Penanganan Awak Kapal Pelaku Tindak Pidana Perikanan

Pemulangan Awak Kapal Non Justitia Asal Vietnam
Tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh nelayan asing maupun lokal merupakan suatu ancaman yang cukup serius dalam penegakan hukum. Secara faktual tindak pidana tersebut ada kecenderungan untuk mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dan terjadi hampir di seluruh pelosok Indonesia. Tindak pidana perikanan tersebut berupa penangkapan ikan tanpa izin, penangkapan ikan dengan menggunakan izin palsu, penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang dilarang, dan penangkapan jenis (spesies) ikan yang dilarang atau tidak sesuai dengan izin.Diduga ada ribuan kapal asing dari Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, Myanmar, Taiwan, dan Tiongkok melakukan Ilegal, Unregulated, & Unreported Fishing (IUU Fishing) di wilayah perairan laut Indonesia. Berdasarkan data dari FAO tahun 2008, potensi kerugian yang dialami Indonesia diperkirakan sebesar 1 juta ton/tahun atau setara dengan Rp.30 triliun /tahun, berlangsung sejak pertengahan 1980-an.Hal ini mengisyaratkan bahwa dibutuhkan penanggulangan secara sistematik. Untuk itu pada tahun 2015 pemerintah Indonesia mencanangkan pemberantasan IUU Fishing yang termaktub dalam nawa cita keempat. Dampak dari kebijakan ini, penanganan tindak pidana perikanan mengalami peningkatan yang signifikan. Grafik dibawah memperlihatkan penanganan tindak pidana perikanan yang ditangani oleh Penyidk Pegawai Negeri Sipil Perikanan (PPNS Perikanan) yang merupakan salah satu aparat penegak hukum tindak pidana perikanan.
Sumber : Direktorat Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP, November 2017

Grafik di atas menggambarkan kasus tindak pidana perikanan yang ditangai oleh PPNS Perikanan dari tahun 2010 sampai dengan Oktober 2017 berjumlah 1.116 Kasus, dengan berbagai macam jenis tindak pidana perikanan antara lain penggunaan alat tangkap terlarang, penangkapan ikan yang dilindungi, pemalsuan dokumen, transhipment, dan menangkap ikan tanpa izin.
Kebijakan pemberantasan tindak pidana perikanan diiringi pula dengan banyaknya awak kapal perikanan yang ditangkap, pada tahun 2014 ada 488 orang awak kapal yang ditangkap, tahun 2015 sebanyak 801, tahun 2016 sebanyak 1.637 orang, dan pada tahun 2017 sebanyak 1.048 orang.
Sumber : Direktorat Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP, November 2017. Diolah Penulis
Data di atas menunjukkan adanya tren peningkatan jumlah awak kapal pelaku tindak pidana perikanan yang ditangkap oleh PPNS Perikanan dari tahun 2014 sampai dengan November 2017 dengan jumlah 4.220. Dari 10 negara asal awak kapal yang terbanyak ditangkap adalah berkewarnegaraan Vietnam 1.891 (44,81%), Indonesia 1.067 (25,58%), Filipina 681 (16,13%), Thailand 305 (7,22%), Tiongkok 101 (2,39%), Myanmar 91 (2,15%), Malaysia 41 (0,97%), Kamboja 38 (0,90%), Laos 4 (0,09%) dan yang paling sedikit ditangkap adalah berkewarganegaraan Taiwan hanya 1 orang (0,02%).
Hal yang menarik dari data di atas jumlah awak kapal asal Vietnam yang ditangkap oleh PPNS Perikanan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, sebagian besar awak kapal asal Vietnam ditangkap di Laut Natuna yang masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) 711 dikarenakan melimpahnya potensi sumber daya ikan di Laut Natuna, dan awak kapal asal Vietnam masih menganggap perairan Natuna masuk ke dalam wiayah Vietnam[1]. Sedangkan awak kapal asal Filipina dan Thailand yang ditangkap mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Awak kapal yang telah ditangkap ini tidak semuanya diproses hukum ataupun ditetapkan sebagai tersangka, tapi statusnya awak kapal bukan tersangka (non justitia). Ketentuan mengenai awak kapal asing yang berstatus non justitia telah diatur dalam Pasal 83A ayat (1) UU Perikanan, menyebutkan bahwa selain yang ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana perikanan atau tindak pidana lainnya, awak kapal lainnya dapat dipulangkan termasuk yang berkewarganegaraan asing. Dalam hal proses hukum tindak pidana perikanan, yang ditetapkan tersangka adalah Nakhoda dan Kepala Kamar Mesin (KKM), sedangkan yang lainnya hanya berstatus sebagai saksi ataupun tidak memiliki status (non justitia).
Alur Penanganan Awak Kapal Pelaku Tindak Pidana Perikanan
Untuk melaksanakan penanganan awak kapal pelaku tindak pidana perikanan yang efektif dan efisien, Dirjen PSDKP KKP menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal PSDKP Nomor 70 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Penanganan Awak Kapal Tindak Pidana Perikanan. Tujuan disusunya perdirjen ini sebagai acuan PPNS Perikanan dan petugas dalam menangani awak kapal pelaku TPP.
Obyek penanganan awak kapal pelaku tindak pidana perikanan terdiri dari awak kapal tersangka dan awak kapal bukan tersangka. Penanganan Awak Kapal Tersangka, prosesnya dimulai sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan (SPDP) sampai dengan berkas penyidikan dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum disertai penyerahan tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum, atau sampai dengan diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Sedangkan penanganan awak kapal non justitia dimulai sejak perkara tindak pidana perikanan kemudian ke tahap penyidikan sampai dengan awak kapal non justitia dipulangkan ke daerah asal atau keluarganya bagi awak kapal yang berkewarganegaraan Indonesia dan/atau awak kapal non justitia diserahkan ke Kantor Imigrasi, bagi awak kapal yang berkewarganegaraan asing.

Skema diatas menggambarkan alur penanganan tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh PPNS Perikanan. Alur ini dimulai saat Kapal Pengawas Perikanan atau pihak yang menangkap kapal yang melakukan tindak pidana perikanan menyerahkan awak kapal pelaku TPP kepada PPNS Perikanan, kemudian PPNS Perikanan melakukan pemeriksaan pendahuluan (Perdirjen PSDKP Nomor 372 Tahun 2011) untuk menentukan calon tersangka dan non justitia.
Setelah ditentukan apakah awak kapal masuk sebagai tersangka atau non justitia, petugas awak kapal yang juga merupakan PPNS Perikanan melakukan proses penitipan, penampungan, perawatan, pengamanan dan pengeluaran kepada awak kapal pelaku TPP.
Penitipan Awak Kapal Pelaku TPP
Pada proses penitipan awak kapal perikanan pelaku TPP, PPNS Perikanan menyerahkan Berita Acara Penitipan kepada Petugas paling lambat diselesaikan dalam waktu 1x24 jam kemudian Petugas wajib menindaklanjuti dengan cara melakukan pengecekan fisik, kondisi, dan identitas dari awak kapal pelaku TPP, serta melakukan pemotretan/mendokumentasikan setiap awak kapal pelaku TPP.
Penampungan Awak Kapal
Awak kapal pelaku TPP yang ditempatkan di rumah penampungan sementara yaitu awak kapal tersangka berkewarganegaraan asing yang ditetapkan sebagai tersangka yang melakukan TPP di ZEE Indonesia atau awak kapal tersangka yang tidak perlu dilakukan penahanan, dan awak kapal non justitia yang sedang dalam tahap proses pemulangan atau yang dijadikan saksi. 

Perawatan Awak Kapal Pelaku TPP

Bentuk perawatan awak kapal pelaku TPP antara lain melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala yang ditampung di rumah penampungan sementara, dan memberi konsumsi selama tahap penyidikan. Apabila ditemukan awak kapal pelaku TPP yang mempunyai penyakit menular atau yang membahayakan, maka Petugas wajib memisahkan dari awak kapal pelaku TPP lainnya dan dirawat secara khusus, sedangkan apabila ada yang meninggal dunia, Petugas segera memberitahukan kepada PPNS Perikanan yang menangani perkara, kepada Kepala Unit Pelaksana Teknis/ Satuan Kerja/ Pos Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan/ Kepala Dinas yang membidang kelautan dan perikanan Provinsi/ Kabupaten/ Kota, serta kepada pihak keluarganya/ kuasa hukum bagi awak kapal berkewarganegaraan Indonesia dan perwakilan negaranya dengan surat tembusan ke Kementerian Luar Negeri bagi awak kapal berkewarganegaraan asing, dengan melampirkan Visum et Repertum dari Rumah Sakit setempat dan/atau melampirkan surat keterangan kematian dari Kepolisian setemempat.

Pengamanan Awak Kapal Pelaku TPP        
Pengamanan awak kapal pelaku TPP bertujuan untuk memberikan keamanan dan keselamatan awak kapal pelaku TPP. Bentuk pengamanan terhadap Awak Kapal Pelaku TPP, terdiri dari:
1. melakukan pengawasan selama 24 (dua puluh empat) jam dalam sehari terhadap awak kapal pelaku TPP yang ditampung; 
2. menjaga dan mencegah agar awak kapal pelaku TPP yang ditampung agar tidak melakukan perbuatan onar/meresahkan lingkungan masyarakat atau tidak melarikan diri.
Apabila awak kapal pelaku TPP yang ditampung melarikan diri maka Petugas segera melaporkan kepada PPNS Perikanan. Dalam menangani awak kapal pelaku TPP yang melarikan diri, PPNS Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. apabila yang melarikan diri adalah Awak Kapal Tersangka, maka PPNS Perikanan melakukan tindakan:
1. melakukan upaya pencarian secepatnya;
2. membuat laporan kepada pihak Kepolisian terdekat;
3. melaporkan kepada Kepala Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja/Pos Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan atau Kepala Dinas yang membidang kelautan dan perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota;
4.  melaporkan secara tertulis kepada Direktur Jenderal.;
b. apabila yang melarikan diri adalah Awak Kapal Non Justitia, maka PPNS Perikanan melakukan tindakan:
1. melaporkan kepada Kepala Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja/Pos Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan/Kepala Dinas yang membidang kelautan dan perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota;
2. menerbitkan surat pemberitahuan adanya awak kapal yang melarikan diri dan masih dalam pengawasan PPNS Perikanan kepada kepala Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja/Pos Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan/Kepala Dinas yang membidang kelautan dan perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota. 
Pengeluaran Awak Kapal Pelaku TPP
Pengeluaran awak kapal pelaku TPP dapat dilaksanakan untuk keperluan sebagai berikut :
a. penyidikan, dilakukan dengan berdasarkan permintaan dari PPNS Perikanan yang menangani perkara;
b. penyerahan tahap kedua, dilakukan dengan cara Awak Kapal Tersangka dibawa dari Petugas dengan melampirkan bukti Surat Perintah Pelimpahan Tahap Kedua, Surat Penyerahan Tahap Kedua, dan Berita Acara Pelimpahan Tahap Kedua;
c. penyerahan ke pihak imigrasi, dilakukan kepada Awak Kapal Tersangka warga negara asing yang dilakukan penghentian penyidikan; dan/atau Awak Kapal Non Justitia warga negara asing yang dikeluarkan dari pengawasan petugas untuk keperluan penyerahan ke pihak Imigrasi untuk dideportasi;
d. pemulangan ke daerah asal awak kapal pelaku TPP, dilakukan kepada Awak Kapal Tersangka Warga Negara Indonesia yang dilakukan penghentian penyidikan; dan/atau Awak Kapal Non Justitia Warga Negara Indonesia. Dalam hal pemulangan ke daerah asal Awak Kapal Pelaku TPP karena penghentian penyidikan, PPNS Perikanan wajib menyerahkan bukti pemulangan awak kapal atau bukti perkara bahwa telah disetujui penghentian penyidikan. 
Pemulangan Awak Kapal Non Justitia Ke Daerah Asal
Sesuai dengan ketentuan Pasal 83A ayat (1) UU Perikanan, disebutkan bahwa selain yang ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana perikanan atau tindak pidana lainnya, awak kapal lainnya dapat dipulangkan termasuk yang berkewarganegaraan asing. Proses dalam penanganan awak kapal non justitia dimulai dari tempat penampungan sementara milik PSDKP untuk dilakukan pemeriksaan pendahuluan sampai tahap penyidikan, kemudian awak kapal non justitia berkewarganegaraan asing diserahkan ke Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) setelah itu dipulangkan ke daerah asal.
Tabel di atas menggambarkan pemulangan awak kapal non justitia tahun 2014 – November 2017 sebanyak 2.929 awak kapal yang telah dipulangkan ke daerah asalnya atau ke negaranya. Tahun 2017 Pemerintah Indonesia melalui Ditjen PSDKP bersama dengan Ditjen Imigrasi dan Kementerian Luar Negeri telah melaksanakan pemulangan awak kapal non justitia sebanyak 3 (tiga) kali, yaitu :
1. Pada tanggal 9 Juni 2017, dilaksanakan di Pangkalan PSDKP Batam dengan memulangkan sejumlah 695 (enam ratus sembilan puluh lima) awak kapal non justitia asal Vietnam. Dari 695 orang tersebut, sejumlah 366 (tiga ratus enam puluh enam) orang merupakan awak kapal non justitia yang ditangani oleh Ditjen PSDKP, 329 (tiga ratus dua puluh sembilan) orang lainnya merupakan awak kapal non justitia yang ditangani oleh TNI AL, Polair dan Ditjen Imigrasi;
2. Pada tanggal 10 September 2017, dilaksanakan di Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Asahan dengan memulangkan 5 (lima) awak kapal non justitia Warga Negara Indonesia. 5 (lima) awak kapal WNI tersebut merupakan awak kapal yang ditangkap/ditangani oleh Pangkalan PSDKP Lampulo. 5 Awak Kapal merupakan awak kapal dari KM. SLFA 4641 berbendera Malaysia dan KM. SLFA 4948 berbendera Malaysia;
3. Pada tanggal 4 Oktober 2017, dilaksanakan di Pangkalan PSDKP Batam dengan memulangkan 329 (tiga ratus dua puluh sembilan) awak kapal non justitia Warga Negara Vietnam. Dari 329 orang tersebut, sejumlah 198 (seratus sembilan puluh delapan) orang merupakan awak kapal non justitia yang ditangani oleh Ditjen PSDKP, 41 (empat puluh satu) orang lainnya merupakan awak kapal non justitia yang ditangani oleh TNI AL, Polair dan Ditjen Imigrasi.
Pemulangan ke daerah asal ini dilaksanakan sebagai pembelajaran awak kapal untuk lebih mentaati peraturan perundang-undangan negaranya maupun negara lain. Dengan pemulangan awak kapal non justitia, maka meringangkan tugas dan tanggungjawab PPNS Perikanan dan akan lebih berkonsentrasi pada proses hukum awak kapal yang dijadikan tersangka. 
Untuk awak kapal pelaku tindak pidana perikanan yang masih berada di Rumah Penampungan Ditjen PSDKP sebanyak 156 orang, rekapitulasi datanya dapat dilihat pada tabel berikut:
Sumber : Direktorat Penanganan Pelanggaran, November 2017
Berdasarkan tabel di atas terlihat sebaran awak kapal pelaku tindak pidana perikanan yang masih berada di Rumah Penampungan Sementara Ditjen PSDKP. Status awak kapal pelaku tindak pidana perikanan terdiri dari status pro justitia dan status non justitia, datanya dapat dilihat pada tabel berikut :
Sumber : Direktorat Penanganan Pelanggaran, November 2017
Tabel diatas menggambarkan status awak kapal pelaku tindak pidana perikanan sampai dengan 14 November tahun 2017 terdiri dari 142 awak kapal pro justitia dan dan 141 orang non justitia. Untuk awak kapal pro justitia sebanyak 15 orang dalam tahapan penyidikan yang semuanya masih berada di Rumah Penampungan Sementara Ditjen PSDKP, 7 orang tahapan pelimpahan ke kejaksaan, dan 120 orang pada penyerahan tahap kedua untuk dipersidangkan, mereka ini tersebar di Rutan dan Rudenim. 
Kendala Penanganan Awak Kapal Pelaku Tindak Pidana Perikanan
Penanganan awak kapal pelaku tindak pidana perikanan menghadapi beberapa kendala dalam pelaksanannya, antara lain adanya keterbatasan sarana dan prasarana tempat penampungan (Rumah Penampungan Sementara dan Rudenim), kapasitas tempat penampungan yang tidak mencukupi, keterbatasan jumlah petugas untuk pengamanan, dan keterbatasan penerjemah bahasa asing. Saat ini di setiap UPT PSDKP telah dilengkapi dengan rumah penampungan sementara, tetapi masih ada beberapa sarana dan prasarana belum memadai, khususnya dalam hal tersedianya konsumsi bagi para awak kapal, tempat tidur, dan berbagai fasilitas lainnya. Kondisi ini dikarenakan overload capacity baik itu yang ada di Rumah Penampungan Sementara dan Rudenim.
Akibat kapasitas tempat penampungan yang tidak mencukupi, dikhawatirkan awak kapal pro justitia akan melarikan diri, selain itu seringkali dijumpai awak kapal berkewarganegaraan asing berbaur dengan masyarakat sekitar. Seperti yang terjadi di Tarempa dikarenakan bangunan rumah penampungan sementara milik Ditjen PSDKP terletak tidak jauh dari pemukiman penduduk. Hal ini akan berdampak kepada aspek keamanan masyarakat sekitar maupun aspek keamanan petugas penjaga dikarenakan keterbatasan petugas penjaga untuk mengawasi para awak kapal berkewarganegaraan asing yang ditampung di rumah penampungan sementara.
Selain rumah penampungan sementara, awak kapal pelaku tindak perikanan dapat juga ditampung pada Rudenim Ditjen Imigrasi, penyerahan ke pihak imigrasi, dilakukan kepada awak kapal pro justitia berkewaranegaraan asing yang dilakukan penghentian penyidikan, dan/atau awak kapal non justitia berkewaranegaraan asing yang dikeluarkan dari pengawasan petugas untuk keperluan penyerahan ke pihak Imigrasi untuk dideportasi. Implementasinya di lapangan hal ini menghadapi kendala karena keterbatasan sarana dan prasarana Rudenim sehingga ada beberapa awak kapal tidak ditampung di Rudenim. Hal ini berakibat Ditjen Imigrasi tidak sepenuhnya melaksanakan proses deportasi atau pemulangan awak kapal ke daerah asal atau negara asalnya, tapi melibatkan juga Ditjen PSDKP karena adanya awak kapal perikanan yang masih ditampung di Rumah Penampungan Sementara.
Penanganan awak kapal pelaku tindak pidana perikanan yang berkwarganegaraan asing membutuhkan juga peran Ditjen Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri, hal ini terkait dengan kewajiban Pemerintah Indonesia untuk memberikan informasi kekonsuleran kepada negara asing terkait peristiwa penangkapan, penahanan, persidangan dan hukuman yang dijatuhkan kepada warga negara asing (Pasal 73 ayat 4 UNCLOS). Hal ini berdasarkan juga kepada Pasal 36 dan 37 Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler yang menegaskan adanya pemberitahuan atau notifikasi kepada negara asal awak kapal, pemberitahuan konsuler harus diberikan sesegera mungkin atau tanpa penundaan.
Notifikasi awak kapal perikanan berkewarganegaraan asing bertujuan agar perwakilan negara asal awak kapal perikanan dapat mengetahui dengan segera kondisi terakhir dari warga negaranya maupun kapal perikanan yang digunakan dalam melakukan tindak pidana perikanan serta melakukan hak-hak kekonsuleran dalam upaya perlindungan terhadap warga negaranya yang sedang bermasalah tersebut. 
Keterlibatan lintas kementerian / instansi (Ditjen PSDKP KKP, Ditjen Keimigrasian Kemenkumham, Ditjen Protokol dan Konsuler Kemenlu, TNI AL, dan Polri) pada penanganan awak kapal asing pelaku tindak perikanan belum dipayungi dengan suatu standar operasional prosedur (SOP) bersama, hal ini diperlukan untuk memperjelas peranan masing-masing kementerian / instansi.
Saran                           
Untuk meminimalisir berbagai kendala yang dihadapi dalam penanganan awak kapal pelaku tindak pidana perikanan, Ditjen PSDKP perlu melakukan upaya percepatan proses hukum terhadap awak kapal yang dijadikan tersangka dan saksi. Selain itu, melakukan percepatan pemulangan awak kapal non justitia dengan memaksimalkan wadah Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perikanan, yang di dalam forum tersebut telah bersinergi beberapa lembaga kementerian / instansi terkait. Melalui forum tersebut dapat juga disepakati suatu format mekanisme formal atau SOP bersama dalam penanganan dan pemulangan awak kapal.
SOP Bersama mengenai penanganan dan pemulangan awak kapal pelaku tindak pidana perikanan akan melibatkan aparat penegak hukum tindak pidana perikanan, yaitu PPNS Perikanan, TNI AL, dan Kepolisian, serta Ditjen Imigirasi Kemenkumham dan Ditjen Protokol dan Konsuler Kemenlu. Dalam SOP ini akan diatur mengenai mekanisme koordinasi antar instansi dalam hal penampungan awak kapal berkewarganegaraan asing, bantuan pengamanan dari pihak kepolisian dan TNI AL dalam hal pengamanan awak kapal berkewarganegaraan asing di Rumah Penampungan Sementara ataupun di Rudenim, pembuatan aplikasi database awak kapal berkewarganegaraan asing yang melakukan tindak pidana perikanan, pertukaran data dan informasi penanganan awak kapal asing, serta proses pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing ke negara asalnya.

Jakarta, November 2017



Sherief Maronie & Rangga Dwi W.
Analis Hukum di Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan



[1] http://news.metrotvnews.com/peristiwa/GNl6omXk-alasan-nelayan-vietnam-tak-kapok-curi-ikan-di-perairan-indonesia


Komentar

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda?

Postingan populer dari blog ini

Teori Kontrol (Kriminologi)

Peradaban Islam Masa Daulah Utsmani

Teori Subculture (Kriminologi)