Delik & Pertanggungjawaban Pidana; Mens Rea
Kalau
Actus Reus menyangkut perbuatan yang melawan hukum, maka mens rea mencakup unsur-unsur pembuat delik, yaitu sikap batin yang
oleh pandangan monistis tentang delik disebut unsur subjektif suatu delik atau
keadaan psikis pembuat.
Untuk
menjatuhkan pidana disyaratkan, bahwa seorang harus melakukan perbuatan aktif
atau pasif seperti ditentukan oleh undang-undang pidana, yang melawan hukum,
dan tak aanya dasar pembensar serta adanya kesalahan dalam arti luas (yang
meliputi kemampuan bertanggungjawab, sengaja atau kelalaian) dan tak adanya
dasar pemaaf.
Kalau
kita telah dapat membedakan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban
pidana maka mudalah kita menentukan dipidana atau dibebaskan ataupun dilepaskan
dari segala tuntutan pembuat delik. Apabila perbuatan tidak terbukti atau salah
satu unsur delik itu tidak terbukti diwujudkan oleh terdakwa, maka putusan
hakim seharusnya bebas (vrispraajk). Demikianpun halnya apabila
perbuatan yang dituduhkan oleh Penuntut Umum tidak terbukti sebagai perbuatan
yang dapat dipidana pembuatnya (bukan delik menurut undang-undang pidana)
Menurut
Zainal Abidin, bahwa kesalahan merupakan unsur pembuat delik, jadi termasuk
unsur pertanggungjawaban pidana. Dalam hal kesalahan tidak terbukti berarti
bahwa perbuatan pidana (actus reus) sebenarnya telah terbukti, karena tidak
mungkin hakim akan membuktikan adanya kesalahan jikalau ia telah mengetahuinya
terlebih dahulu, bahwa perbuatan pidana tidak ada atau tidak terbukti maka
terdakwa harus dilepaskan dari segala
tuntutan hukum (onslaag).
Pandangan
dualistik mengenai delik lebih memuaskan daripada pandangan monistik. Jika
pandangan dualistis yang dianut maka akan jelas perbedaan antara syarat-syarat
pemidanaan dan perbuatan pidana, juga akan jelas perbedaan antara perbuatan
pidana (actus reus) dan pertanggungjawaban pidana (mens rea).
Mens Rea
mencakup : kesalahan dalam arti luas (sengaja dan lalai), kemampuan
bertanggungjawab, dan tidak adanya dasar pemaaf.
KEMAMPUAN
BERTANGGUNGJAWAB
Seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan
kriminalnya adalah orang yang berkemampuan bertanggungjawab. Kriteria mampu bertanggung jawab tidak diatur
dalam KUHP. Namun para ahli hukum menyimpulkan mengenai kriteria yang mampu
bertanggungjawab, yaitu :
1. Orang itu mampu mengetahui atau menyadari bahwa
perbuatannya itu bertentangan dengan hukum
2. Orang itu dapat
menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran yang dimilikinya.
Dalam Pasal 44 KUHP berbunyi :
”Tidak boleh dipidana ialah barangsiapa yang mewujudkan suatu delik, yang tidak
dapat dipertanggungkan kepadanya disebabkan oleh kekurang sempurnaan
pertumbuhan akalnya atau sakit gangguan akal”.
Dapat disimpulkan pasal 44 KUHP, yaitu : Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (gila) dan
terganggu jiwanya
karena penyakit.
Tidak mampu betanggungjawab untuk sebagian ditujukan
kepada penderita penyakit jiwa :
1.
Kleptomanie : suka mencuri
barang-barang yang kecil (negatif)
2.
Pyromanie : suka membakar
3.
Claustrophobie : takut berada di ruang sempit
4.
Nycotophobia : takut pada kegelapan
5.
Gynophobia : takut pada wanita
6.
Aerophobia : takut di
tempat tinggi
7.
Ochlophobia : takut pada orang banyak
8. Monophobia
: takut sendiri / sunyi
Kurang mampu bertanggungjawab dapat dianggap, Pelakunya
tetap dianggap mampu bertanggungjawab, akan tetapi kekurangan itu dipandang
sebagai faktor yang meringankan. Contoh, orang yang jiwanya kurang sempurna.
Keterangan ini dikeluarkan oleh dokter jiwa.
Mabok (intoxication / dronkenschap),
Mabok yang
disebabkan oleh bukan kemauan sendiri maka tidak dipidana dan Mabok yang memang dikehendaki oleh si
pelaku, maka dapat dipidana
DOLUS/OPZET
(KESENGAJAAN)
Menurut sejarah
dahulu pernah direncanakan dalam undang-undang 1804 bahwa kesengajaan adalah
kesengajaan jahat sebagai keinginan untuk bebuat tidak baik, juga pernah
dicantumkan di dalam pasal 11 Criminal Wetboek 1809 yang menerangkan bahwa
kesengajaan keinginan/maksud untuk melakukan perbuatan atau diharuskan oleh
undang-undang. Di dalam WvSr tahun 1881 yang mulai berlaku 1 September 1886
tidak lagi mencantumkan arti kesengajaan seperti rancangan terdahulu (Jonkers
1946: 45).
Seseorang
yang berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat dan harus
diketahui pula atas apa yang diperbuat. Tidak termasuk perbuatan dengan sengaja
adalah suatu gerakan yang ditimbulkan oleh reflek, gerakan tangkisan yang tidak
dikendalikan oleh kesadaran.
Kesengajaan itu secara alternatif,
dapat ditujukan kepada tiga elemen perbuatan pidana sehingga terwujud
kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat dan kesengajaan
terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana.
Teori
kehandak (wilstheorie)
yang diajarkan oleh Von Hippel
(Jerman) dengan karanganya tentang “Die Grenze von Vorzatz und Fahrlassigkeit”
1903 menerangkan bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan
dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatn itu, dengan kata lain apabila
seseorang melakukan perbuatan yang tertentu, tentu saja melakukannya itu
kehendak menimbulkan akibat tertentu pula, karena ia melakukan perbuatan itu
justru dapat dikatan bahwa ia menghendaki akibatnya, ataupun hal ikhwal yang
menyertai.
Teori
membayangkan (vorrstellingtheorie) yang
diajarkan oleh Frank (Jerman) dengan karanganya tentang “Vorstelung un
Wille in der Moderner Doluslehre” 1907, menerangkan bahwa tidaklah mungkin
sesuatu akibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh
pembuatnya tentu dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat
membayangkan/menyangka terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai.
Menurt
teori keehendak (willstheorie) adalah hal baik terhadap perbuatnnya maupun
terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai, dapat dikehendaki oleh si
pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat dapat ditujukan kepada perbuatan,
akibat dan hal ikhwal yang menyertai. Sebaliknya menurut teori
pengetahuian/membayangkan/persangkaan (voorstellingstheorie) bahwa aakibat atau
hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga
kesengajaan si pembuat hanya dapat dtujukan kepada perbuatan saja.
Dalam
kehidupan sehari-hari memang seseorang yang hendak membunuh orang lain, lalu
menembakkan pistol dan pelurunya meletus ke arah sasaran, maka perbuatan
menembak itu dikehendaki oleh si pembuat, akan tetapi akibatnya belum tentu
timbul karena meleset pelurunya, yang oleh karena itu si pembuat bukannya
menghendaki akibatnya melainkan hanya dapat membayangkan/menyangka
(voorstellen) bahwa akibat perbuatannya itu akan timbul.
Akibat
mati seperti itu tidak tergantung pada kehendak manusia, dan tepatlah alam
pikiran dari voorstellingstheorie. De voorstellingstheorie dari Frank menjadi
teori yang banyak penganutnya, dan oleh Prof. Moeljanto untuk teori ini diikuti
jalan piikiran bahwa voorstellingstheorielebih memuaskan karena dalam kehendak
dengan sendirinya diliputi pengetahuan (gambaran) dimana seseorang untuk
menghendaki sesuatu lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran)
tentang sesuatu itu , lagi pula kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan,
hal mana berhubungan dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat) dan
tujuannya perbuatan.
Istilah-
istilah sengaja (dolus) dalam dalam rumusan rumusan delik dalam KUHP, yaitu :
-
Dengan sengaja
: Ps 338
-
Mengetahui
bahwa : Ps 220
-
Tahu tentang
: Ps 164
-
Dengan maksud
: Ps 362, 378, 263
-
Niat : Ps
53
-
dengan rencana
lebih dahulu : Ps 340, 355
* dengan rencana : (a) saat pemikiran tenang;
(b) berpikir dengan tenang; (c) direnungkan lebih dahulu.
* ada tenggang waktu antara timbulnya niat dengan
pelaksanaan delik
Ada
3 macam corak kesengajaan (dolus) :
1.
Sengaja
sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk)
2. Sengaja
sebagai kesadaran (keinsyafan) akan keharusan atau sadar akan kepastian (opzet
bij zekerheidsbewustzijn).
3.
Sengaja sebagai
kesadaran (keinsyafan) akan kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-bewutzijn atau
dolus eventualis)
1. Sengaja
sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk):
-
terjadi
apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya;
-
tidak
dilakukan perbuatan itu jika pembuat tahu akibat perbuatannya
Contoh :
A memecahkan kaca etalase sebuah penjual emas, suapaya dapat mengambil emas
yang dipamerkan. Memacahkan kaca dilakukan dengan sengaja sebagai maksud.
Akibat perbuatan A ialah pecahnya kaca yang dikehendakainya, supaya A dapat
mengambil emas. Andaikata A mengetahui bahwa kaca tidak akan kalau dipukulnya,
maka sudah tentu ia tidak akan melakukan perbuatan itu. Sengaja A dalam
memacahkan kaca adalah sengaja sebagai maksud, selanjutnya mengambil emas
menjadi bayangan yang ditimbulkan
setelah kaca pecah, perbuatan memecahkan adalah maksud A, sedangkan mengambil
emas sesudah pecah kaca menjadi motif
atau alasan.
2.
Sengaja
sebagai kesadaran (keinsyafan) akan keharusan atau sadar akan kepastian (opzet
bij zekerheidsbewustzijn)
pembuat yakin
bahwa akibat yg dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa terjadinya akibat yg tidak dimaksud. Contoh : A adalah
pemilik sebuah Kapal Motor Pesiar, karena ingin mendapatkan asuransi atas kapal
tersebut, maka A mempunyai rencana untuk meledekkan mesin kapal di laut lepas.
Maksud langsung A adalaah diterimanya uang asuransi, tetaapi secara manusiai dapat
dikatakan bahwa maksud langsung itu berkaitan erat dengan tenggelamnya kapal
serta penumpang kapal, dengan kata lain A menyadari akan kepastian atau
keharusan akan tenggelamnya kapal beserta penumpangnya. Jadi kesengajaan
meliputi juga pembunuhan orang-orang yang beraada di kapal itu. Memperoleh
asuransi merupakan maksud yang berfungsi juga sebagai motif atau alasan.
Walaupun ia tidak menginginkan kematian penumpang kapal itu, tetapi ia
menyadari bahwa mereka itu akan pasti dan harus mati.
3.
Sengaja
sebagai kesadaran (keinsyafan) akan kemungkinan (opzet bij
mogelijkheids-bewutzijn atau dolus eventualis), pembuat sadar bahwa mungkin akibat yg tidak dikehendaki
akan terjadi untuk mencapai akibat yg dimaksudnya.
Ada
2 macam sengaja sbg keinsyafan kemungkinan (Hazewinkel-Suringa):
a) sengaja dgn kemungkinan sekali terjadi
b)
sengaja dgn kemungkinan terjadi/ sengaja bersyarat/ dolus eventualis
Contoh
Kasus : A & B adalah suami-isteri, oleh suatu sebab yang bukan karena
perceraiannya A & B terpisah. Kemudian A kawin dengan C, walaupun ia belum
memperoleh kabar resmi bahwa B istrinya yang pertama benar telah meninggal
dunia. Dalam peristiwa tersebut, oleh karena tidak ada kabar positif tentang
kematia si B, A tidak pasti mengatahui
apakah dengan mengawini C, A telah mekakukan delik bigami, akan tetapi A hanya dapat menduga akan masih hidupnya
B si istri pertamanya, karena tak ada alasan untuk menduga bahwa istri
pertamanya sudah mati. Dalam hal ini A mempunyai keinsyafan akan sesuatu kemungkinan.
Hal tidak memperoleh berita tersebut merupakan ukuran objektif, untuk menarik
kesimpulan bahwa A tidak pasti mengetahui apakah B sudah meninggal atau belum.
DIkatakan objektif, karena kawain lagi dengan C walaupun belum memperoleh
tentang kematian si B pada umumnya merupakan hal yang mewujudkan delik bigami.
Menurut
hemat, kesengajaan A paling kurang sudah termasuk sengaja sadar akan kemungkinan, oleh karena ia dapat membayangkan
kemungkinan akan tidak matinya si B, namun ia tidak mengurungkan niatnya untuk
kawin dengan si C.
Sehubungan
dengan kasus diatas maka Teori waarschijnlijk
(kemungkinan besar) yang digunakan, teori ini berdasarkan ukuran objektif
yang mengajarkan tiada seorang pun yang dapat mengetahui pasti tentang akibat
perbuatanya sebelum benar-benar
terwujud akibat perbuatannya. Demikian juga halnya tentang hal-hal atau keadaan
yang menyertai perbuatannya tidaklah juga dapat diketahui dengan pasti sebelum
akibat terwujud, pembuat delik hanya dapat memahami atau pun menduga ataupun mengharapakn
akibat perbuatanatau keadaan yang menyertainya.
Teori“inkaufnehmen” adalah
teori mengenai dolus eventaulis,
bukan mengenai kesengajaan. Disini ternyata bahwa sesungguhnya akibat atau
keadaan yang diketahui kemungkinan akan adanya, tidak disetujui. Tapi meskipun
demikian, untuk mencapai apa yang dimaksud, resiko akan timbulnya akibat atau keadaan
disamping maksudnya itupun diterima.
Maka dari
itu teori ini dikatakan inkauf nehmen
yang diterjemahkan oleh Prof. Moeljatno dengan teori “teori apa boleh buat”: sebab resiko yang diketahui kemungkinan akan
adanya itu sungguh-sungguh timbul (disamping hal yang dimaksud), apa boleh buat,
dia juga berani pikul resikonya. Jadi menurut teori ini untuk adanya
kesengajaan diperlukan adanya dua syarat :
1 .
terdakwa
mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaan yang merupakan delik;
2 .
sikapnya
terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh timbul, ialah apa boleh buat, dapat disetujui dan berani mengambil resiko.
Untuk
memperjelas mengenai masalah perbedaan corak-corak dolus, simak contoh sebagai
berikut :
A berniat
membunuh B yang dilihatnya sementara duduk di tanggul Pantai Losari. Pada waktu
A membidikkan senapannya ke B, dilihatnya C duduk disamping B. A mengetahui bahwa kalau ia melaksanakan niatnya untuk membunuh B, maka pasti atau harus C mati juga karena C terlebih dahulu yang akan
ditembakkannya dan peluru terus meluncur menembus badan C lalu mengenai B. A
sama sekali tidak berniat untuk membunuh C, namun ia tidak dapat mencapai
tujuan (membunuh B) kalau ia tidak menghilangkan nyawa C (yang tidak
dikehendakinya). A juga membayangkan sebagai kemungkinan besar peluru yang ditembakkan setelah mengenai C dan B
akan berjalan terus mengenai orang lain. Walaupun terbayang dalam
kemungkinannya itu diharapkannya supaya mudaha-mudahan tidak akan terjadi,
tetapi kalau terjadi ia mengatakan “apa boleh buat”. Jadi A berani memikul
resiko akan kemungkinan matinya atau lukanya orang lain itu. Maka dilepaskanlah
tembakan dan mengenai C kemudian terus mengenai B, dan terakhir mengenai D yang
kebetulan sedang jongkok membuang air besar. C dan B meninggal sedangkan D
memperoleh luka.
Dalam
contoh kasus tersebut maka ada 3 delik yaitu menghilangkan nyawa C dan B, kedua
adalah mencoba untuk menghilangkan
nyawa D (Pasal 338 dan Pasal 53 jo. Pasal 338 KUHP jo. Pasal 65 KUHP), ketiga
memakai senjata api tanpa sura izin pemerintah. Perbuatan-perbuatan A tersebut
termasuk concursus realis, gabungan
nyata empat kejahatan yang ancaman pidana maksimumnya tidak sejenis, yaitu 3 jenis sanksi penjara dan pidana mati. Adapun
sengaja A terhadap C adalah sengaja sadar
akan kepastian atau keharusan (corak II), sengaja A terhadap B adalah sengaja sadar sebagai niat (corak I),
dan sengaja A terhadap D adalah sengaja sadar akan kemungkinan (dolus eventualis).
ERROR/DWALING
(KEKHILAFAN )
Erorr
atau kekhilafan ataupun kesalahpahaman menurut Satochid Kertanegara terbagi
atas :
a. kesalahapahaman
sebenarnya (error in facti)
b. kesalahpahaman
hukum (eorrr in law)
Contoh error in facti : A mengambil tas yang
dikira tasnya, dalam hal tersebut khilaf tentang fakta dan tidak dapat
dipidana, karena ia tidak mengetahui barang itu adalah milik orang lain.
Kesalahannya ditiadakan karena ia telah bertindak secara bonafide, dengan itikad baik. Didalam hukum pidana dikenal dengan
adgium tiada pidana tanpa kesalahan, yang
merupakan dasar pemaaf yang tidak tertulis.
Menurut
ketentuan umum, kehilafan tentang fakta atau keadaan terdapat dalam dua hal :
1. pembuat
delik tidak menyadari beberapa unsure-unsur mutlak delik yang dilakukannya
seperti ditetapkan oleh pembuat undang-undang;
2.
ia secara
keliru mengaggap bahwa keadaan-keadaan tertentu ada, yang bilamana betul-betul
ada, perbuatan demikian diizinkan.
Apakah error in facti berpengaruh terhadap
kesengjaan ? Kartengara menjawab pertanyaan ini sebagai berikut “apabila opzet
ditujukan terhadap sesuatu kejahatan atau pelanggaran memiliki unsure yang
diliputi oleh opzet, maka apabila salah paham mengenai salah satu unsur itu, maka
si pelaku tidak dapat dihukum”.
Contoh :
A melihat barang yang indah yang ingin dimilikinya ia kira barang tersebut
milik orang lain, dan barang itu diambilnya. A beranggapan ia mencuri barang
itu, akan tetapi kemudian ternyata bahwa barang itu memang dihadiakan untuk si
A. dalam hal ini dengan sendirinya A tidak dihukum.
Dalam hal
demikian, delik telah terjadi karena semua unsure-unsur delik menurut Pasal 362
KUHP terbukti, tetapi salah satu unsure pertanggungjawaban pidana tidak
terbukti yaitu kesalahan, dan pelakunya harus dilepaskan dari segala tuntutan
hukum. Zainal Abidin Farid tidak sependapat dengan uraian Kartenagara tersebut,
yang menyatakan bahwa barang itu milik A sendiri pada waktu diambilnya. Menurut
Zainal Abidin Farid, barang itu belum menjadi miliknya karena belum dihadiakan
pada waktu diambilnya.
Error
in Juris, atau khilaf pada hukum ada pada
pembuat delik, bilama ia telah terbukti melakukan delik, namun ia tidak
mengetahui bahwa perbuatan demikian dilarang oleh undang-undang pidana. Ia harus
dipidana sekalipun ia tidak mengetahui adanya larangan itu, oleh karena adanya
fiksi hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dianggap mengetahui
undang-undang.
Ada juga
dikenal error in objecto dan error in persona. Error in persona ketika
pembuat salah tentang orang, sedangkan error
in objeco ketika pelaku salah tentang objek.
Error
in persona harus dibedakan dengan aberatio ictus. Aberatio Ictus umpanya
terdapat bilamana pembuat delik tidak mengenai sasaran tembaknya, tetapi
mengenai orang lain yang kebetulan berada dekat sasaran dalam hal ini tidak aa dwaling atau kekhilafan, tetapi afdwaling peluru yang ditembakkan dari senjata api pembuat delik,
dalam hal ini tidak terjadi pembunuhan dengan sengaja terhadap orang yang kena
tembak, tetapi delik culpa menurut pasal 359 KUHP yaitu karena salahnya
(keaalpannya) mengakibatkan matinya orang lain.
Selain itu
pembuat delik juga dapat dipidana melakukan percobaan pembunuhan terhadap orang
yang dimaksudkan yang kebetulan tidak kena peluru. Pembuat delik juga dapat
dikatakan mempunyai sadar akan kemungkinan (dolus
evantualis) terhadap orang yang akan dikena peluru (yang bukan menjadi
sasaran tembaknya), jikalau pembuat delik sebelum melepaskan tembakannya sadar
akan kemungkinan peluru yang akan ditembakkannya mengenai orang lain yang bukan
dimaksudkannya, namun ia berharap mudah-mudahan tidak demikian, namun ia berani
melepaskan tembakan dengan memikul resiko kelak jikalau tidak mengenai sasaran
tetapi mengenai orang lain yang tidak dikehendaki.
Error
in objecto terdapat bilamana pembuat delik
bermaksud untuk mencuri perhiasan emas tetapi perhiasaan yang diambilnya
ternyata imitasi emas, error in objecto
adalah kekhilafan tentang barang yang menjadi tujuan perbuatan pembuat delik.
Error
in Objecto dapat merupakan error in persona seperti contoh yang diberikan oleh Satochid
Kartanegara sebagai berikut :
A
mempunyai maksud membunuh B, oleh karena A takut melaksanakan maksudnya dengan
terang-terangan maka A menyelidiki gerak-gerik B, bahwa setiap malam jam 20.00
pulang dari kantor dengan melalui jalan yang gelap. Pada suatu malam A
berjaga-jaga dibelakang pohon di jalan yang gelap tadi dan yang selalu dilalui
B. Tepat pada jam 20.00 A mendengar ada dua orang yang dating dan A mengira
orang yang dating itu adalah B. setelah orang itu dating dan mendekat, A keluar
dari pohon selanjutnya melakukan pembunuhan terhadap orang itu. Akan tetapi
orang yang dibunuh itu bukan B tapi C yang bukan menjadi tujuan A.
Dalam
kasus ini maka A dalam keadaan error in
persona dan juga error in objecto
dan perbuatannya tetap melakukan delik pembunuhan sekalipun bukan B yang
meinggal dunia. PAsal 338 tidak menyebut merampas nyawa orang lain yang
dimaksudkannya, tetapi hanya menyatakan bahwa barang siapa yang merampas nyawa orang lain.
Lain
halnya jikalau A bertujuan membunuh seseorang yang mempunyai jabatan tertentu
yang merupakan suatu unsur delik tertentu, misalnya Pasal 104 KUHP tentang
penyerangan yang dilakukan dengan maksud membunuh Presiden atau Wakil Presiden.
Menurut pasal ini merupakan delik khusus yang diancan dengan hukuman mati. Jika
ini terjadi maka si A tidak dapat dipidana menurut Pasal 104 KUHP tetapi
menurut Pasal 340 atau 338 tentang pembunuhan terhadap orang lain.
CULPA
LATA (KEALPAAN dan KELALAIAN)
Di dalam
kepustakaan Ilmu Hukum Pidana culpa lata sering
disebut sebagai kesalahan dalam arti sempit, yaitu schuld in engzin, sedangkan kesalahan dalam arti luas mencakup juga
dolus atau kesengajaan. Satochid
Kertanegara menganjurkan untuk tidak menggunakan istilah “keselahan” karena
pengertiannya tidak sama dengan schuld dalam bahasa Belanda. Pendapat tersebut benar,
karena sebagian orang Indonesia mengidentifikasikan kesalahan dengan perbuatan
tercela.
Perbedaan
antara Dolus dan Culpa juga dipergunakan di dalam hukum pidana :
Dolus
|
Culpa
|
1.
Perbuatan
dilakukan dengan sengaja
2. Perbuatan
itu disebut dengan doleuze delicten
3. Diancam
dengan hukuman pidana lebih berat daripada culpa.
|
1. Perbuatan
yang dilakukan dengan kealpaan / kelalaian.
2. Perbuatan
itu disebut culpose delicten atau schuld delicten
3. Ancaman
hukumannya lebih ringan daripada dolus.
|
Culpa
lata berarti kesalahan dalam arti sempit
atau lebih ringan karena tidak mencakup kesengajaan. Perbedaannya dengan Dolus ialah menghendaki atau telah
menerima ataupun termasuk perhitungannya akan akibat yang akan terjadi,
sedangkan sebaliknya delik culpa
walaupun ia mengetahui akibat yang akan terjadi, ia bersikap acuh tak acuh atau
tidak menghiraukannya.
Kapankah
culpa itu ada pada suatu perbuatan,
maka ada dua pandangan dalam hal ini, yaitu :
a. pandangan
subjektif, yang menitik beratkan pada syarat subjektif;
b. pandangan
objektif, yang menitikberatkan pada syarat objektif.
Pandangan
yang subjektif melihat pada syarat adanya sikap batin seseorang dalam
hubungannya dengan perbuatan dan akibat perbuatan yang dapat dipersalahkan
sehingga ia dapat dibebani tanggungjaawab atas perbuatannya itu. Contoh adanya
hubbungan batin dengan perbuatan pada pasal 205 (1), 287 (1), 290, dan 409.
Sementara hubungan batin dengan akibatnya ialah kejahatan dalam Pasal 114, 359,
360.
Kelalaian
yang berupa sikap batin dalam hubungannya dengan perbuatan sebenarnya ialah
dalam hendak melakukan wujud perbuatan tertentu. Seseorang tidak mengindhakan
atau kurang mengindahkan, atau tidak bersikap hati-hati terhadap segala sesuatu
yang ada dan berlaku mengenai perbuatan atau sekitar perbuatan itu. Sementara
sikap batin yang berhubungan dengan akibat perbuatan dapat terletak pada dua
hal yaitu, terletak pada ketiadaan pikiran sama sekali dan terletak pada
pemikiran bahwa akibat tidak akan terjadi.
Culpa
yang tidak disadari (lalai),
dalam alam batin orang itu tidak sedikitpun ada kesadaran/ada pikiran bahwa
dari perbuatan yang hendak ia lakukan itu dapat menimbulkan suatu akibat yang
dilarang oleh undang-undang padahal ia seharusnya memikirkan hal itu.
Culpa
lata yang disadari (alpa),
keselahan terletak pada sikap batin
yang sudah memikirkan tentang kemungkinan timbulnya akibat terlarang, namun
dalam batinnya begitu percaya bahwa akibat itu tidak akan timbul. Ternyata
setelah diwujudkan perbuatan, akibat itu benar-benar timbul. Jadi, dalam hal
ini merupakan kesalahan dalam berpikir.
Sementara
pandangan objektif meletakkan syarat culpa
dari suatu perbuatanm yaitu pada ukuran kebiasaan dan kewajaran yang berlaku
dalam masyarakat. Dalam kondisi yang sama serta syarat-syarat lainnya yang
sama, apakah pilihan perbuatan orang itu sudah dipandang benar ataukah tidak
dari sudut kebiasaan yang berlaku pada umumnya.
Maksudnya
ada culpa apabila pilihan perbuatan
orang itu dalam kondisi yang sama dan dengan syarat-syarat lainnya yang sama
bagi orang lain pada umumnya tidak melakukan perbuatan sebagaimana yang
dilakukan oleh orang itu. Sebaliknya apabila dalam kondisi dan dengan
syarat-syarat yang sama dengan orang lain pada umumnya melakukan perbuatan yang
sama dengan perbuatan yang menjadi pilihan orang itu, maka disini tidak ada
culpa.
Untuk
menentukan adanya dolus atau culpa lata adalah sangat sulit, sehingga didalam praktek peradilan digunakan system objective culpa atau kelalaian yang diobjektifkan. Cara yang
digunakan ini ialah dengan menganalisis perbuatan berbahaya yang dilakukan oleh
terdakwa, hakim dapat menarik kesimpulan bahwa terdakwa (yang lazimnya
menyangkal) dengan perbuatannya yang berbahaya itu mempunyai keaalpaan atau
kelalaian.
Syarat
kedua culpa lata menurut Kertenagara ialah bahwa akibat yang dapat diduga
sebelumnya, membuat perbuatan itu sebagai delik. Kriteria apakah yang dapat
digunakan sehingga seorang pelaku delik dapat dikategorikan sebagai dapat
menduga atau membayangkan akan timbulnya suatu akibat ? untuk menentukan hal
itu Ketanegara menggunakan pegangan sebagai berikut :
Jika
dikatakan si pelakulah yang dapat menduga atau membayangkan akibat atau
masalah, maka syayata itu belum cukup, sebab si pelaku tidak hanya saja
membayangkan atau menduga timbulnya akibat atau masalah, bahkan ia seharusnya dapat membayangkan timbulnya
itu. Di dalam hal ini juga dipakai ukuran seperti yang digunakan dalam
menentukan timbulnya suatu akibat atau masalah atau tidak ? jika ternyata
lain-lain orang tidak dapat membayangkan, maka juga tidak terdapat culpa.
Dapatlah
disimpulkan bahwa culpa lata menurut
MVT terdapat pada seorang dader atau
si pembuat delik jikalau ia :
a.
kekurangan
pemikiran yang diperlukan;
b.
kekurangan
pengetahuan yang diperlukan; atau
c.
kekurangan
kebijaksanaan yang diperlukan.
DI dalam
Pasal 480 KUHP terdapat dua macam sikap batin yang harus dimiliki oleh dader delik penadahan agar ia dapat
dipidana, yaitu ia mengetahui atau patut dapat menduga. Mengetahui adalah
sinonim dari dolus atau kesengajaan
sedangkan patut dapat menduga adalah
sinonim dari culpa lata yang disadari.
Perbedaan
antara dolus eventualis dan culpa lata yang disadari (alpa) menurut
Kertanegara dilukiskan sebagai berikut :
Schuld
dengan kesadaran (baca : culpa lata yang disadari atau alpa) ini terdapat bila
si pelaku dalam melakukan perbuatan dapat membayangkan atau menduga akan
timbulnya suatu akibat, akan tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah
timbulnya akibat itu, akibat tetap timbul.
Dolus
Eventualis, itu terdapat apabila seseorang
melakukan sesuatu perbuatan untuk mencapai maksud tertentu, sedang dalam pada
itu ia dapat membayangkan, bahwa apabila ia melakukan perbuatan yang
dimaksudkan itu, mungkin akan timbul lain akibat yang bukan menjadi tujuannya
dan yang juga dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang.
Tetapi
akibat yang pertama dan yang menjadi tujuannya si pelaku mempunyai opzet sebagai tujuan (baca sengaja
sebagai corak pertama atau sengaja sebagai maksud), sedang terhadap akibat yang
timbul apabila ia melakukan perbuatannya guna mencapai maksudnya yang tertentu
tadi, ia mempunya opzet dengan
kesadaran akan kemungkinannya (sengaja corak ketiga, sengaja sadar akan
kemungkinan terwujudnya akibat yang tidak dikehendaki) atau opzet dengan syarat atau dolus eventualis.
Jadi
dalam hal itu si pelaku dapat membayangkan adanya kemungkinan akan timbulnya
akibat, yang bukan menjadi tujuannya tertentu. Untuk dapat membedakan dolus eventualis dengan culpa, harus diambil sebagai pokok
pangkal adalah keadaan jiwa si pelaku.
Si pelaku
dalam pengertian dolus eventualis sewaktu
melakukan perbuatan guna mencapai maksudnya yang tertentu itu, ia melihat akan
timbulnya suatu akibat lain, yang tidak dikehendakinya dan juga dilarang oleh
undang-undang. Akan tetapi walaupun demikian, si pelaku toh melakukannya itu,
bahkan kemungkinan timbulnya lain akibat yang tidak dikehendakinya itu tidak
menghalang-halangi dirinya untuk meniadakan maksudnya dan demikian pula
perbuatannya. Dalam hal ini dikatakan bahwa si pelaku menerima akibat yang lain
itu.
Tidak
demikan halnya dengan culpa. Jika si pelaku andaikata insyaf bahwa perbuatannya
itu akan menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang, maka ia akan mengurungkasn perbuatannya itu.
Berikut
contoh hipotesis : A membuat api untuk menanak nasi. Terang disini perbuatan
membuat api itu dilakukannya dengan
sengaja. Akan tetapi api itu kemudian menjilat dinding rumah sehingga
menimbulkan kebakaran. Dalam hal ini perbuatan A yang menimbulkan akibat
kebakaranharus ditinjau dari sudut syarat-syarat schuld seperti yang dikemukakan diatas, yaitu :
1.
Apakah
terdapat ketidakhati-hatian pada diri si A ?
2.
Apakah A
dapat membayangkanb akan timbulnya kebakaran itu atau tidak ?
Misalnya
setelah A membuat api, api ditinggalkan untuk pergi ke sumyur untuk mengambil
air. Akan tetapi pada saat itu timbul angin keras hingga api menjilat dinding
rumah yang terbuat dari bahan kering. Dalam hal ini harus diperhitungkan
masalah-masalah yang meliputyi kejadian itu, misalnya A tadi lalai oleh karena
ia meninggalkan api dengan tidak menyuruh orang untuk menunggui api.
Menurut
hemat saya, bahwa jikalau A meragukan kemungkinan akan timbulnya kebakaran
dengan meninggalkan api itu dan berharap bahwa mudah-mudahan tidak terjadi
kebakaran, tetapi bila terjadi ia akan memikul resiko dan berkata : Apa
boleh buat kalau terjadi, maka si A mempunya sikap batin yang tergolong dolus eventualis. Bilamana ia akan
kemungkinan terjadinya kebakaran, tetapi ia tidak mempercayainya berdasarkan
pengalamannya, bahwa ia sering berbuat demikian, lalu akibat yang tidak
dikehendakinya terjadi juga, maka A mempunyai sikap batin culpa lata yang disadari (alpa). Kalau A sama sekali tidak
membayangkan akan terjadinya kebakaran,
karena nyala apinya kecil saja dan saat ia meninggalkannya angin tidak bertiup,
lalu setelah ia sampai di sumur tiba-tiba angin kencang bertiup dan terjadi
kebakaran, maka ia mempunyai sikap batin culpa
lata yang tidak disadari (lalai). Sekalipun A tidak membayangkan akibat
kebakaran, perbuatannya yang meninggalkan api tersebut tanpa mengambil tindakan
pencegahan (misalnya menyuruh orang lain untuk mengawas) tercela, padahal
seharusnya ia berhati-berhati maka ia disebut lalai.
Yang
dipermasalahkan juga ialah bilamana culpa
(kealpaan atau kelalaian) berada di pihak lain (bukan dader). Apakah kesalahan orang lain itu dapat menghapuskan delik
atau mengurangi culpa lata pembuat
delik ?
Contoh
Kasus yang pernah terjadi di Indonesia : Seorang pengendara mobil pada malam
hari menabrak dari belakang gerobak yang dibawa oleh seoekor sapi yang sedang
berjalan seaarah dengan mobil tersebut. Gerobak itu tidak dilengkapi dengan
lampu sebagaimana disyaratkan dalam undang-undang . akibatnya pengendara
gerobak mengalami luka berat.
Pengadilan
dalam pertimbangannya dalam putusannya berpendapat sebagai berikut : bahwa
adanya kesalahan (alpa atau lalai) pada pihak lain tidak begitu saja
menghapuskan kesalahan terdakwa dan dalam hal ini bukanlah tidak penting hal
terdakwa melihat gerobak itu sesudah terjadi tabrakan, sehingga dapat diragukan
apakah terdakwa melihat gerobak itu pada saat yang tepat andaikata gerobak memakai
lampu. Lebih-lebih sebagaimana umum diketahui bahwa penerangan gerobak adalah
sangat jelek.
Menurut
saya pengendara mobil sesuai dengan kondisi di Indonesia, harus berhati hati
menjalankan mobilnya pada malam hari. Dalam kasus ini pengendara mobil dapat
dipidana karena melakukan delik culpa
yang diatur dalam pasal 360 KUHP, yaitu karena kelalainnya mengakibatkan orang
lain luka berat.
Komentar
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda?