadikan ultimum remedium bagi nelayan kecil yang diduga melakukan pelanggaran. Hal ini sejalan
dengan Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang perlindungan nelayan yang
menginstruksikan kepada Polri untuk mengutamakan upaya preventif dan edukatif
dalam penegakan hukum di bidang perikanan terhadap nelayan kecil.
Hal ini dapat dilakukan atas
dasar Diskresi Hukum yang pada Pasal 1 Angka 9 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dijelaskan
diskresi adalah keputusan
dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat
pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau
adanya stagnasi pemerintahan. Penggunaan diskresi sesuai dengan tujuannya
merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan dalam mengambil
keputusan dan/atau tindakan, demikian yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan.
Untuk itu diusulkan pendekatan pembinaan
kepada nelayan kecil yang melakukan penangkapan ikan tanpa dokumen-dokumen resmi dan pelanggaran penggunaan alat tangkap dengan melihat ukuran GT Kapal, sebagai berikut :
a. < 5 GT, dilakukan pembinaan dan pencatatan atas pelanggaran yang
dilakukan, serta diberikan Surat Peringatan
sampai 3 kali atas pelanggaran yang dilakukan, bila tetap melakukan pelanggaran
maka akan diproses hukum;
b. 6 - 10 GT, dilakukan pembinaan dengan
memberikan himbauan untuk melengkapi dokumen-dokumen dan/atau menggunakan alat
tangkap sesuai dengan ketentuan. Serta diberikan Surat Peringatan sampai 2 kali
atas pelanggaran yang dilakukan, bila tetap melakukan pelanggaran maka akan
diproses hukum;
c.
10 GT sampai dengan 30 GT, dilakukan
pemberian Surat Peringatan sampai 1 kali, bila tetap melakukan pelanggaran maka
akan diproses hukum.
Menindaklanjuti hal di atas maka perlu diterbitkan Surat Edaran
Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai dasar kebijakan tersebut. Selain itu
untuk bentuk pengawasannya, diusulkan pula adanya database online bagi Kapal Ikan
Indonesia dengan ukuran di bawah 30 GT yang telah diberikan surat
peringatan atas pelanggaran yang dilakukan.
15 Januari 2018
Sherief Maronie, SH. MH.
Analis Hukum pada Direktorat Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP, KKP
Thank You For Sharing This Post With Us This one is Really Helpful..!
BalasHapushttps://holiquotes.in
holiquotes.in
holi.com
HoliQuotes.in
Thank You For Sharing This With Us. This is something really helpfull.
BalasHapusworldfree4u.com
Thank You For Sharing This With Us This is Really Something Helpful..
BalasHapusModeling Diet
terima kasih....kajian sangat bagus dapat dijadikan pedoman bagi rekan2 dilapangan dlm melaksanakan tugas...
BalasHapus
BalasHapusGreetings! I know this is kind of off topic but I was wondering which blog platform are you using for this site? I'm getting tired of Wordpress because I've had issues with hackers and I'm looking at alternatives for another platform. I would be fantastic if you could point me in the direction of a good platform. itunes sign in
alhamdulillah dapat ilmu lagi terimakasih informasinya
BalasHapus. dan saya mau mengajukan beberrapa pertanyaan. bapak mungkin bisa membantu saya untuk menghilangkanrasa penasaran saya terhadap nelayan 5 GT
1. dokumen kapal apakah yang harus dimiliki oleh nelayan 5 GT
2. apa kewajiban seperti apa yang harus di taati oleh nelayan 5 GT pada setiap dia akan melakukan penangkapan ikan
3. ada sebuah permasalahan tentang penarikan retribusi tambat labuh di lokasi kami . dalam satu kolam labuh terdapat kapal 10 GT ketas dan 10 gt kebawah . untuk kapal 10 GT keatas sudah jelas bahwa dikenakan retribusi kebersihan kolam labuh Rp.500/hari dan adapayung hukumnya sedangkap nelayan 5 GT tidak dikenakan ,sehingga terjadi konflik . bagaimana car mengatasinya?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus