Teori Kausalitas Dalam Hukum Pidana
Penentuan sebab suatu akibat dalam hukum pidana merupakan suatumasalah yang sulit dipecahkan. KUHP tidak memberikan petunjuk tentang cara penentuan suatu akibat yang melahirkan delik. KUHP hanya menentukan dalam beberapa pasal, bahwa untuk delik-delik tertentu diperlukan adaya suatu akibat tertentu guna menjatuhkan pidana terhadap pembuiatnya.
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang melakukan tingkah laku tertentu, artinya dalam rumusan itu secara tegas disebutnya wujud perbuatan tertentu yang terlarang. Perbuatan tertentu inilah yang menjadi pokok larangan dalam tindak pidana formil. Dalam hubungannya dengan penyelesaian tindak pidana formil, kriterianya ialah pada perbuatan yang dilarang tersebut. Apabila perbuatan terlarang tersebut selesai dilakukan, maka selesai pula tindak pidana, tanpa melihat atau bergantung pada akibat apa dari perbuatan itu. Contohnya Pencurian (362).
Delik materiil adalah delik yang dirumuskan dengan melarang menimbulkan akibat tertentu disebut akibat terlarang. Titik beratnya larangan pada menimbulkan akibat terlarang (unsur akibat konstitutif). Walaupun dalam rumusan delik disebut juga unsur tingkah laku (misalnya menghilangkan nyawa pada pembunuhan; 338, atau menggerakkan pada penipuan; 378), namun untuk penyelesaian delik tidak bergantung pada selesainya mewujudkan tingkah laku akan tetapi apakah dari wujud tingkah laku telah menimbulkan akibat terlarang ataukah tidak, in casu pada pembunuhanhilangnya nyawa orang lain atau pada penipuan telah menimbulkan akibat orang menyerahkan benda, membuat hutang dan atau menghapuskan piutang.
Mewujudkan tingkah laku menghilangkan nyawa misalnya dengan wujud konkretnya : menusuk (dengan pisau) tidaklah demikian melahirkan delik pembunuhan, apabila dari perbuatan itu tidak melahirkan akibat matinya korban. Mewujudkan perbuatan menggerakkan dengan cara-cara seperti rangkaian kebohongan atau tipu muslihat, tidak dengan demikian terwujudnya penipuan, melainkan tergantung pada apakah dari wujud perbuatan itu telah menimbulkan akibat orang menyerahkan benda , membuat hutang ataukah tidak.
Dalam hal percobaan delik materiil juga digantungkan pada unsur akibat konstitutif, bukan pada tingkah laku. Tingkah laku telah diwujudkan misalnya melepaskan tembakan, tetapi dari wujud tingkah laku itu tidak atau belum menimbulkan akibat terlarang yakni matinya korban, maka yang terjadi barulah percobaan pembunuhan (338 jo 53). Terwujudnya delik materil secara sempurna adalah apabila akibat terlarang telah timbul dari tingkah laku.
Dalam hal delik materiil secaraq sempurna diperlukan 3 syarat esensial :
- Terwujudnya tingkah laku
- Terwujudnya akibat
- Ada hubungan kausal antara wujud tingkah laku dengan akibat konstitutif.
Ketiga syarat ini adalah satu kesatuan yang terpisahkan dalam mewujudkan delik materiil. Untuk menentukan terwujudnya tingkah laku dengan terwujudnya akibat, tidaklah terdapat kesukaran. Akan tetapi untuk menentukan bahwa suatu akibat yang timbul itu apakah benar disebabkan oleh terwujudnya tingkah laku adalah mendapatkan kesukaran, berhubung seringkali timbulnya suatu akibat tertentu disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain.
Contoh seorang bapak mengendarai sepeda motor hendak menyebrang, dengan mengambil jalur yang lain dengan berbelok ke kanan tanpa memperhatikan kendaraan dari arah belakang, dan ketika itu ada sebuah mobil melaju dari arah belakang. Menghadapi situasi seperti itu si pengendara menginjak rem sekuat tenaga dan menghasilkan suara gesekan ban di jalan yang keras, yang menyebabkan bapak tadi terkejut. Walaupun mobil tidak sampai menabrak keras sepeda motor, namun tiba-tiba bapak itu jatuh pingsan. Kemudian segera dilarikan ke rumah sakit, dan tidak lama kemudian meninggal.
Penytidikan dilakukan terhadap pengendara bermotor dengan sangkaan kurang hati-hati menyebabkan orang lain meninggal (359). Hasil otopsi menyebtukan bahwa kematian korban disebabkan serangan jantung. Dan terbukti secara medis bapak tadi pengidap penyakit jantung. Dengan berdasarkan hasil otopsi tersebut penyidikan dihentikan. Akan tetapi ahli waris korban tidak menerima penghentian penyidikan, dan mengajukan upaya praperadilan (77KUHAP) terhadap penyidik agar pengadilan menetapkan bahwa penghentian penyidikan tidak sahdan memerintahkan penyidikan untuk meneruskan perkara. Dalam hal ini pengadilan tentu mendapatkan kesukaran mengambil keputusan.
Ada 6 faktor tentang kasus diatas :
- Korban berbelok kanan menyebrang dengan tiba-tiba
- Pengemudi mobil sekuat tenaga menginjak rem
- Adanya bunyi keras karena geseka ban dengan aspal
- Korban terkejut; menyebabkan
- Kambuhnya penyakit jantung korban
- Tidak segera mendapatkan pertolongan medis.
Macam Ajaran Kausalitas
1. Teori Conditio Sine Qua Non
Teori dari Von Buri (ahli hukum Jerman), teori ini tidak membedakan mana faktor syarat yang mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam suatu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, menurut teori ini, keensam faktor yang menjadi contoh, tidak ada yang merupakan menjadi syarat semuanya menjadi penyebab.. semua faktor dinilai sama pengaruhnya. Tanpa salah satu faktor tersebut, tidak akan terjadi akibat menurut waktu, dan tempat keadaan senyatanya dalam peristiwa itu.
Dengan ajaran ini maka menjadi diperluasnya pertanggungan jawab dalam hukum pidana, hal ini karena orang yang perbuatannya dari sudut objektif hanya sekedar syarat saja dari timbulnya suatu akibat, misalnya pada contoh case diatas. Si pengemudi dinilai bertanggungjawab.
Kelemahan ajaran ini ialah tidak membedakan antara faktor syarat dan faktor penyebab, yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Pada contoh diatas si pengemudi mobil dipertanggungjawabkan atas kematian bapak tadi, dipandang tidak adil, karena pada dirinya tidak ada kesalahan (kesengajaan maupun kealpaan) dalam hal terjadinya peristiwa tadi, dan artinya bertentangan dengan asas hukum pidana tiada pidana tanpa kesalahan.
Untuk mengatasi kelemahan teori ini maka Van Hammel melakukan penyempurnaan dengan menambahkan ajaran tentang kesalahan. Bahwa tidak semua orang yang perbuatannya menjadi salah satu faktor di antara rangkaian sekian faktor dalam suatu peristiwa yang melahirkan akibat terlarang harus bertanggungjawab atas timbulnya akibat itu, melainkan apabila pada diri si pembuat dalam mewujudkan tingkah lakunya itu terdapa unsur kesalahan baik kesengajaan maupun keaalpaan.
2. Teori yang Mengindivualisir
Teori yang dalam usahanya mencari faktor penyebab dari tiombulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapa setelah perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar benar terjadi secara konkret. Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi maka di anatara sekian faktor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya merupaka faktor penyebab. Faktor penyebab itu adalah hanya beruipa faktor yang paling berperan atau paling dominan atau mempunya andil yang paling kuat terhadap timbulnya suatu akibat, sedangkan faktor lain dianggap sebagai faktor syarat saja dan bukan faktor penyebab.
Menurut Birkmeyer tidak semua faktor yang tidak bisa dihilangkan dapat dinilai sebagai faktor penyebab, melainkan hanya terhadap faktor yang menurut kenyataannya setelah peristiwa itu terjadi secara konkret adalah merupakan faktor yang paling dominan atau paling kuat pengaruhnya terhadap timbulnya akibat. Menurut pendapat ini pada contoh diatas, faktor “serangan penyakit” jantunglah yang paling dominan peranannya terhadap kematian itu.
Walaupun teori ini lebih baik dari teori sebelumnya, namun terdapat juga kelemahannya berhubung ada dua kesulitan yaitu :
- Dalam hal kriteria untuk menentukan faktor mana yang mempunyai pengaruh yang paling kuat
- Dalam hal apabila faktor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu dan sama kuat pengaruhnya terhadap akibat yang timbul.
3. Teori yang Menggenaralisir
Teori yang dalam mencari sebab dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat adalah dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya menimbulkan suatu akibat. Jadi mencari penyebab dan menilainya tidak berdasarkan pada faktor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman pada umumya menurut akal dan kewajaran manusia.
a. Teori Adequat Subjektif
Dipelopori oleh Von Kries yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor yang menurut kejadian normal adalah adequat (sebanding) atau layak dengan akibat yang timbul, yang faktor mana diketahui atau disadari oleh si pembuat sebagai adequat untuk menimbulkan akibat. Jadi dalam teori ini faktor subjektif dan sikap batin sebelum si pembuat berbuat adalah amat penting dalam menentukan adanya hubungan kausal.
Pada contoh diatas, maka pengendara mobil tidaklah dapat dipersalahkan atas kematian bapak tadi, karena faktor menginjak rem yang menimbulkan suara slip tidak dapat dibayangkan pada umumnya adequat untuk menimbulkan kematian.
b. Teori Adequat Objektif
Teori ini dipelopori oleh Rumelin, pada ajaran ini tidak memperlihatkan bagaimana sikap batin si pembuat sebelum berbuat, akan tetapi pada faktor-faktor yang ada setelah peristiwa beserta akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan secara akal (objektif) faktor-faktor itu dapat menimbulkan akibat. Tentang bagaimana alam pikiran/sikap batin si pembuat sebelum ia berbuat tidaklah penting, melainkan bagaimana kenyataan objektif setelah peristiwa terjadi setelah akibatnya, apakah faktor tersebut menurut akal dapat dipikirkan untuk menimbulkan akibat.
Perbedaan antara teori adequat subjektif dan objektif yang dikemukakan oleh Prof Moeljatno, contohnya :
Seorang juru rawat telah dilarang oleh dokter untuk memberikan obat tertentu pada seorang pasien, diberikan juga olehnya. Sebelum obat itu diberikan pada si pasien, ada orang lain yang bermaksud membunuh si pasien dengan memasukkan racun pada obat itu yang tidak diketahui oleh juru rawat. Karena meminum obat yang telah dimasukkan racun, maka racu itu menimbulkan akibat matinya pasien.
Menurut ajaran adequat subjektif karena juru rawat tidak dapat membayangkan atau tidak mengetahui perihal diamsukkannya racun, maka perbuatan meminumkan obat pada pasien bukanlah penyebab kematian pasien. Perbuatan meminumkan obat dengan kematian, tidak ada hubungan kausal.
Dipandang dari ajaran adequat objektif , karena perbuatan orang lain memasukkan racun ke dalam obat tadi menjadi pertimbangan dalam upaya mencari penyebab matinya, walaupun tidak diketahui oleh juru rawat, perbuatan juru rawat yang meminumkan obat yang mengandung racun adalah adequat terhadap matinya, karenanya itu ada hubungan kausal dengan akibat kematian pasien.
*sebagai bahan kuliah
S.Maronie / 12 Desember 2010 / @K10CyberHouse
Mantap Anak Hukum
BalasHapus