Relevansi Perma Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Oleh Korporasi Dengan Tindak Pidana Perikanan


Pengaturan terhadap korporasi dalam UU Nomor 31 Tahun 2004 sebagaiamana diubah dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan (selanjutnya disebut UU Perikanan) masih tergolong lemah, meskipun di dalam UU Perikanan telah diatur tentang prinsip pertanggungjawaban pidana bagi korporasi, serta pihak yang dapat dibebankan tanggung jawab ketika korporasi melakukan delik, namun menurut hemat penulis, pengaturan tentang prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi dalam undang-undang perikanan masih menimbulkan penafsiran yang bersifat multi-interpretatif dan memiliki kelemahan. Kelemahan dimaksud menyangkut persoalan yang substansial, khususnya jika dikaitkan dengan pertanggungjawaban korporasi.
Kelemahan itu antara lain, UU Perikanan tidak mengatur kriteria atau rumusan tentang korporasi dikatakan melakukan suatu delik, dimana dalam UU Perikanan, pertanggungjawaban pidana korporasi hanya terdapat dalam Pasal 101 yang pada prinsipnya pertanggungjawaban pidana korporasi dibebankan terhadap pengurusnya bukan korporasinya.
Mengacu kepada ketentuan Pasal 101 UU Perikanan, pengurus korporasi merupakan pihak yang dapat dituntut dan dibebankan pertanggungjawaban pidana, tetapi yang menjadi persoalan ialah kata ”pengurus” tidak memiliki definisi atau pengertian yang jelas. UU Perikanan sama sekali tidak menjelaskan hal-hal mengenai pengertian dari kata ”pengurus”, pihak mana saja dalam struktur kepengurusan suatu korporasi yang dapat dimintai pertanggungjawaban, ataupun sampai di mana kewenangan yang dimiliki oleh pihak dalam struktur kepengurusan korporasi yang dapat dibebankan tanggung jawab pidana.
Persoalan ini menjadi penting atas pemikiran sederhana, bahwa pada struktur kepengurusan korporasi tidak hanya satu pihak yang berada di dalamnya. Demikian juga dengan satuan-satuan kerja di dalam korporasi tidak terdiri dari satu unit saja. Unit-unit kerja tersebut pastinya dikendalikan oleh beberapa orang disertai kewenangan masing-masing. Begitupun persoalan, pertanggungjawaban pidana tersebut apakah dibebankan kepada pengurus yang bekerja di lapangan, atau diberikan kepada atasannya. Jika hal tersebut tidak ditentukan, secara logis akan sangat sulit menentukan pihak dalam kepengurusan dalam suatu korporasi untuk bertanggungjawab.
Permasalahan kata “pengurus” kemudian sedikit terjawab dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Oleh Korporasi, Perma ini memprafasakan kata “pengurus” yang pada Pasal angka 10 disebutkan bahwa :
Pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan pengurusan korporasi sesuai anggaran dasar atau undang-undang yang berwenang mewakili korporasi, termasuk mereka yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, namun dalam kenyatannya dapat mengendalikan atau turut mempengaruhi kebijakan korporasi atau turut memutuskan kebijakan dalam korporasi yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana.
Namun menurut penulis, hal ini kemudian menjadi permasalahan baru karena tidak adanya batasan dalam menentukan perbuatan seseorang yang tidak punya kewenangan mengambil keputusan namun dapat mengendalikan atau mempengaruhi kebijakan korporasi.
Permasalahan lain yang ada dalam UU Perikanan terkait korporasi dapat ditemukan juga ketika pengurus yang terpidana tidak sanggup untuk membayar denda yang dibebankan kepadanya, Perma ini tidak menjawab permasalahan tersebut berdasarkan Pasal 29 ayat (3) mengenai pelaksanaan putusan disebutkan bahwa Jika denda tidak dibayar sebagian atau seluruhnya, pengurus dijatuhkan pidana kurungan pengganti denda yang dihitung secara proposional. Hal ini berbeda dengan Pasal 28 (3) jika terpidana korporasi tidak membayar denda maka harta benda korporasi dapat disita kemudian dilelang untuk membayar denda. Dalam ketentuan penjatuhan pidana kepada pengurus tidak diatur pengalihan pertanggungjawaban kepada korporasi bilamana pengurus korporasi yang terpidana tidak membayar denda.
Meskipun Perma ini masih belum menutupi permasalahan yang ada dalam UU Perikanan, kita harus tetap mendukung kehadiran Perma ini untuk menciptakan prinsip good corporate governance, untuk itu dibutuhkan komitmen dan pemahaman yang sama bagi aparat penegak hukum tindak pidana perikanan. Caranya, melakukan diseminasi atau sosialisasi agar ada pemahaman/persepsi yang sama antar aparat penegak hukum tindak pidana perikanan dalam menangani kejahatan korporasi.

Jakarta, 2 Maret 2017



Sherief Maronie, SH. MH.
Analis Hukum pada Direktorat Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP, KKP 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Kontrol (Kriminologi)

Peradaban Islam Masa Daulah Utsmani

Teori Subculture (Kriminologi)