Penafsiran Hukum Dalam Undang-Undang Pidana

 

Dalam hal berlakunya hukum pidana tidak dapat dihindari adanya penafsiran (interpretatie) karena hal-hal sebagai berikut :

  1. Hukum tertulis sering tidak adapat mengikuti arus perkembangan masyarakat. Logemann mengemukakan bahwa tiap-tiap undang-undang sebagai bagian hukum positif, bersifat statis dan tak dapat mengikuti perkembangan kemasyarakatan, yang menimbulkan “ruangan kosong”. Maka para hakimlah yang bertugas untuk mengisi ruang kosong itu dengan jalan mempergunakan penafsiran, dengan syarat bahwa dalam menjalankan mereka tidak boleh memperkosa maksud dan jiwa undang-undang, mereka tidak boleh sewenang-wenang.
  2. Ketika hukum tertulis dibentuk, ada hal-hal yang tidak diatur karena tidak menjadi perhatian pembentuk undang-undang. Namun setelah undang-undang dibentuk dan dijalankan, baru muncul persoalan mengenai hal-hal yang tidak diatur tadi. Untuk memenuhi kebutuhan hukum dan mengisi kekosongan norma semacam ini, dalam keadaan yang mendesak dapat menggunakan suatu penafsiran.
  3. Keterangan yang menjelaskan arti beberapa istilah atau kata dalam undang-undang itu sendiri (Bab IX Buku I KUHP) tidak mungkin memuat seluruh istilah atau kata-kata penting dalam pasal-pasal perundang-undangan pidana, mengingat begitu banyaknya rumusan ketentuan hukum pidana. Pembentuk undang-undnag memberikan penjelasan hanyalah pada istilah atau unsur yang benar-benar ketika undnag-undang dibentuk dianggap sangat penting, ssuai dengan maksud dari dibentuknya norma tertentu yang dirumuskan. Dalam banyak hal, pembentuk undang-undang menyerahkan pada perkembangan praktik melalui penafsiran-penafsiran hakim. Oleh karena itu, salah satu pekerjaan hakim dalam menerapkan hukum ialah melakukan penafsiran hukum.
  4. Sering suatu norma dirumuskan secara singkat dan bersifat sangat umum sehingga menjadi kurang jelas maksud dan artinya. Oleh karena itu, dalam menerapkan norma tadi akan menemukan kesulitan. Untuk mengatasi kesulitan itu dilakukan dengan menafsirkan. Dalam hal ini hakim bertugas untuk menemukan pikiran-pikiran apa yang sebenarnya yang terkandung dalam norma tertulis. Contohnya dalam rumusan Pasal 1 (2) KUHP perihal unsur ”aturan yang paling menguntungkan terdakwa” mengandung ketidakjelasan arti dan maksud dari ”aturan yang paling menguntungkan. Hal tersebut dapat menimbulkan bermacam pendapat hukum dari kalangan ahli hukum. Timbulnya beragam pendapat seperti ini karena adanya penafsiran.

Penafsiran bertujuan untuk mencari dan menemukan kehendak pembentuk undang-undang yang telah dinyatakan oleh pembuat undang-undang itu secara kurang jelas.

Untuk (KUHP) tidak memberikan petunjuk tentang bagaimana cara hakim untuk melakukan penafsiran. Cara-cara penafsiran ada dalam doktrin hukum pidana. Untuk melakukan penafsiran, cara yang akan digunakan diserahkan pada praktik hukum. Hanya saja terhadap suatu cara penafsiran telah terjadi perbedaan pendapat yaitu terhadap penggunaan penafsiran analogi, dimana ada sebagian pakar hukum yang keberatan berkaiatan dengan masalah asas legalitas tentang berlakunya hukum pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

Jenis-Jenis Penafsiran :

1. Penafsiran Autentik

Jenis ini adalah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk UU, atau penafsiran ini sudah ada dalam penjelasan pasal demi pasal,  misalnya Pasal 98 KUHP : arti waktu ”malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; Pasal 101 KUHP: “ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi (periksa KUHP Buku I Titel IX). Dikatakan penafsiran otentik karena tertulis secara resmi dalam undang-undang artinya berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari sudut pelaksana hukum yakni hakim. Dalam penafsiran bermakna hakim kebebasannya dibatasi. Hakim tidak boleh memberikan arti diluar dari pengertian autentik. Sedangkan diluar KUHP penafsiran resmi dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan umum dan penejelasan pasal demi pasal.

2. Penafsiran Tata Bahasa (gramaticale interpretatie)

- Hakim harus memperhatikan arti yang lazim suatu perkataan di dalam penggunaan bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat yang bersangkutan, atau hubungan antara suatu perkataan dengan perkataan lainnya. Bekerjanya penafsiran ini ialah dalam hal untuk mencari pengertian yang sebenarnya dari suatu rumusan norma/unsurnya.

- Sebagai contoh dapat dikemukakan hal yang berikut : Suatu peraturan perundangan melarang orang memarkir kendaraannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan istilah “kendaraan” itu. Orang lalu bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan “kendaraan” itu, Apakah hanya kendaraan bermotor saja ataukah termasuk juga sepeda.

- Contoh lain kata “dipercayakan” sebagaimana dirumuskan dalam dalam pasal 432 KUHP secara gramatikal diartikan dengan “diserahkan”, kata “meninggalkan” dalam pasal 305 KUHP diartikan secara gramatikal dengan “menelantarkan”.

3. Penafsiran Historis (historiche interpretatie)

- Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan, misalnya rancangan UU, memori tanggapan pemerintah, notulen rapa/sidang, pandangan-pandangan umum, dll.

- Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk UU pada waktu membuat UU itu, misalnya denda f 25.-, sekarang ditafsirkan dengan uang Republik Indonesia sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP.

4. Penafsiran Sistematis/Dogmatis (systematische interpretatie)

- Dalam penafsiran ini hakim menggantungkan penjelasan suatu ketentuan pada sistem peraturan-peraturan dalam mana peraturan bersangkutan terhisap.

- Penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam UU itu maupun dengan UU yang lainnya misalnya ”ketentuan paling menguntungkan” dalam rumusan ayat 2 dari Pasal 1 KUHP apabila dihubungkan dengan rumusan ayat 1 pasal 1 KUHP yang merumuskan ”suatu perbuatan dapat dipidana keculai bedasarkan kekuatan ketentuan peundang-undangan pidana yang telah ada, pengetiannya adalah suatu ketentuan tentang tidak dapat dipidanya perbuatan.

- Artinya semula perbuatan tetentu dipidana, kemudian menurut ketentuan yang baru menjadi tidak dapat dipidana. Misalnya sebulan yang lalu A melakukan perbuatan pidana yang dapat dihukum, kemudian hari ini muncul UU yang mengatur perbuatan poidana tesebut tidak dapat dihukum. Dengan demikian yang dibelakukan adalah UU pidana baru yang menguntungkan

5. Penafsiran Logis (Logische Interpretatie)

Adalah suatu macam penafsiran dengan cara menyelidiki untuk mencari maksud sebenarnya dari dibentuknya suatu rumusan norma dalam UU dengan menghubungkannya (mencari hubungannya) denagan rumusan norma yang lain atau dengan undang-undang yang lain yang masih ada sangkut-pautnya dengan rumusan norma tersebut (lihat pasal 55 KUHP).

6. Penafsiran Teleologis (Teleologische Interpretatie)

Penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan UU itu. Ini penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi UU tetap sama saja. Contoh pada saat masih berlakunya UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (dicabut dengan UU No. 26 tahun 1999), di dalam menafsirkan rumusan yang ada dalam UU itu mengenai suatu kasus tertentu, selalu didasarkan pada maksud dari pembentuk UU itu, yaitu untuk memberantas setiap perbuatan atau upaya-upaya yang menggangu dan menggoyang kelangsungan dan atau kestabilan kekuasaan pemerintahan negara ketika itu.

7. Penafsiran Funksional (Funksional Interpretatie)

Dalam hal mana hakim memperhitungkan fungsi ketetuan undang-undang pidana yang harus dilaksanakan, dalam kehidupan bersama kini.

8. Penafsiran Sosiologis

Penafsiran oleh hakim dengan memperhatikan keperluan yang ada di dalam masyarakat, dengan catatan bahwa hakim harus menjaga jangan sampai mereka mengambil alih tugas dan kewenangan badan legislatif.

9. Penafsiran Esktensif

Memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkannya seperti “aliran listrik” termasuk juga “benda”. Jadi, penafisran ekstensif didasarkan makna norma itu menurut keadaan yang sekarang yang atinya ada perubahan makna dari sesuatu pengertian unsur-unsur rumusan atau umusan suatu norma (hampir sama dengan analogi).

10. Penafsiran a Contrario (menurut peringkaran)

- Suatu cara menafsirkan UU yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal UU. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada diluar pasal tersebut.

- Penafsiran ini diterangkan oleh Satochid Kartanegara bahwa ”keadaan ini kita jumpai apabila terdapat beberapa hal yang diatur dengan tegas oleh UU, tetapi disamping itu tedapat pula hal-hal, yang sandaran maupun sifatnya sama, tidak diatur denagan tegas oleh UU, sedang hal-hal ini tidak diliputi oleh UU yang mengatur hal-hal tegas ini (lihat Pasal 285 KUHP).

11. Penafsiran Analogis

- Penafsiran Analogis memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya  tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut (ada rasio persamannya kejadian konkretnya terhadap noma-noma tesebut).

- Misalnya pasal 388 ayat (1) yang melarang orang melakukan pebuatan curang pada waktu menyerahkan keperluan angkatan laut atau angkatan darat yang dapat membahayakan keselamatan negaa dalam keadaan perang. Jadi tidak ada diatur keperluan angkatan udara.

- Tetapi dengan menggunakan penafsirang analogis, maka jika terjadinya menyerahkan pada angkatan udara maka pasal ini juga dapat dikenakan karena pada dasar fungsi, peranan dan tugas angkatan laut dan darat juga sama dengan tugas angkatan udara yaitu dalam usaha perlindungan keselamatan dan keamanan negara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Kontrol (Kriminologi)

Peradaban Islam Masa Daulah Utsmani

Teori Subculture (Kriminologi)